Mohon tunggu...
Faiz Rahman
Faiz Rahman Mohon Tunggu... Peneliti -

Researcher Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada BC 202, Fisipol Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Golongan Putih dan Pemilu Berintegritas

20 Maret 2014   05:40 Diperbarui: 20 April 2018   12:58 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia tengah memasuki tahun politiknya. Pesta demokrasi terbesar di  Indonesia sebentar lagi akan tiba, estafet kepemimpinan pun akan segera berpindah tangan. Pemilihan Umum tahun 2014 akan menjadi tonggak perubahan bagi bangsa Indonesia, apakah akan menjadi lebih baik lagi atau bahkan sebaliknya? Semua bergantung pada siapa saja calon yang akan tampil nanti, apakah merupakan calon-calon yang benar-benar bisa memperjuangkan kepentingan masyarakat atau sebaliknya. Tidak hanya itu, perubahan bagi Indonesia kedepan juga bergantung pada bagaimana pelaksanaan dan penyelenggaraan Pemilihan Umum pada tahun 2014 ini. 

Pemilu dari masa ke masa

Seperti diketahui bahwa pemilihan umum pertama kali diadakan pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan konstituante. Partisipasi dan antusiasme masyarakat Indonesia saat itu sangatlah tinggi mengingat pemilu 1955 merupakan salah satu tonggak sejarah Indonesia dalam rangka menjalankan demokrasinya. Seiring berjalannya waktu, pemilihan umum dirasa tidak lagi demokratis, banyak sekali dijumpai intrik-intrik dan rekayasa politik dalam pelaksanaannya terutama pada masa orde baru. 1968 – 1998, Tiga puluh tahun semangat demokrasi Indonesia seakan dimatikan. Pemilu pada masa itu dirasa bukan lagi sebagai pesta demokrasi, melainkan hanya sebagai formalitas belaka. Parlemen diisi oleh orang-orang dari golongan yang sama, Indonesia pun dipimpin oleh orang yang sama. Tahun-tahun ini merupakan bagian dari sejarah kelam demokrasi Indonesia dimana Indonesia dipimpin dengan otoritarianisme penguasanya. Tahun 1999 merupakan tahun bangkitnya kembali demokrasi Indonesia yang seperti mati suri selama tiga puluh tahun. Komisi Pemilihan Umum dibentuk tahun 1999 untuk menjamin pelaksanan pemilu yang LUBERJURDIL. Ratusan partai politik mendaftar sebagai peserta pemilu meskipun kemudian ada 48 partai politik yang terdaftar. Namun meskipun demikian, pemimpin Indonesia saat itu masih dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang saat itu masih menjadi lembaga tertinggi Negara. Tahun 2004 menjadi satu bagian penting sejarah demokrasi bangsa Indonesia, untuk pertama kalinya Presiden dipilih langsung oleh rakyat Indonesia. Pemerintahan Indonesia yang sebelumnya terkesan parlementer, mulai menunjukkan ciri presidensialnya dengan diadakannya pemilihan umum untuk memilih Presiden dan wakil presiden. Pemilihan Presiden secara langsung ini merupakan menjadi fondasi baru bagi semangat demokrasi di Indonesia dan sebagai solusi untuk mencegah kembali adanya pemerintahan yang executive heavy seperti pada rezim Soeharto. Dan tahun 2014 ini akan menjadi kali ke tiga pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta menjadi kali ke sebelas pemilihan umum untuk memilih anggota legislatif. 

Golongan Putih, Pemidanaan, dan Hak Konstitusional Warga Negara 

Golongan Putih (Golput) semula merupakan gerakan moral yang dicetuskan agar masyarakat Indonesia dapat menggunakan haknya dengan keyakinan, dan juga  sebagai bentuk kritik terhadap pemerintahan Orde Baru karena menurut mereka, dengan atau tanpa adanya pemilu, kekuatan yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia tetaplah ABRI. Gerakan Golput ini mulai dicetuskan sejak tahun 1971, dimana pemilihan umum pertama di masa Orde Baru dilakukan. Bila kita lihat kembali sejarah pemilihan umum sejak tahun 1955, jumlah golput cenderung terus naik. Hal tersebut bisa dilihat dari pemilih yang tidak datang dan suart suara yang tidak sah. Pada tahun 1955, teradapat golput sebesar 12,34%. Pada Pemilu 1971 sebesar 6,67%, kemudian naik menjadi 8,40% pada pemilu 1977, 9,61% pada 1982, 8,39% pada 1987, 9,05% pada 1992, 10,07% pada 1997, 10,40% pada 1999, 23,34% pada pemilu legislatif 2004, 23,47% pada pemilu presiden 2004 putaran pertama, 24,95% pada putaran kedua, kemudian 39,1% pada pemilu legislatif 2009, dan 29,0059% pada pemilu presiden 2009. Ada tiga kesimpulan yang bisa didapatkan dari data mengenai fenomena mengingkatnya angka golput tersebut. 

