Mohon tunggu...
Faizul Huda Alafi
Faizul Huda Alafi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Seorang mahasiswa teknik informatika yang suka dengan dunia game.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

SVM vs Naive Bayes: Memahami Sentimen Publik terhadap Putusan Mahkamah Agung

7 September 2024   16:47 Diperbarui: 7 September 2024   16:47 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SVM vs Nave Bayes: Memahami Sentimen Publik terhadap Putusan Mahkamah Agung

Kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan merupakan elemen kunci dalam menjaga stabilitas sosial dan politik di sebuah negara. Kasus korupsi dan kriminalitas yang melibatkan tokoh publik seringkali menjadi barometer utama bagaimana masyarakat menilai integritas hukum dan keadilan. Dalam konteks Indonesia, kasus Ferdy Sambo pada tahun 2023 adalah salah satu contoh yang mengguncang kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. Kasus ini tidak hanya melibatkan seorang petinggi kepolisian, tetapi juga menyulut diskusi publik yang meluas di berbagai platform media sosial.

Artikel ilmiah yang ditulis oleh Maulidiana et al. (2024) dalam Jurnal SISFOKOM, meneliti bagaimana opini masyarakat terhadap putusan Mahkamah Agung dalam kasus ini. Dengan menggunakan teknik crawling untuk mengumpulkan 624 tweet dari platform Twitter, yang sekarang dikenal sebagai X apps, para peneliti berusaha mengkategorikan sentimen publik menjadi tiga kelas: positif, negatif, dan netral. Mereka menemukan bahwa mayoritas komentar, sekitar 67,6% atau 422 dari 624 tweet, bersifat netral, sementara 21,3% menunjukkan sentimen negatif dan hanya 7,4% yang bersentimen positif.

Metode yang digunakan untuk menganalisis sentimen ini adalah algoritma Support Vector Machine (SVM) dan Nave Bayes (NB), yang keduanya merupakan alat populer dalam machine learning untuk pengklasifikasian data. Hasil dari analisis ini menunjukkan bahwa SVM memiliki akurasi yang lebih tinggi dengan nilai 0,84 dibandingkan NB yang hanya memiliki akurasi 0,73. Temuan ini menegaskan bahwa algoritma SVM lebih efektif dalam mengolah data yang kompleks, termasuk sentimen publik yang cenderung ambigu atau multi-dimensional.

Namun, angka-angka ini bukan sekadar statistik belaka. Mereka mencerminkan realitas bahwa kepercayaan publik terhadap peradilan sedang diuji, dan bagaimana reaksi masyarakat terhadap kasus-kasus besar seperti ini dapat mempengaruhi stabilitas institusional dalam jangka panjang.

***

Kasus Ferdy Sambo, yang melibatkan seorang mantan perwira tinggi kepolisian, menjadi perhatian publik yang sangat besar pada tahun 2023. Putusan Mahkamah Agung terkait kasus ini tidak hanya diperdebatkan di ranah hukum, tetapi juga di media sosial, yang sering kali menjadi cerminan opini publik. Studi yang dilakukan oleh Maulidiana et al. (2024) mencoba memahami persepsi masyarakat dengan menggunakan analisis sentimen dari media sosial. Dengan 624 data komentar yang diambil dari dua akun besar, yaitu detikcom dan kumparan, penelitian ini memberikan wawasan menarik tentang bagaimana publik merespons keputusan Mahkamah Agung.

Dalam penelitian tersebut, algoritma SVM terbukti lebih efektif dengan akurasi sebesar 84%, dibandingkan Nave Bayes yang hanya mencapai 73%. SVM, yang dikenal baik dalam menangani data berdimensi tinggi, menunjukkan keunggulannya dalam menganalisis teks yang bersifat ambigu atau kompleks, seperti opini masyarakat yang tersebar di media sosial. Namun, yang lebih menarik adalah distribusi sentimen dalam dataset. Dari 624 tweet, sebanyak 422 (67,6%) mengindikasikan netralitas, yang menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih cenderung mengambil sikap menunggu atau tidak ingin terlibat dalam polemik ini.

Sebaliknya, 133 tweet (21,3%) mengandung sentimen negatif, yang merefleksikan ketidakpuasan terhadap putusan Mahkamah Agung yang mengurangi hukuman mati Ferdy Sambo menjadi hukuman penjara seumur hidup. Ketidakpercayaan publik terhadap lembaga hukum, terutama dalam kasus yang melibatkan pejabat publik, bukanlah fenomena baru di Indonesia. Menurut laporan Transparency International pada tahun 2022, Indonesia menduduki peringkat 96 dari 180 negara dalam hal Indeks Persepsi Korupsi, yang menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik yang masih rendah.

Analisis sentimen negatif ini menegaskan betapa rentannya lembaga hukum dalam menghadapi penilaian publik, terutama ketika mereka terlibat dalam kasus-kasus yang melibatkan tokoh penting. Di sisi lain, hanya 46 tweet (7,4%) yang menunjukkan sentimen positif, menandakan bahwa meskipun ada segelintir pihak yang mungkin mendukung putusan tersebut, jumlah mereka sangat sedikit. Ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai sejauh mana Mahkamah Agung dan institusi hukum lainnya mampu memulihkan kepercayaan publik di tengah kontroversi semacam ini.

Dengan data tersebut, dapat dikatakan bahwa keputusan Mahkamah Agung dalam kasus Sambo belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Publik masih merasa skeptis terhadap transparansi dan independensi lembaga peradilan, terutama ketika putusan tersebut dianggap menguntungkan pihak yang memiliki kekuasaan. Rendahnya sentimen positif juga menunjukkan bahwa upaya untuk memperbaiki persepsi publik terhadap sistem hukum masih memerlukan langkah-langkah nyata. Mahkamah Agung dan lembaga penegak hukum lainnya perlu bekerja lebih keras untuk menunjukkan bahwa mereka berkomitmen pada prinsip keadilan yang tidak memihak, serta transparan dalam proses pengambilan keputusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun