Kasus covid-19 terus meningkat hari demi hari, sampai tangga 18 April 2020 konfirmasi positif covid-19 sudah mencapai 6.248, sembuh 631, dan meninggal sejumlah 535.Â
Tidak bisa dipungkiri bahwa pandemi ini berdampak multi sektor, dari kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi hingga aktivitas lainnya di masyarakat.Â
Dampak yang sangat multi sektor ini membuat aktivitas masyarakat semakin terkekang dalam satu rantai besar. Aktivitas pembatasan semakin ketat, skala penyebaran semakin luas. Sehingga pandemi ini mengancam kesejahteraan masyarakat.
Tidak ada yang tahu pandemi ini kapan berakhir masyarakat akan semakin rentan kesejahteraannya karena dampaknya yang multi sektoral. Kerentanan inilah yang membuat setiap orang melakukan tindakan pertahanan diri (resilience) karena seseorang dalam kondisi yang berbahaya atau precarity. Precarity dalam istilah bahasa Jerman merupakan arti dari kegentingan, tidak aman, dan rumit (Klaus,2014:70).Â
Dalam konsep studi sosiologi precarity merujuk pada kondisi pekerjaan yang berada pada level atau tingkatan yang tidak aman dan tidak stabil secara umum. Butler (2004) merumuskan kegentingan sebagai kerentanan manusia, umumnya muncul karena keberadaannnya (secara geografis) dan didasari proses relasi atau hubungan yang terjadi. Butler (2016) lebih lanjut mengembangkan keterkaitan antara bahaya (sebagai kerentanan eksistensi yang ditubuhkan) dan bahaya (sebagai pengaturan sosial dan politik yang secara diferensial mendistribusikan bahaya) sebagai masalah yang mendiami kondisi-kondisi "unlivability". Kondisi seperti ini memberikan kerentanan yang besar bagi individu atau kelompok apabila tidak bisa bertahan. Dalam kondisi ini secara alamiah seseorang akan menggunakan beberapa cara agar keluar di posisi yang tidak aman atau setidaknya posisi tidak aman seseorang tetap atau stabil.
Melihat itu, meskipun pemerintah melakukan berbagai cara antisipasi dalam memutus rantai pandemi namun tidak memperhatikan aspek kesejahteraan, posisi bahaya yang dirasakan masyarakat akan tetap ada. Sehingga setiap orang akan berupaya menemukan kesejahteraannya sendiri dengan berbagai cara. Kesejahteraan yang bersifat relatif ini akan diupayakan agar posisi bahaya berubah menjadi aman. Hal ini adalah imbas terputusnya akses sumber daya kebutuhan dasar yang menopang kesejahteraan akibat pandemi seperti pekerjaan. Akibatnya jumlah produksi akan terus menurun hingga pada kondisi yang rentan.
Kondisi rentan ini akan terus menyebar pada setiap kelas sosial masyarakat apabila tidak segera diselesaikan. Meskipun kondisi rentan pada setiap kelas sosial berbeda tergantung pada kekuatannya (resilence). Akan tetapi yang harus diperhatikan adalah tindakan yang dilakukan akan berdampak pada aspek sosial baik bersifat positif atau negatif. Bersifat positif seperti rasa empati dan kemauan untuk keluar dari kondisi secara bersama seperti donasi atau bantuan. Namun bisa bersifat negatif ketika menggunakan tindakan irasional seperti tindak kriminal. Hal inilah yang harus diperhatikan, karena jika tidak akan terjadi social panic yang berdampak fatal, terjadinya keributan. Maka dari itu menurut penulis, agar tindakan yang bersifat irasional yang bermuara pada tindak kriminal tidak terjadi, pemenuhan kebutuhan dasar selama pandemi harus terus dilakukan agar masyarakat berada pada kondisi aman.
Han, Clara. (2018). Precarity, Precariousness, and Vulnerability.
Annual Review of Anthropology. USA: Department of Anthropology, Johns Hopkins University, Baltimore, Maryland 21218
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H