Pertama, bahwa masyarakat Indonesia semakin apatis. Sebuah kesimpulan sederhana yang bisa dilihat dari naiknya angka golput tersebut. Dari naiknya angka golput tersebut dapat dikatakan bahwa saat ini masyarakat sudah semakin apatis dengan bangsanya sendiri.  Kedua, golput menjadi bentuk kritik terhadap pemerintah. Bisa dilihat saat ini kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin berkurang. Hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya kasus korupsi maupun kasus kejahatan lainnya yang dilakukan oleh para pejabat Negara saat ini. Ketiga, masyarakat sudah muak dengan janji-janji manis yang tidak ditepati ketika calon legislatif dan calon presiden sudah terpilih. Para calon anggota legislatif maupun calon Presiden pada masa kampanyenya menjanjikan berbagai macam hal kepada masyarakat dengan berbagai program yang didesain sangat baik dengan dalih untuk ‘mensejahterakan masyarakat’, namun ketika mereka sudah menduduki kursi kekuasaan yang terjadi adalah mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi (salah satunya untuk balik modal dana kampanye) daripada kepentingan masyarakat yang banyak mereka janjikan saat kampanye. 

Pada Pemilu 2014 muncul wacana untuk melakukan pemidanaan terhadap siapapun yang tidak menggunakan hak suaranya atau bagi siapapun yang mengajak untuk tidak memilih alias pemidanaan terhadap golput. Peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar mengatakan bahwa pemidanaan terhadap golput tidak memiliki dasar hukum dan seharusnya tidak boleh ada. Pemidanaan terhadap golput ini bukanlah solusi yang cerdas untuk menurunkan angka golput pada pemilu 2014. Pemidanaan terhadap golput sama saja dengan pemaksaan terhadap para pemilih untuk harus memilih. Mungkin dengan adanya pemidanaan terhadap golput tersebut bisa menurunkan angka golput, akan tetapi nantinya pemilih yang datang ke TPS nantinya hanya datang sebagai formalitas belaka saja agar tidak dipidana, dan hasil dari pemilu yang diadakan dengan cara seperti itu jelas akan lebih buruk dibanding dengan tidak adanya pemidanaan terhadap golput. Negara ini akan dipimpin oleh orang-orang yang lahir dari ketakutan dan ketidakikhlasan rakyatnya, dan hal tersebut bukanlah sesuatu yang baik bagi Indonesia yang katanya adalah Negara yang demokrastis. Golput merupakan pilihan politik, dan memilih adalah hak konstitusional bagi warga Negara, tidak memilih adalah sebuah pilihan. Sehingga seharusnya tidak boleh ada ketentuan yang dapat mengurangi atau membatasi hak konstitusional warga Negara. 

Pemilu Berintegritas, Sebuah Solusi 

Mengingat vitalnya pemilihan umum dalam menentukan nasib Indonesia kedepannya, memang meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilu menjadi salah satu solusinya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa figur-figur yang tampil dalam pemilu pun juga menentukan di tangan orang seperti apa nantinya nasib Indonesia ini dipegang. Penyelenggaraan pemilu yang berintegritas menjadi sebuah solusi baik dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat serta meminimalisir munculnya calon-calon yang tidak berkompeten. Menurut Jimly Asshiddiqie, “Integritas penyelenggaraan Pemilu yang secara konsepsional dapat dilihat dari perspektif manajemen organisasi penyelenggara Pemilu yang tertib dan profesional baik dalam kerangka mengelola dan menjalankan peraturan administrasi Pemilu yang meliputi pengaturan teknis-operasional tahapan dalam bentuk perumusan peraturan internal KPU dan Bawaslu yang sejalan dengan Undang-Undang, menegakkan peraturan tindak pidana Pemilu, maupun terkait dengan pelaksanaan peraturan penegakan kode etik penyelenggara Pemilu.” 

Untuk itu, dalam rangka melaksanakan pemilu yang berintegritas, dibutuhkan sinergi yang baik antara penyelenggara pemilu, pihak-pihak pendukung, peserta pemilu, serta masyarakat luas secara keseluruhan. Sebagai bentuk sinergi, perlu sekiranya dilakukan sosialisasi yang masif dan menyeluruh dari penyelenggara, peserta pemilu, dan sekiranya pihak-pihak pendukung lainnya kepada masyarakat luas mengingat ternyata di lapangan masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui kapan pelaksanaan pemilu dan mekanisme pemilu itu sendiri. Tahun 2014 menjadi momentum penting bagi Indonesia dalam rangka pergantian estafet kepemimpinan bangsa. Untuk itu, partisipasi seluruh komponen dalam rangka menciptakan pemilu yang berintegritas sangatlah diperlukan, tidak hanya dari penyelenggara pemilu, tetapi juga peserta pemilu, dan masyarakat Indonesia secara umumnya. Ingat bahwa nasib dan masa depan bangsa Indonesia nantinya ditentukan oleh rakyat Indonesia sendiri. 

*tulisan ini juga dimuat di website resmi Dewan Mahasiswa Justicia FH UGM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun