Setiap hari, kita, baik secara sadar maupun tidak, memproduksi sampah sebagai konsekuensi dari aktivitas kita. Sebagian dari sampah yang kita hasilkan merupakan sampah plastik yang begitu sulit diurai secara alami. Namun demikian, sifat plastik yang mudah digunakan serta murah, membuatnya menjadi pilihan utama dalam berbagai pengemasan produk yang kita gunakan. Tak hanya itu, kantong plastik juga merupakan hal yang sulit untuk dihindari ketika kita membeli sesuatu.
Dengan begitu banyaknya produk yang menggunakan kemasan plastik, sulit bagi kita untuk lepas dari ketergantungan akan plastik. Menurut penelitian dari Indonesia Solid Waste Assosiation (InSWA), rata-rata orang Indonesia memproduksi 0,5 Kg sampah setiap hari dan 13 persen dari jumlah itu merupakan sampah plastik.
Dengan melihat produksi sampah per individu tersebut, maka wajar kalau secara nasional negara kita juga mengalami permasalahan terkait sampah. Saat ini kita berada di peringkat dua sebagai negara penghasil sampah terbesar di dunia. Dengan produksi sampah yang mencapai 64 juta ton per tahun. Kita hanya satu tingkat lebih baik dari China selaku penghasil sampah terbanyak dunia. Yang lebih mengerikan, 14 persen dari 64 juta ton produksi sampah nasional adalah sampah plastik. Dengan angka itu berarti dalam waktu satu tahun saja, akan ada 9,52 juta ton sampah plastik.
Dalam laporan terpisah, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) melaporkan sampah kantong plastik yang dihasilkan mencapai 10,95 juta lembar per tahun. Maka jika persoalan ini dibiarkan terus menerus tanpa mendapat penanganan yang tepat, tidak berlebihan jika mengatakan Indonesia lambat laun akan tenggelam dalam tumpukan sampah yang dihasilkan penduduknya sendiri.
Saat ini, berbagai kelompok maupun pemerintah memang tidaklah tinggal diam dalam menghadapi persoalan sampah. Mereka terus berupaya menciptakan berbagai terobosan dan inovasi. Salah satu inovasi yang tercipta dari pengolahan sampah plastik ini adalah penggunaanya dalam campuran aspal yang beberapa waktu lalu diujicobakan. Hanya saja, dengan produksi sampah plastik yang demikian cepat, tidak mampu diimbangi dengan tingginya pengaspalan jalan yang melibatkan plastik. Sehingga perlu banyak inovasi lain untuk bisa mengatasi krisis lingkungan akibat pesatnya peningkatan sampah plastik.
Selain krisis lingkungan, Indonesia juga mengalami krisis energi. Terutama pada energi berbasis bahan bakar minyak. Betapapun Indonesia dijuluki zamrud katulistiwa, negara kaya raya yang memiliki cadangan minyak berlimpah, tapi jika terus menerus diekplorasi cadangan minyak tersebut akan habis. Energi fosil yang berupa cadangan minyak dan gas bumi tersebut diperkirakan akan habis dalam 12 tahun mendatang.
Rentang waktu tersebut adalah waktu yang sebentar untuk merubah haluan dari kebiasaan menggunakan energi fosil menjadi menggunakan energi alternatif, misalnya, energi nabati. Selain itu, penggunaan energi nabati memerlukan persiapan infrastruktur dari mulai on farm hingga off farm-nya. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan pangannya saja, negara kita masih harus mengimpor berbagai komoditas pertanian.
Maka penggunaan sumber-sumber lain sebagai energi alternatif adalah kemungkinan yang harus disambut baik. Salah satunya adalah pemanfaatan sampah plastik menjadi bahan bakar pengganti minyak bumi.
Inovasi ini memang bukanlah barang baru bagi dunia energi tanah air. Namun demikian pemanfaatannya yang masih kecil membuatnya harus terus disosialisasikan sekaligus terus disempurnakan. Hal ini penting karena dengan mengubah sampah plastik menjadi energi alternatif berarti kita sudah menyelesaikan dua masalah besar dalam satu langkah kerja. Di satu sisi kita mengurangi jumlah sampah plastik yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terdekomposisi, di sisi lain kita menyediakan energi alternatif sebagai pengganti energi fosil yang cadangannya kian hari kian menipis.
Secara teknis, sampah plastik dipanaskan dalam sebuah tabung reaktor hingga meleleh lalu menguap. Uap yang dihasilkan dari pemanasan sampah plastik kemudian disalurkan melalui pipa menuju kondensor atau pendingin. Dengan begitu, uap akan berubah menjadi cair. Cairan inilah yang selanjutnya dapat diolah menjadi bahan bakar setara minyak tanah, premium, maupun solar, tergantung dari proses lanjutan yang dilakukan.