Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

AFTA, Sawit, Kelestarian Hutan, Ketahanan Pangan, Masyarakat Adat

3 Maret 2014   02:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:18 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul postingan ini mungkin membuat pembaca bingung dan bertanya-tanya: apa sih hubungannya dari keempat hal ini? Bagi yang suka berpikir parsial dan terkotak-kotak, selintas AFTA tidak ada kaitannya dengan Sawit, dengan masyarakat adat, dengan ketahanan pangan, apalagi dengan kelestarian hutan. Tetapi bagi yang menyukai pola pikir ‘jaringan’ ibarat jejaring laba-laba akan mudah memahami dan menangkap keterkaitan keempat hal ini karena dilandasi oleh kesadaran bahwa tidak ada satu pun kenyataan di bumi ini yang berdiri sendiri terlepas dari yang lain. Dalam pola pikir seperti ini, realitas yang satu selalu bertalian erat baik secara langsung maupun taklangsung dengan realitas lain membentuk apa yang dinamakan oleh para filsuf postmodernisme sebagai ‘jaring-jaring kehidupan’ (fritjof capra: 2001). Menurut aliran pemikiran ini, apa pun selalu punya pertalian erat dengan yang lain jika diteliti lebih jeli dan direfleksikan lebih mendalam.

Kosep filsafat-epistemologi postmodernisme iniah yang akan penulis pakai sebagai pisau bedah untuk memotong-membelah-menghubungkan-memaknai keempat hal di atas secara kait-mengait guna menemukan benang merah keempatnya untuk dijadikan sebagai bahan refleksi bersama sebagai anak bangsa.

AFTA

[caption id="attachment_298179" align="aligncenter" width="259" caption="Logo Afta (adwintaactivity.blogspot.com)"][/caption]

Secara sederhana, AFTA disebut sebagai pemberlakuan system dan suasana perdagangan bebas tanpa bea masuk ke wilayah-wilayah negara yang tergabung dalam kelompok ASEAN. Sistem dan suasana ini sebenarnya sudah diberlakukan secara perlahan-lahan untuk beberapa negara yang telah siap, dan baru akan diresmikan bagi semua negara ASEAN pada 2015 mendatang.

Jelang AFTA yang tinggal setahun lebih ini, semua negara ASEAN yang telah menyepakati pemberlakuan AFTA berlomba-lomba untuk menjadikan negaranya siap masuk ke pusaran arus pasar bebas ala Asia ini. Apa saja yang perlu dipersiapkan oleh negara-negara tersebut?

Ada tiga hal utama yang perlu dipersiapkan: kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakatnya yang nantinya menjadi ‘pelaku’ dalam pasar bebas; kesiapan Sumber Daya Alam dan  non alam yang menjadi ‘barang/jasa’ yang dipasarkan para ‘pelaku’-nya; kesiapan sarana-prasarana yang menjadi ‘penunjang utama’ bagi kelangsungan pasar bebas, termasuk di dalamnya aturan/kebijakkan pemerintah (birokrasi) dan ifrastruktur. Ketiga hal inilah yang hemat penulis haruslah dipersiapkan dengan sungguh jika tidak ingin jadi pencundang dalam percaturan ekonomi pasar bebas ini.

Dari antara ketiga hal yang perlu dipersiapkan di atas, salah satu hal yang dikatakan oleh banyak pengamat ekonomi sangat siap dari negara Indonesia adalah Sumber Daya Alam. Indonesia dikatan memiliki kekayaan alam yang sangat siap untuk dijadikan sebagai potensi yang bisa dijual di era pasar bebas tingkat Asia ini.

SAWIT

[caption id="attachment_298181" align="aligncenter" width="490" caption="Salah Satu Aktivitas Perkebunan Kelapa Sawit di Hutan Kalimantan (Kompas Image: AFP PHOTO / BAY ISMOYO)"]

13937631081937438157
13937631081937438157
[/caption]

Salah satu SDA non migas andalan Indonesia saat ini adalah Sawit, khususnya minyak sawit  mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya. Produksi CPO Indonesia meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan makin meluasnya invasi perkebunanan kelapa sawit di beberapa pulau besar Indonesia semacam Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Makin tingginya permintaan/kebutuhan minyak sawit dunia juga semakin memotivasi pemerintah Indonesia untuk menjadikan kelapa sawit sebagai tanaman primadona dibandingkan tumbuhan lain, termasuk padi. Apalagi saat ini, Indonesia sudah menduduki posisi puncak sebagai penghasil minyak sawit terbesar di Asia dan dunia yang bersaing ketat dengan Malaysia.

Meskipun ekspor CPO dan produk turunanya ke negara-negara Uni Eropa sempat merosot pada Januari 2014 di pasar dunia oleh karena meningkatnya produktivitas minyak nabati lain dari Paraguay dan Brazil (tempo.co: 2014), CPO tetap menjadi andalan dan primadona Indonesia pada masa depan. Hal ini terbukti dengan naiknya permintaan Amerika Serikat terhadap CPO Indonesia. Tidak hanya itu, ekspor CPO ke negara-negara Asia terus bertumbuh misalnya ke India, China, dan Pakistan (nasionalisme.co). Fakta ini kemudian semakin meyakinkan Indonesia bahwa prospektif sawit untuk tahun 2014 ke atas semakin menjanjikan (nasionalisme.com).

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia pun berambisi untuk semakin meperluas areal perkebunan kelapa sawit di beberapa Pulau Besar (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya) hingga tercapai target total produksi CPO 52 juta ton per tahun pada 2020. Hal ini berarti bahwa semakin banyak hutan yang terisasa di pulau-pulau besar tersebut yang harus dibuka, pohonnya ditebang, dan digunduli untuk dijadikan sebagai lahan sawit (hutankita.org).  Mengingat bahwa Sawit adalah tanaman yang paling egois karena tidak pernah mau tumbuh bersama dengan tanaman/kayu-kayu lain dengan system tumpang sari.

Ambisi pemerintah dan pengusaha Indonesia untuk mengenjot ekspor  CPO Indonesia ke tingkat dunia yang saat ini menduduki 70 % karena hanya 30 % digunakan untuk kebutuhan dalam negeri sekaligus menjadi salah satu ‘ancaman serius’ bagi keberadaan hutan-hutan alam yang tersisa di keempat pulau besar di Indonesia.

Dengan kondisi yang demikian, makin jelas bagi kita bahwa salah satu komoditi alam non migas yang sangat siap untuk masuk ke pasar bebas ASIA adalah CPO dan produk turunannya yang saat ini menduduki peringkat tertinggi produksinya di dunia. AFTA 2015 semakin menjadi motivasi bagi pemerintah Indonesia dan pengusaha untuk menggenjot laju pertumbuhan produksi CPO agar bisa mencapai target 52 juta ton pada 2020.

KELESTARIAN HUTAN

[caption id="attachment_298182" align="aligncenter" width="448" caption="Hutan Alam Kalteng, Masyarakat Adat Dayak, dan Kekayaan Biodiversity (tourismmonitor.com)"]

13937634271192213977
13937634271192213977
[/caption]

Selama ini, para aktivis lingkungan hidup (NGO) baik di tingkat lokal maupun dunia selalu menyoroti bahwa perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu biang kerok kerusakan hutan di Indonesia terutama di keempat Pulau yang memiliki hutan alam yang cukup luas. Ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar yang harus menumbangkan semua pohon agar bisa ditanami sawit dianggap telah merusak hutan Indonesia dan lahan gambut. Tudingan ini pun pernah dialami Indonesia awal 2013 lalu dari Uni Eropa bahkan menjadi sebuah kampanye untuk memboikot CPO asal Indonesia untuk beberapa perusahaan besar dunia yang selama ini memasok CPO Indonesia sebagai bahan baku industry mereka.

Menanggapi tudingan miring tersebut, pemerintah Indonesia dan para pengusaha perkebunan kelapa sawit tentu tidak akan menyetujui begitu saja. Pemerintah Indonesia dan para pelaku usaha perkebunan kelapa sawit mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia sangat ramah lingkungan, sehingga layak diterima di pasar dunia, terutama Amerika dan Uni Eropa. Keduanya selalu beranggapan bahwa tudingan bahwa perkebunan kelapa sawit menjadi biang kerok kerusakan lingkungan/perusakan hutan Indonesia hanyalah sebuah ‘kampanye gelap’ NGO-NGO asing untuk menjatuhkan kredibilitas CPO yang menjadi komoditi andalan Indonesia di pasar Asia dan dunia.

Lalu, mana yang benar? Tudingan NGO dan negara-negara Uni Eropa ataukah pendapat pemerintah dan penguasa sawit Indonesia? Kebenaran menjadi abu-abu di sini karena tergantung kepentingan dan dari sudut pandang mana hal itu dinilai!

Akan tetapi di tengah  kedua pendapat yang berbeda tersebut sebuah fakta yang tidak bisa disangkal oleh pemerintah Indonesia dan juga para pelaku usaha sawit bahwa sejak diberlakukannya moratorium hutan dan lahan gambut yang diperpanjang pada Mei 2015 produksi sawit Indonesia sempat menurun.  Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengakui bahwa moratorium pembukaan hutan dan lahan gambut yang diperpanjang menjadi ancaman bagi peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit (mediaperkebunan.net).  Ketahuankan: mana pendapat yang benar, mana pendapat yang salah?

Sayangnya moratorium ini tidak berlaku surut untuk para penguasaha yang telah mengantongi izin sebelum moratorium tersebut diberlakukan. Karena itu, langkah Presiden SBY yang memperpanjang moratorium pembukaan hutan primer dan lahan gambut harus tetap didukung oleh masyarakat Indonesia untuk melindungi hutan-hutan dan lahan gambut Indonesia yang tersisa di keempat pulau besar tersebut.

Siapa pun presiden baru yang akan menggantikan Presiden SBY sangat saya anjurkan agar terus melakukan perpanjangan moratorium yang telah disepakati oleh Presiden SBY. Hal ini penting, untuk menekan laju pembukaan lahan hutan baru untuk tujuan pertambangan maupun perkebunan kelapa sawit skala besar.

KETAHANAN PANGAN

[caption id="attachment_298184" align="aligncenter" width="448" caption="Masyarakat Adat dan Ketahanan Pangan Lokal (rumahalir.or.id)"]

1393763743963933707
1393763743963933707
[/caption]

Sawit yang terlanjur digandrungi oleh pemerintah Indonesia yang ‘dipaksakan’ untuk diterima masyarakat lokal yang mendiami pulau-pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya semakin menggusur lahan-lahan yang secara tradisional dijadikan masyarakat setempat sebagai sawah payau dan ladang kering yang biasanya dijadikan sebagai tempat untuk menanam pangan lokal seperti padi, umbi-umbian, jagung, dll. Karena itu, jangan pernah anda berharap menemukan sawah, kebun ubi, dan kebun tanaman pangan lainnya di suatu wilayah di Kalimantan (bisa juga di Pulau lainnya) yang sudah dimasuki oleh perkebunan kelapa sawit skala besar.

Semua ladang dan hutan masyarakat setempat yang disebut dengan masyarakat adat seperti Dayak, Kubu-Lubu, Anak Dalam, Agats-Asma harus dialihfungsi untuk menjadi lahan sawit ketika ada sebuah perusahan sawit yang mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) di wilayah tersebut. Selama ini, masyarakat adat yang menjadikan hutan adat mereka sebagai ‘toserba’ untuk mencari sagu, lauk, dan sayur, dan aneka buah-buahan secara gratis harus dipaksa untuk beralih dari pola hidup tradisional ke pola pertanian modern.

Ketika semua lahan sudah dikonversi menjadi lahan sawit: di manakah masyarakat lokal yang umumnya mendiami wilayah-wilayah sekitar hutan/pedalaman Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya bisa menanam padi ladang, ubi-ubian, jagung, dan sagu yang menjadi makanan pokok mereka selama ini? Bagaimana dengan ketahanan pangan masyarakat lokal yang mendiami semua areal perkebunan sawit tersebut?

Bagaimana dengan ketahanan pangan masyarakat Indonesia sendiri ketika hampir semua lahan dikonversi hanya untuk sawit dan sawit? Bagaimana dengan rencana Presiden SBY untuk membagi wilayah-wilayah di Indonesia sebagai lumbung padi nasional ketika hampir semua lokasi di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Irian Jaya menjadikan sawit dan bukan padi sebagai tanaman primadona?

MASYARAKAT ADAT



[caption id="attachment_298183" align="aligncenter" width="500" caption="Masyarakat Adat yang Semakin Terdesak oleh Invasi Perkebunan dan Pertambangan (profauna.org)"]

13937635751724300590
13937635751724300590
[/caption]

Yang penulis maksudkan dengan masyarakat adat di sini adalah semua kelompok masyarakat lokal yang mendiami pulau-pulau besar seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya yang menjadi pulau target bagi pemerintah dan investor perkebunan kelapa sawit untuk dijadikan sebagai areal ekspansi perkebunan kelapa sawit untuk menggejot produktivitas menjadi 52 juta ton pada tahun 2020.

Secara umum, kelompok masyarakat adat seperti yang saya sebutkan contohnya sebelumnya merupakan kelompok masyarakat tradisional yang masih menghidupi pola-pola kearfan lokal leluhur mereka sebagai panduan hidup pribadi dan sosial. Meskipun ada dari antara anak-anak dari suku-suku lokal ini sudah ada yang berpendidikan tinggi dan menjadi pekerja di kota, namun sebagian besar masyarakat adat ini boleh dibilang masing ‘terbelakang’ dari kaca mata kita orang luar.

