[caption id="attachment_297051" align="aligncenter" width="561" caption="Potret Seorang Gembala Sapi Tradisional di Sumba-NTT (Kupangtribunews.com)"][/caption] Setiap tahun, Indonesia selalu mengimpor sapi untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri. Australia menjadi pemasok terbesar dan utama untuk Indonesia. Jumlah penduduk yang banyak tanpa dibarengi pertumbuhan produktivitas di bidang pangan, menyebabkan banyak bahan pangan untuk kebutuhan warga harus diimpor dari luar. Padahal Indonesia adalah negeri subur, berlimpah air, dan cahaya matahari. Demikian pun dengan daging sapi. Â Mengapa kita masih selalu impor? Dari total kebutuhan daging sapi nasional, Jakarta menjadi salah satu Kota dengan tingkat konsumsi tinggi terkait daging sapi. Menyadari hal ini, pada akhir Januari 2014, Jokowi melakukan penjajakan kerja sama dengan Frans Lebu Raya untuk menjadikan NTT sebagai penyuplai kebutuhan daging sapi ibu kota. Kerja sama kedua pemimpin daerah yang masih dalam proses penjajakan ini pantas diapresiasi dan didukung. Mengapa? Jakarta sudah tidak memiliki lahan/padang rumput yang luas untuk meningkatkan jumlah sapi lokal. Sedangkan NTT yang sebagian besar wilayahnya berisikan padang rumput/savana terutama di wilayah Pulau Timor, Sumba dan sebagian Pulau Flores dapat menjadi jawaban untuk persoalan sempitnya ruang ternak bagi Jakarta. Namun kondisi NTT dengan pendapatan asli daerahnya (PAD) yang minim, menjadikan NTT sulit meningkatkan produktivitas sapi lokal mengingat dukungan dana, sarana prasarana, dan tenaga teknik yang belum memadai. Persoalan ini bisa dijawab oleh Pemprov DKI Jakarta yang memiliki PAD yang tinggi. Â Singkatnya, NTT menyediakan lahan dan tenaga, sedangkan Jakarta menyediakan sutikan modalnya. Upaya kerja sama ini sudah dibahas melalui berbagai tahap antara lain: pertemuan-pertemuan di tingkat team kedua propinsi untuk mencapai nota kesepakatan bersama (MOU). Jokowi dan Frans Lebu Raya sendiri sudah dua kali bertemu untuk membahas kerja sama dalam bidang pertenakkan ini. Pertemuan pertama pada awal Januari 2014 lalu merupakan pertemuan penjajakan untuk menemukan kemungkinan kerja sama kedua propinsi dalam bidang peternakan. Hari Minggu ini (23/2/2014), untuk kedua kalinya, Frans Lebu Raya menjumpai Jokowi untuk menyamakan perspepsi terkait upaya-upaya yang telah dilakukan oleh team kedua belah pihak. Harapannya, kesepakatan kedua pemimpin ini dapat meningkatkan kerja sama yang bersifat mutualistik dan membawa dampak positif bagi masyarakat di kedua propinsi (Kompas.com) Pihak Pemprov NTT sendiri mengungkapkan bahwa sentra utama realisasi kerja sama ini akan dilakukan di dua pulau. Pulau Timor dengan tingkat kekeringan cukup tinggi dengan curah hujan yang rendah dipilih menjadi tempat pembibitan sapi. Sedangkan Pulau Flores yang lebih basah karena curah hujannya jauh lebih baik menjadi tempat penggemukan sapi-sapi tersebut sebelum dipasok untuk kebutuhan daging sapi masyarakat Jakarta (Floresbangkit.com). Model kerja sama dalam bidang peternakan yang dilakukan oleh kedua Pemprov ini sangatlah strategis karena memperhitungkan potensi dan keterbatasan di masing-masing wilayah untuk saling diisi. Langkah ini, perlu didukung oleh masyarakat yang berdiam di kedua wilayah ini guna meningkatkan produksi sapi lokal bagi kebutuhan daging dalam negeri. Apalagi menjelang AFTA 2015, model-model kerja sama antara kepala daerah untuk saling memerperkuat sekotor-sektor andalan dalam negeri untuk bersaing di wilayah ASEAN semakin dibutuhkan. Harapannya, kemandirian Indonesia dalam hal pangan dapat benar-benar terwujud ketika semakin banyak dilakukan upaya-upaya kolobaratif di antara wilayah di Indonesia demi Indonesia yang lebih mandiri dan bermartabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H