Hey, blog... Maukah kau menyelusup masuk ke site di laptopnya dengan segera ketika ia Online? Lalu segera katakan, "Hello there! Seseorang menantimu. Apa kau rasakan sesuatu? Ya!! Dia merindumu." Kemudian, kembalilah padaku dan katakan bagaimana mimik wajahnya kala kau berbicara padanya. Sudah itu saja.
Sore ini, disana, sedang apa kau?Akankah kau sedang menyiapkan buka puasamu? Atau sedang menghandle agenda-agendamu? Aku merindukanmu, ingin sekali aku bertemu denganmu. Bahkan jika boleh meminta, aku ingin buka puasa bersamamu. Oh iya.. Tadi ketika kubuka kulkas, kulihat ada sepotong cupcake rasa coklat. Rasanya tentu manis sekali kan? Coklat pun makanan kesukaanku dan kau sangat paham itu. Dan kurasa tentu kau paham kalau cupcake coklat mengingatkanku akanmu. Disuatu senja, ditemani gerimis, kala itu kau pernah memberikan cupcake coklat untukku, bukan? Rasanya manis sekali. Itu bahkan cupcake coklat terlezat yang pernah kumakan. Entah cupcake coklat itu atau senyummu kala kau berikan cupcake coklat itu yang manis. Ah, namun kini gerimis tak turun, padahal aku sudah menantinya. Sebentar lagi waktu buka puasa dan aku berharap ada gerimis, senyummu, dan sepotong cupcake coklat darimu lagi. Tahukah? Diam-diam aku selalu menyimpan cupcake coklat di kulkas. Bahkan walau hanya sepotong. Lalu menunggu datang gerimis senja.Tahu kenapa? Karena aku ingin mengingat dengan jelas saat kita memakan sepotong cupcake coklat disuatu senja, berdua, dibawah rintikan gerimis yang mencoba menempel dan meresap pada potongan cupcake coklat kita. Kau ingat juga bukan? Sungguh aku ingin kau begitu. Kenangan manis yang enggan kulupakan. Saat itu, tak sengaja kita bertemu di halte. Kita rupanya sama-sama menunggu bus yang sama. Searah dan bahkan nomor tempat duduk kita bersebelahan. Kala itu, aku duduk didekat jendela dan kau di sampingku. Awalnya aku ragu saat kita mulai membuka pembicaraan. Yah! Karena aku pikir kau tipe orang yang sombong, belagu dan sok cool. Bayangkan, ketika pertama kali bertemu di halte, kau gunakan earphone-mu. Saat kutanyakan jam, kau jawab sekenanya. Saat kutanya jarak ketempat tujuanku yang sebelumnya aku tak pernah kesana pun kau tak jawabnya. Hemb, yang ku tahu kau belagu. Bahkan, kemudian, ketika kau tahu karcis kita berurutan dan kau duduk denganku, dapat kulihat wajahmu cemasmu ikut duduk bersamamu. Kau pun berusaha meminta tukar karcis agar kau tak duduk denganku. Namun sayang, kau akhirnya harus tetap duduk denganku. Saat ku sudah duduk, kau tak langsung duduk disampingku. Kau memintaku meletakkan ranselku diantara kita agar kita tak terlalu berdekatan. Dan aku pun setuju saja sambil terus mengawasi gerak gerikmu. Jujur, aku masih takut kalau tangan lentikmu membuka tasku lalu kau ambil dompetku. Ah, namanya orang asing. Harus waspada jugalah kita. Disepanjang perjalanan, kala itu menjelang maghrib, kau asyik membaca bukumu. Sesekali kulirik untuk mencuri bacaan agar kutahu buku apa itu. Dengan susah payah mengeja akhirnya ku mampu menyatukan alfabet itu menjadi sebuah judul buku. Hampir lima belas menit baru ku tau buku itu berjudul, "Menikah Muda". Aku lalu terdiam seolah tak kubaca apapun. Hatiku lalu asyik mengobrol sendiri dengan tema 'Menikah Muda'. Sepertinya ia tahu apa yang ada dibenakku karena setelah aku dengan sembunyi-sembunyi berhasil membaca judul bukunya, ekspresiku wajahku langsung berubah drastis. Kemudian ia menanyaiku kalau aku kenapa. Kujawab saja tak kenapa-kenapa. Ia sekarang meminjami bukunya sambil berkata, "Kamu mau baca juga? Ini.." Katanya sambil menyodorkan bukunya. "Tadi sempet ngintip kan?" Sambungnya. "Hah? Eeenggak kok. Tadi cuma lagi ngelamun aja." Jawabku sekenanya. Kemudian dengan segala khilaf dan salah aku kembali mengobrol dengan hatiku, alangkah indah nian ciptaan Allah satu ini. Saat aku sedang asyik dengan hatiku, ia melanjutkan membacanya. Tiba-tiba, sayup-sayup adzan maghrib yang bersahutan menyelinap masuk melalui celah jendela bus yang kami naiki. Dengan cekatan suara itu pun membuyarkan dialogku dengan hatiku dan menghentikan ia dari aktivitas membaca bukunya. Kuamati pelan, ia mengambil air mineral dari tasnya. Ia diam sejenak kemudian meminumnya. Sadar ia sedang kuperhatikan lalu ia terdiam. "Mau?" tanyanya. Aku tak jawab, malahan aku mengajak hatiku berbincang. "Eh, ini hari apa sih? Dia puasa rupanya... Oh iya, hari kamis. Pantas saja." Perbincanganku akhirnya terpotong saat didepan wajahku ada cupcake coklat yang ia sodorkan. Dengan refleks aku menjawab, "Eeehh maaf aku sedang puasa." Ia tersenyum tapi tatapannya tak benar-benar kearahku. "Sudah magrib." Katanya lirih. "Oh... Iya ya." Jawabku salah tingkah sambil mengambil cupcake coklat dari tangannya. Kemudian aku menyempatkan diri berbincang dengan hatiku sesaat. "Astagfirullahaladzim... Malu-maluin banget gini. padahal aku sudah tau, tadi itu adzan. Kenapa bisa sampe lupa kalo adzan itu saatnya batalin puasa. Aduh, malu banget ini. Dasar oneng. Oh ya, akukan belum batalin puasaku. Hemb, kayaknya aku bawa roti tadi ditas deh." Aku terdiam ketika kulihat ada cupcake ditanganku. "Loh ini?" kataku sambil bingung kenapa kuambil cupcakenya. "Eh maaf, aku juga bawa kok. Ini untukmu saja." Kataku sembari mengembalikan cupcakenya dan meletakkan diatas bukunya. Sedangkan ia sedang sibuk dengan handphonenya. Kubuka tasku, aku meminum air mineral yang kubawa. kemudian kucoba cari roti bekalku. Rasanya tadi kumasukkan di kantong depan. Dengan sangat aktif bergerak ku coba obrak abrik secara pelan dan berharap kutemukan rotiku. Tapi nihil. Enggan malu kedua kalinya, kuputuskan untuk seolah belum lapar dan sengaja belum makan roti. Padahal, entah kenapa perutku seperti sudah tak sabar ingin diisi roti atau cemilan apapun selain air mineral. Aku memutuskan untuk duduk tenang saja. Usai ia bermain dengan handphonenya, ia kemudian mendapati cupcake coklatnya ada diatas bukunya. Ia berkata, "Loh ini kok dikembalikan?" "Iya, maaf. Soalnya aku udah bawa bekel roti juga. Tapi belum lapar juga kok." "Mana rotinya?" Tanyanya seolah tau aku tak dapati rotiku di tas. "Eh.. Aadaa kook. Iya, ada di tas. Tapi aku belum lapar." Jawabku sebelum kemudian meneguk air mineral untuk mengganjal perutku agar tak terasa lapar. Saat ia akan melakukan aksi makan cupcake coklat tiba-tiba perutku berbunyi. Suasana yang saat itu sedang sepi pun membuat suara dari perutku seolah di loadspeaker. Ia tak tersenyum, mungkin ia tahu jika ia tersenyum aku akan malu. Baguslah, ia tak membuatku malu, setidaknya meskipun ia memiliki kesempatan untuk membuatku malu namun ia tak ambil kesempatan itu dan membiarkannya berlalu bersama hilangnya suara dari perutku. Aku mencoba membuang muka, menatap keluar jendela. sedang di luar gerimis mulai turun. Kaca jendela pun mulai dibubuhi tetes-tetesan gerimis itu. Ku tahu, ia tak memakan cupcake coklatnya itu. "Makanlah cupcakenya... Sepertinya kau sudah lapar. Mungkin rotimu tadi tertinggal di halte atau di rumah mungkin." Katanya sambil menyodorkan cupcakenya. Kata-katanya mampu meluluhkan rasa laparku, aku berbalik ke arahnya namun tak menatap matanya. "Sepertinya tadi lupa kumasukkan tas. Kemungkinan tertinggal di meja makan." Ia sepertinya mampu menerjemahkan kalimatku yang menggunakan implicature dengan tepat dan cepat. Maksudku tentu aku mau cupcakenya, tapi aku tak katakanya secara langsung. Ia kemudian memberikanku capcake itu. Aku pun tersenyum. Entah ia melihat senyumku atau tidak yang penting aku sudah senyum. Ketika aku akan memakannya, aku sempatkan bertanya, "Kamu punya lagi tidak? Maaf ya, aku lapar." "Maaf, aku cuma punya satu." Jawabnya singkat. "Em, ini..." Kuberikan sepotong untuknya. "Loh? Katanya lapar?" "Iya, tapi tak selapar harimau." Jawabku sembari senyum. "Tadi aku bilang lapar dan berharap kau mengartikan satu cupcake coklat kurang untuk kumakan. Tapi, sebenarnya aku berkata demikian untuk memastikan apa kalau cupcake ini kuhabiskan, kau akan makan juga cupcake yang lainnya. Dan tak mungkin aku langsung bertanya kamu bawa berapa? Takutnya kau akan menyuruhku makan ini sendiri sedang kau yang punya malah tak memakannya." Paparku panjang lebar. Ia tak mengambilnya sebelum kukatakan, "Makanlah, aku takkan tega memakannya sebelum kau memakannya juga." Setelah beberapa saat, di wajahnya tampak sebuah raut bosan. Mungkin karena aku terlalu lebay memaksanya makan sepotong cupcake itu. Namun akhirnya ia memakannya juga. Pelan, kuberanikan diri mengatainya dengan nada santai dan becanda namun mengandung arti keseriusan, "Eh, tadi kupikir kamu orangnya belagu banget. Maaf ya, abis kamu pake earphone mulu. Ditanya jam jawabnya sok gak tau gitu. Ditanya jarak alamat yang aku cari kamu diem gak mau kasih tau. Yah, gitulah tadi aku menilaimu. Maaf ya sudah jujur... Biar plong nanti." kataku nyerocos. "Waduh, aku minta maaf ya. Jam di handphone lupa gak diatur tadi. Dan kalo tentang jarak, aku juga kurang tahu. Ini perjalanan pertamaku kedaerah sini. Maaf ya sudah membuatmu suudzan tadi." "Oh..." Jawabku sok gak peduli tapi sebenernya aku ingin tahu lebih banyak. "Eh... Dengerin lagu apa sih kamu? Asyik banget. Barat? Korea?" Tanyaku tak henti. "Ayat cinta" Jawabnya singkat. "Ayat cinta?", tanyaku heran. "Siapa yang nyanyi? Kayaknya baru denger ini." "Belum kenalan, kamu kenal?" katanya kali ini dengan nada sedikit berbumbu humor. "Coba