Merekalah  yang paling mengalami dampak perluasan perkebunan kelapa sawit di wilayah hutan adat mereka. Merekalah yang harus merasakan bagaimana ‘dikondisikan’ untuk ‘melompat’ dari cara hidup tradisional yang bergantung pada alam menuju pola hidup masyarakat ‘pertanian modern.’ Mengapa? Karena untuk menanam sawit dan memeliharanya agar bisa berproduksi, mereka tidak bisa menggunakan cara-cara tradisional seperti mereka menanam padi ladang, menanam sagu, atau menanam umbi-umbian. Peralihan dari system pertanian tradisional menuju system pertanian modern yang terlalu cepat dan tidak bertahap seperti ini menyebabkan para petani lokal-masyarakat adat terlihat keteteran dalam persaingan dengan para petani transmigran yang berdatangan dari wilayah-wilayah lain. Tidak mengherankan jika produktivitas kelapa sawit petani lokal di lahan plasma tidak mengalami kenaikan yang signifikan mengingat para petani tradisional dipaksa untuk meloncat terlalu tinggi.

Mengingat bahwa salah satu elemen mendasar yang perlu dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia menjelang AFTA 2015 adalah SDM masyarakatnya, yang akan menjadi para pelaku di pentas pasar bebas, maka bisa dibayangkan kesiapan masyarakat adat-tradisional tersebut menghadapi AFTA 2015. Mungkin bagi mereka, AFTA bukanlah sebuah ancaman tetapi jika kita lebih jujur dan fair dalam menilai, merekalah yang kemudian akan terus menjadi penonton utama di era AFTA 2015.

KAITAN KEEMPATNYA DALAM EPISTEMOLOGI BARU 'JEJARING KEHIDUPAN'

AFTA 2015 memang menjadi salah satu momentum untuk menggenjot produksi CPO Indonesia yang menjadi salah satu komoditi ekspor primadona Indonesia di masa depan, dengan salah satu caranya memperluas areal perkebunan kelapa sawit di beberapa pulau besar antara lain: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya.  Hal ini berarti juga memungkinkan laju pembukaan hutan-hutan primer dan lahan gambut yang mayoritas berada di keempat pulau besar tersebut. Bisa dibayangkan berapa luas hutan Indonesia yang akan disulap menjadi lahan sawit pada tahun 2020 guna mengejar target produksi CPO sebesar 52 juta ton pertahun?

Hal ini juga berdampak pada ketahanan pangan masyarakat lokal yang mendiami pulau-pulau tersebut, termasuk ketahanan pangan nasional. Rakusnya batang sawit melahap area perkebunan di Pulau-pulau besar tersebut, semakin memarjinalkan lahan-lahan yang diperuntukan untuk tanaman lain terutama tanaman pangan lokal.

Demikianpun, nasib masyarakat adat-tradisional yang mendiami semua area perkebunan kelapa sawit tersebut pun ikut teracam. AFTA 2015 dan Sawit malah semakin membuat mereka tercerabut dari akar budaya mereka yang umumnya terikat dengan hutan, sungai, dan tanah. Mereka harus kehilangan tanah, hutan, dan sungai yang menjadi pembentuk identitas kultural mereka atas nama 'kemajuan.' Mereka hanya akan menjadi korban dan penonton utama di pentas AFTA 2015.

REKOMENDASI UNTUK CAPRES 2014

Oleh karena itu, ada beberapa rekomendasi penting untuk siapa pun yang akan menjadi presiden Indonesia pada 2014 nanti:


  1. Awasi betul pola pekerbunan kelapa sawit  apakah sungguh-sungguh mengindahkan seruan masyarakat dunia agar ramah lingkungan dan tidak mengorbankan masyarakat adat-tradisional yang umumnya mendiami area-area hutan alam di pedalaman pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya.
  2. Moratorium pembukaan lahan hutan primer dan lahan gambut yang telah diperpanjang oleh Presiden SBY pada Mei 2015 lalu hendaknya terus diperpanjang guna menyelamatkan hutan Indonesia dari keserakahan para investor pertambangan maupun perkebunan kelapa sawit skala besar. Bila perlu ditinjau kembali semua izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit skala besar yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebelum diberlakukannya moratorium.
  3. Jangan hanya jadikan lahan Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Irian Jaya sebagai lahan sawit semata, tetapi jadikan juga lahan di keempat Pulau besar tersebut sebagai lumbung pangan untuk Indonesia, bahkan dunia demi katahanan pangan Indonesia dan dunia di masa depan. Perkurangi konversi lahan untuk tanaman sawit, ketika untuk beras, kentang, buah-buahan, sayur, dan kedelai kita masih harus banyak mengimpor dari negara lain.
  4. Perhatikanlah masyarakat lokal/masyarakat adat yang umumnya menghuni wilayah hutan-hutan alam yang selama ini dikonversi menjadi lahan tambang dan lahan sawit. Kemajuan untuk siapakah, ketika mereka semua malah tersingkir dari habitat mereka dan justru dikalahkan dalam percaturan hidup yang tidak adil ini?


MERDEKA UNTUK INDONESIAKU!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun