Sejak masa pandemic Covid-19, Kesehatan Mental merupakan salah satu topik yang semakin hangat dibicarakan dan menjadi perhatian karena adanya kebijakan pemerintah seperti, bekerja dari rumah hingga sekolah dari rumah yang dialami oleh masyarakat. Adanya perubahan kondisi tersebut, secara tidak langsung mempengaruhi kondisi ekonomi dan sosial yang memunculkan perubahan psikologis pada setiap keluarga.
Bimbingan dan Konseling sebagai salah satu bagian dari layanan bantuan sekolah kepada siswa pada akhirnya juga akan menyentuh orang tua/keluarga dalam menyelesaikan masalah siswa. Komunikasi dengan orang tua/keluarga siswa selalu memunculkan informasi kondisi keluarga yang biasanya mempengaruhi perilaku siswa dalam proses pembelajaran di sekolah. Sebagai profesi, Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor Sekolah termasuk dalam salah satu bidang profesi yang berkapasitas membantu atau menyembuhkan orang lain, seperti halnya dokter, perawat, terapis, dan profesi lainnya. Dalam proses pelaksanaan pekerjaannya,
Guru Bimbingan dan Konseling tersebut membutuhkan rasa empatik kepada siswa/orang tua agar dapat memahami serta membantu menyelesaikan permasalahannnya.
Kondisi tersebut secara tidak langsung membuat Guru Bimbingan dan Konseling terpapar emosi siswa/orang tua dan berempatik dengan situasi yang dialami oleh mereka. Guru Bimbingan dan Konseling dapat terpengaruh dengan emosi atau over empatik terhadap permasalahan yang dialami siswa/orang tua, sehingga dapat mengalami Compassion Fatigue (Kelelahan Kasih Sayang).
Compassion fatigue (Kelelahan Kasih Sayang) dapat diterjemahkan sebagai suatu kondisi yang menggambarkan dampak fisik, emosional, dan psikologis dari membantu orang lain.
Menurut Charles Figley (1995) Compassion fatigue atau kelelahan kasih sayang didefinisikan sebagai "keadaan kelelahan dan disfungsi---secara biologis, psikologis, dan sosial---akibat dari paparan berkepanjangan terhadap stres pendamping dan semua yang ditimbulkannya" dan mengkonseptualisasikannya sebagai respon terhadap tuntutan emosional mendengar dan
menyaksikan cerita rasa sakit dan penderitaan.
Menurut Shaun Joynt (2020) menjelaskan bahwa biasanya, keadaan compassion fatigue terkesan mirip dengan keadaan burnout. Burnout adalah proses yang terjadi karena stresor pekerjaan seperti beban kasus yang tinggi, semangat kerja yang rendah, dan dukungan yang minim. Selain itu burnout memiliki jangka yang lebih lama, maka compassion fatigue memiliki jangka yang lebih singkat. Ketika seseorang mengalami burnout, ia akan memberikan reaksi negatif terhadap orang lain, mengalami frustrasi, ada amarah yang dalam diri, dan menarik diri dari kehidupan sosialnya. Namun, jika seseorang memiliki compassion fatigue, yang terkena pengaruh adalah rasa empati yang berkurang, mengalami adiksi, mimpi buruk, dan akan ada perubahan dalam keyakinan, ekspektasi, dan asumsi-asumsi. Pada beberapa individu Guru Bimbingan dan Konseling sering tidak sadar mengalami kondisi compassion fatigue karena menganggap perasaan yang dialami adalah hal biasa, padahal kondisi tersebut dapat mempengaruhinya dalam memberikan pelayanan Bimbingan dan Konseling kepada siswa/orang tua.Â
Untuk itu Guru Bimbingan dan Konseling harus mengetahui cara melakukan self-care secara personal maupun sosial. Penting bagi Guru Bimbingan dan Konseling untuk menyisihkan waktu agar dapat beristirahat dari pekerjaan, melakukan kegiatan fisik yang sehat bagi tubuh, dan memiliki hubungan sosial yang saling mendukung. Tidak hanya dari segi fisik dan sosial, membentuk suatu batasan profesional yang jelas, juga merupakan salah satu bentuk personal self-care yang baik bagi kesehatan mental seseorang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H