sini bentar", kataku sembari menarik earphone yang terpasang dengan longgar sehingga tak perlu kumenariknya. Ia hanya diam. Mungkin tak enak mau marah. Tapi dari raut wajahnya lagi-lagi ia kurang menyukai tindakanku kali ini dengan porsi sebal lebih banyak dari yang sebelumnya. Aku terdiam ketika suara dari tiap lubang-lubang kecil dari earphone memasuki telingaku. Itu ayat suci Al-Quran yang sedang didengarnya. Aku terdiam sembari melepasnya dan mengembalikannya kembali namun aku tak memasangkan di kepalanya. Kemudian masing-masing kami terdiam. Setelah itu, sebenarnya, ingin sekali kutanyakan, "Siapa namamu? Dari mana kau? Mau kemana? Kamu kuliah kan? Kuliah dimana? Ambil jurusan apa? Semester berapa? Dan masih banyak pertanyaan yang belum sempat aku tanyakan." Ah sayang sekali busnya keburu berhenti di terminal. Sepertinya perjalanan dari halte sampai ke terminal terasa cepat sekali ya... Dia bahkan dengan cepat pergi menuju masjid di terminal itu. Aku lamban, harus menunggu koperku diturunkan dari bagasi baru bisa kemasjid. Saat aku ke masjid pun ia sudah tak nampak. Yang kuingat saat ia hendak turun, aku sempat baca sebuah nama di jaketnya, bertuliskan "Abi", entah itu nama asli atau merek atau apa aku pun tak tau. Yang paling kuingat pasti, ia hadir dengan sepotong cupcake coklat digerimis senja. Kemudian, saat hendak turun, ia mengucap salam padaku. Aku pun membalasnya dengan lembut. Indahnya...
Aku mungkin takkan mampu mengatakannya langsung padamu tentang rindunya aku. Aku takkan bisa. Speechless seolah jawaban paling tepat untuk mengungkapkan alasanku. Beberapa tahun sudah. Aku hanya bisa menulis, namun berharap kau pun tak membacanya. Kenapa? Karena ku mau hatimu saja yang beritahu semuanya.
Mereka menanggapiku dengan berkata, "ANEH! Mana bisa" Jawabku, "Ah, biarkan saja. Kan belum dicoba. Siapa tahu ada ikatan batin diantara kami." Mereka bilang, "Siapa tahu sih, tapi... Mana bisa. Zaman modern begini, SMS ada, BBM ada, WeChat, Line, WhatsApp, FB, Twitter, Eskimi, dan lain sebagainya dan kamu hanya mau nunggu ikatan batin? Mau sampai kapan?" Jawabku, "Em.. Kalau begitu maukah kau katakan padanya kalau aku merindunya?" Mereka bertanya, "Baiklah, siapa dia? Sepertinya setelah beberapa tahun berlalu, kini kau telah mengetahui identitasnya bukan. Jika tidak, tentu kau takkan bertahan mengaguminya sampai sekarang." Jawabku, "Dan kau salah, bahkan 'siapa dia?' itu pun yang ingin kutanyakan padanya sampai sekarang." Mereka bertanya lagi, "Kenapa begitu?" "Karena ia hanyalah tokoh dalam cerita fiksiku dan aku belum juga menyelesaikan ceritanya sampai sekarang." Jawabku sambil tersenyum haru dan sedikit ada noda kesedihan. Kemudian, ku tahu, dari wajah mereka tampak guratan kekesalan. Mereka tak menjawab lalu pergi. Begitu saja... Ya begitulah kira-kira... "Sepotong Cupcake Coklat Digerimis Senja" dengannya yang tanpa nama. Dan untukmu di sana, selamat berbuka puasa ya :) Senja Menjelang Buka Puasa, Lampung, 20 Juli 2014 Fajar Ayu Nirmalasari
check in my blog: http://fajarayunirmalasari.blogspot.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H