Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

(FFK) Merajut Ide Melintas Batas Ruang dan Waktu

21 Maret 2011   03:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:36 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Zaman telah berubah. Globalisasi telah melipat dunia menjadi sekedar sebuah kotak laptop dan handphone. Tidak ada lagi jarak ruang dan waktu. Limit jarak dan waktu menjadi relatif. Ini bukan sekedar teori, tetapi sebuah pengalaman yang coba dibakukan dalam konsep filsafat postmodernisme. Inilah yang saya rasakan ketika mengikuti ajang Festival Fiksi Kompasiana. Saya patut mengangkat topi bagi penggaggas ide ini yang dengan penuh semangat memfasilitasi para peserta untuk mencari pasangan kolaborasinya.

Ketika ditantang Mba Inge untuk berkolaborasi menulis fiksi, awalnya saya enggan. Mengapa? Karena bagi saya mustahil bisa berkolaborasi ketika tidak duduk pada tempat dan waktu yang sama untuk menulis. Mustahil juga dalam waktu yang singkat menulis sebuah cerpen atau puisi berdua, bertiga, berempat, berlima, bahkan bersepuluh. Selain itu, saya juga belum pernah menulis fiksi secara kolaboratif sebelumnya. Meski demikian, saya tertantang juga untuk melakukan kolaborasi beberapa waktu kemudian.

Saya pun mencoba mencari teman berkolaborasi dan serta-merta di benakku muncul sebuah nama yang sangat berarti bagiku di tahun-tahun terakhir studiku. Dia seorang wanita anggun, cerdas, dan sangat mencintai sastra dan filsafat, tetapi sangat bersahaja. Perjumpaan dengannya di blog Multiply telah memberi warna tersendiri dalam perjalanan hidupku. Tulisan-tulisannya, telah memotivasiku untuk selalu berbagi dengan siapa pun tanpa memandang suku, ras, dan agama. Kebetulan dia juga memiliki akun facebook dan coba-coba aku meminangnya via inboks untuk menjadi pasangan kolaborasi pada ajang FFK. Dua hari berselang, terlihat pesan di inboks akunku dan terbaca di sana bahwa ia bersedia menerima tantanganku. Gayung bersambut dan mulai disepakati mengangkat tema tentang apa. Akan tetapi, saya dibenturkan lagi pada sebuah tantangan baru. Dia sedang terbaring di sebuah rumah sakit di Hongkong dan hanya bisa Online via Ponsel. Namun, hal ini tidak menyurutkan langkah kami untuk berkolaborasi. Dia mengusulkan tema tentang cinta yang tidak berhenti pada erros saja tetapi agapis. Alur pun disepakati dan mengalirlah tulisan. Dia memulai dengan prolog dan saya diminta melanjutkan semampu saya dengan mencoba menebak arah imajinasinya. Jadilah kami menulis secara bergantian di tiap paragraf secara bergantian melalui inboks facebook. Ketika malam menjelang hari “H”, saya mulai gelisah karena kelanjutan kisah belum juga dikirimkannya. Saya pun coba mengecek inbok akun facebook dan ada notifikasi message darinya. Pesannya: “sorry ya, semalam sampai sore tadi ponselku disita nurse. Tapi, aku janji malam ini tulisan kita akan kelar.” Tepat pukul 02.00 dini hari tulisan pun jadi. Tetapi tanpa judul. Berkali-kali kukirim pesan ke inboksnya untuk meminta usulan judul, tidak ada tanggapan juga. Rupanya, lagi-lagi ponselnya disita nurse (pesannya setelah fiksi diposting). Aku pun memutuskan untuk memberi judul sendiri dengan “Ketika Cinta Menjadi Tubuh.”

Karena bagiku, cinta bukan sekedar tubuh. Cinta harus melampaui ketertarikan fiksi. Kita tubuh dijadikan objek cinta, maka cinta mengalami peredeksian makna secara besar-besaran. Saat ini, tubuh diekplorasi dan dieksploitasi. Tubuh telah dikomersialisasi. Dan cinta direduksi hanya pada tataran seks saja. Padahal cinta jauh lebih luas dan agung daripada sekedar seks. Seks hanya salah satu ungkapan atau bahasa cinta, tetapi bukan segalanya. Itulah alasan pemilihan judul. Cerpen ini pun berhasil diposting pada pukul 02.30 malam hari “H”.

Sambil berkolaborasi dengan mba Theresia N Hapsari, saya pun coba berkolaborasi dengan mba Inge. Jauh lebih sulit berkolaborasi dengan mba Inge, mengingat dia memiliki banyak pasangan kolaborasi. Hampir saja saya berpikir bahwa akan gagal berkolaborasi. Akan tetapi, di tengah sempitnya waktu, ternyata kolaborasi ini berhasil juga di bawah judul “Akhir sebuah Penantian”. Terima kasih kepada admin FFK, kepada teman-teman FFK, atas kerja sama dan persaudaraan yang dibangun di group. Semoga masih ada kolaborasi selanjutnya. Pesannya: group jangan dihapus hehehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun