Mohon tunggu...
Fajar Sutrisno
Fajar Sutrisno Mohon Tunggu... Hamba Allah -

Pengelana Kata...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Menghitung Mundur Waktumu

8 Mei 2015   10:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:15 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Berapa usiamu sekarang cu?" Ucap sang kakek tua yang aku temuidi kaki gunung ketika aku beristirahat dari perjalananku. Melihat dari postur tubuh dan raut mukanya yang teduh aku kira dia berusia lebih dari 65 tahun. Tidak tahu pastinya karena aku sengaja tidak bertanya padanya, aku rasa itu tidak sopan. Dia pasti sudah kenyang makan asam garam kehidupan, gumamku dalam hati.

“Dua puluh lima, Ki”, ujarku menjawab pertanyaan sang kakek. Sebutan ki aku tujukan padanya karena di daerah Jawa Barat orang yang sudah sepuh biasa disebut ki atau kependekan dari Aki. Aki-aki berarti kakek-kakek. Sedangkan istilah cu maksudnya Incu atau cucu.

“Memangnya ada apa ki?” tanyaku sejurus kemudian. “waktu aki seusia kamu aki sudah punya anak tiga, cu”. Lagi hati dan pikiranku bergumam, “yaah memang jamannya beda ki”. Seakan tahu jalan pikiranku, si aki berkomentar “iya memang jamannya beda ya cu”. Sedikit membuatku terhenyak atas barisan kata yang aku dengar barusan, aku memilih diam.

“Tidak terasa usia aki sekarang sudah hampir 70 tahun cu”, ujar si aki kemudian. Jujur saja, aku sebenarnya tidak tertarik untuk terus duduk di sebuah gubug di kaki gunung yang saat itu aku datangi. Bukan, bukan untuk didaki. Aku mulanya ingin mendaftar untuk tim Pencinta Alam di kampusku agar bisa kembali ke situ dan melakukan pendakian sekitar satu atau dua pekan sepulangku dari situ. Survey lapangan, biasa kami sebut begitu. Hanya saja, kelelahan dan hujan deras membuatku ‘terpaksa’ duduk disebelah seorang kakek tua yang baru saja hendak pulang, entah kemana dan dari mana aku tidak perduli. Dan tidak ada tempat lain lagi disitu untukku berteduh.

Gubug tua yang reot itu memang salah satu titik dalam rute menuju ke puncak Gunung itu, hanya sekitar 2 kilometer jauhnya dari pos penjagaan terdekat. Buat kami, biasalah kami sebut Checkpoint Satu. Dimana kami biasanya mempersiapkan alat-alat kami. Mengecek ulang semua. Walaupun bukan pendaki gunung sejati kami tetap memenuhi standar para Trekker, tentunya agar pendakian berjalan lancar dan aman.

“Aki ingat dulu, cu saat itu badan aki lebih kecil dan pendek. Tidak seperti kamu yang kelihatannya giat berolahraga”. Mulailah sang kakek bercerita panjang dan lebar mengenai masa lalunya dan betapa bahagianya dia dulu bersama istri dan anak-anaknya. Khas sebagaimana banyak orang-orangtua jika berjumpa dengan pemuda. Walaupun kami tidak saling mengenal sebelumnya. Dan aku pun tidak bertanya. Aku pikir biarlah, toh jika aku rasa tenagaku sudah pulih dan hujan telah mereda aku akan melanjutkan perjalananku.

“tidak terasa, waktu berjalan, sekarang badan Aki mulai lemah”, lanjutnya menambah kisah panjang lebarnya mengenai hidup dan kehidupan.

“Sejatinya, waktu yang kita dapati di dunia ini adalah hitungan mundur”. Usia umat baginda Nabi SAW umumnya sekitar 60 sampai 70 tahun dan beberapa sedikit di atas itu. “Aki berarti termasuk yang sedikit itu, cu”.

“Jangan tertipu oleh megah dan menyilaukan dunia, cu”. Semua itu hanya sementara. Ibarat kau ingin memasuki hutan di gunung, engkau harus berbekal agar kau siap menghadapi apa pun didalam sana” ujarnya sambil mengarahkan pandangannya ke Gunung yang hendak aku daki kelak.

“Waktu yang sangat singkat yang akan kau jalani di dunia ini harus kamu isi sebaik mungkin dengan kebaikan dan ajarkan kebaikan itu kesemua orang yang kamu sayang. Bahkan kepada setiap orang yang kamu temui, jika itu memungkinkan”.

“Segala apa yang kamu miliki di dunia ini akan kamu tinggal pergi”. “Kamu boleh mencintai siapapun tapi kamu pasti akan berpisah dengannya”. “Kamu boleh memiliki sebanyak apapun harta tetapi kamu pasti akan meninggalkannya menjadi rebutan para ahli warismu”. “Mereka semua bahkan hanya akan mengikutimu sebatas tempat dimana kamu akan dimakamkan”. “Kemudian mereka semua akan kembali mengejar dunia, meninggalkanmu sendirian didalam sana”. Hanya tinggal amal ibadah dan segala perbuatan baik seperti sedekah, berbakti kepada orangtua dan ilmu yang kamu manfaatkan untuk kebaikan semua orang serta harta yang kamu manfaatkan dijalan yang benar”. “itu semua yang akan kamu bawa bersamamu, cu. Menemani perjalanan panjangmu kelak”.

Hujan sudah reda, rasanya ingin segera beranjak dari gubug reot itu. Aku pun pamit kepada sang kakek. Rasanya aku tidak butuh dinasehati soal hidup dan kehidupan. Aku toh masih muda, usia harapan hidupku masihlah lama. Setidaknya itu harapanku.

Setelah pamit dan bersalaman, aku segera berjalan menuju ke jalan raya. Sekitar beberapa kilometer ke depan. Ketika hendak menyeberang jalan sesampainya di jalan raya aku dikagetkan oleh suara mendecit keras dari sebuah mobil yang melaju kencang ke arahku. Kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi. Semua gelap.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun