Oleh : Faiz Alzawahir M
Indonesia, tak ada masalah yang ga akan jadi tranding topik di negeri yang bernama indonesia. Masalah ekonomi,HAM,politik,hukum apalagi masalah-masalh yang sudah menyangkut dengan agama dan simbol-simbol keagamaan. Beberapa saat yang lalu negeri ini diramaikan dengan pro dan kontra mengenai tulisan berbahasa arab di baju yang dikenakan oleh agnes monica. Tak lama dari itu perdebatan dan pelaporan sebuah produsen panci/alat masak yang bertuliskan “alhamdulilah” yang langsung ditanggapi serius oleh MUI Jember.
Negeri ini yang katanya penduduknya religius dan beragama ciri khas adat ketimuran selalu menyangkutkan agama dalam setiap masalah,Memang hal itu sudah yang seharusnya akan tetapi semua itu menjadi masalah manakala mendompleng nama agama dalam membungkus ambisi pribadi dan golongan. Isu yang menyangkut agama memang hal yang “seksi” untuk disoroti dan diperdebatkan oleh media di negeri ini. Contoh apabila terjadi bentrokan yang melibatkan ormas islam semisal FPI pasti semua media massa baik cetak ataupun elektronik menyorotinya sebagai pelanggaran HAM dan menjadi headline serta topik hangat di semua media. Hal itu akan berbeda apabila yang bentrok itu ormas yang tidak ada embel-embel islamnya semua media kalaupun memberitakan hanya dengan judul berita “bentrokan ormas” tidak ada embel-embel HAM padahal bentrokan tersebut sampai menyebabkan korban jiwa seperti yang terjadi di medan antara Pemuda Pancasila dengan Ikatan Pemuda Karya.
Isu SARA memang masih demikian “seksi” dinegeri ini apalagi bila terkait dengan islam didalamnya. Oleh sebab itu kelakuan-kelakuan ormas islam tentu akan langsung dikaitkan dengan islam itu sendiri. Mendompleng nama islam dalam sebuah organisasi masyarakat memang bagaikan “pedang bermata dua”. Dimana hal itu bisa menjadi magnet untuk menarik simpati masyarakat dan bisa pula menjadi masyarakat semakin jauh dari islam yang seutuhnya ketika ormas islam tersebut melakukan kekerasan,kesalahan dan mendompleng nama islam untuk kepentingan pribadi dan golongan. Oleh sebab itu bagi ormas-ormas yang memakai embel-embel islam dalam nama dan simbol yang dipakainya haruslah berhati-hati dan bijaksana dalam berbuat dan bergerak karena kesalahan kecil saja yang diperbuat tentu akan langsung dikaitkan dengan islam dan secara tidak langsung akan menjadi label untuk umat islam yang ada dinegeri ini.
“Tuhan tidak perlu dibela” begitulah Gusdur berucap, “islam tak perlu dibela” itulah yang dikatakan emha ainun nadjib dalam sebuah kesempatan. Tak jarang orang yang katanya mau membela Tuhan malah menindas atas nama Tuhan. Mendompleng nama Tuhan untuk melakukan kekerasan dan peperangan memang sudah ada semenjak ribuan tahun yang lalu sebagaimana dibahas dalam buku the battle for God karya Karen Amstrong. “islam tak perlu dibela” bela lah masyarakat yang tertindas,bantulah mereka yang fakir dan mengajar agamalah dengan ikhlas karena dengan itu kita akan meninggikan islam dan mewujudkan islam yang rahmatan lilalamin.
Janganlah dengan dalih memperjuangkan islam justru dengan itu malah menghancurkan islam dari dalam. Jangan dengan dalih mau membela islam justru dengan itu malah menjauhkan umat dari nilai islam yang seutuhnya, kita rujuk pada peristiwa awal dimana islam terpecah yaitu manakala peristiwa tahkim. Ketika umat islam terpecah menjadi syi’ah,khawarij dan ahli sunnah (sunni) dimana syiah dengan mendompleng ayat suci alqur’an dan hadis mengkafirkan khawarij demikian pula sebaliknya khwarijpun mengkafirkan syi’ah. Sampai pada akhirnya saidina Ali pun terbunuh oleh Abdurahman Bin Muljam. Fatwa kafir mengkafirkan bukan lagi atas dasar nash alquran dan hadis melainkan kepentingan politik dan kekuasan. Kita perlu mencermati terjadinya pristiwa tahkim bukan karena semangat dakwah melainkan karena politik dan kekuasaan. Oleh sebab itu fatwa saling mengkafirkan semata-mata karena politik dan supaya umat islam dengan umat islam lainnya rela berperang dan membunuh satu sama lain. Karena jika tidak ada fatwa “kafir” tidak mungkin rela saling bunuh satu sama lain.
Kita harus mengambil pelajaran yang demikian besar pada sejarah kelam yang telah dilalui oleh para pendahulu, jika motiv besar dalam perjuangan adalah kekuasaan dan kekayaan maka cucu rasululohpun akan rela untuk dikorbankan. Apalagi kita yang hanya masyarakat biasa. Sekarang muncul muawiyah-muawiyah moderen. Abduloh bin muljam abad 21 yang dengan gampangnya mengkafirkan orang yang melaksanakan sholat dengan tuduhan kafir. Masalah keimanan biarlah menjadi urusan setiap pribadi dengan Tuhan karena hanya Allah yang memiliki otoritas menilai iman setiap orang. Bagi kita sesama manusia iman itu terpancar dalam amal dan perbuatan. Biarlah kerja sosial dan amal shaleh yang harus kita tingkatkan. Dalam pemahaman saya seseorang tidak akan menjadi beriman ketika mampu mengkafirkan orang lain dan dia tidak akan menjadi sholeh dengan hanya menyalahkan orang lain. Biarlah amal kita yang berbicara karena ketika kita berbuat baik orang tidak akan bertanya apa agamamu dan sebaliknya ketika kita berbuat jahat agama yang kita anut pasti akan terbawa dan dipertanyakan oleh orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H