Mohon tunggu...
Faiz Manshur
Faiz Manshur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Jika kamu tak tentram dengan angan-angan, sikap realistis menyediakanmu untuk bahagia.\r\nhttp://faizmanshur.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kematian yang Menghidupkan

18 Februari 2012   13:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:29 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kematian itu menakutkan. Dan ketakutan merupakan gerbang utama dari persepsi kita untuk membicarakannya. Selain menakutkan, kematian kita persepsikan sebagai kepastian (takdir)-- karena fakta banyak hal dalam kehidupan ini mengalami kematian. Mungkin saja tidak setiap barang hidup pasti mati,-karena kita tidak punya fakta keseluruhan. Tetapi orang terlanjur percaya yang hidup pasti mati-kecuali Tuhan-karena doktrin agama.

Pintu selanjutnya kita melihat kematian itu menyedihkan, bahkan mengerikan. Lantas kita pun melihat lebih jauh lagi, kematian sebagai realitas-- di mana kita yang takut, cemas, ngeri dan memiliki sejumlah perasaan lain ini-- melihat sebagai sesuatu yang pasti akan menimpa kita.

Orang-orang modern (maksudnya orang-orang yang berpikir datar dalam bingkai rasionalitas) lebih suka menjauhkan diri dari kematian karena tidak mengasyikkan. Orang-orang modern merasa hidup sebagai kehidupan yang normal; yang harus dilalui dalam kenyataan kerja untuk urusan makan, seks untuk reproduksi dan rekreasi dan aktualisasi diri untuk sebuah pengakuan hidup.

Hal seperti ini sebenarnya tidak menguntungkan bagi kita karena menjauhkan pikiran dari kematian sebenarnya merupakan sikap kurang gentle dalam menghadapi realitas hidup. Adanya kematian tak lain karena adanya kehidupan. Tema kematian menjadi penting karena di sanalah, hidup kemudian memiliki sejumlah pesona; bukan semata laku hidup itu sendiri, melainkan arah kehidupan pasca kematian pun bisa dibaca dengan kacamata batin.

Jauh dari usia kita, Plato pernah menyatakan, “seorang filsuf sejati akan selalu memperhatikan masalah kematian.” Sedangkan filuf dari Jepang, Nichiren berani mengatakan, “pertama-tama kita harus mempelajari kematian sebelum mempelajari hal lain.”

Dua pendapat ini patut diperhitungkan karena adanya filsafat dan agama itu tak lepas dari adanya tema kematian. Tanpa tema kematian, tak akan ada pemikiran mendalam (filsafat). Dan tanpa adanya kematian, barangkali manusia seperti hewan yang tak butuh agama. Religiusitas, ritus sampai perilaku sosial keagamaan dalam setiap ajaran agama tumbuh berkembang karena kematian. Bahkan tanpa tema kematian bisa jadi kita semua tidak akan memiliki konsep ketuhanan.

Maka, akan menjadi sesuatu yang berharga manakala kita, insan modern yang masih juga punya agama ini tetap memikirkan kematian. Ajakan saya ini bukan maksud untuk menggiring pada pemahaman tradisional-agama yang umum dipahami;sebagai mistis.

Bagaimanapun kita hidup, itu artinya akan mati. Kita tak bisa beralih dari takdir bahwa kita akan mati karena hukum evolusi alam membutuhkan siklus, atau lebih tepatnya giliran hidup pada spesies turunan kita. Kalau spesies lama tidak mati; maka mustahil alam menyediakan ketersediaan sarana kehidupan dengan populasi tanpa kendali. Nah, pada manusia, jatah hidup kita sekarang, rata-rata tak lebih dari 80 tahun, dan semakin hari semakin pendek.

Tetapi dengan berpikir lebih mendalam, cerdas dan kreatif, pikiran kita sesungguhnya bisa mengubah takdir kematian, minimal dalam mempertahankan gagasan dan nilai kebaikan diri. Singkatnya saya ingin bilang, “jasad bisa mati di bawah usia 80 tahun,” tetapi gagasan dan nilai etik bisa melampaui hitungan abad. Dengan menetapkan dua hal tersebut sebagai titik tolak kita hidup, maka di situlah keberadaan kita sebagai manusia akan berbeda dengan spesies lain yang tak memiliki rumus berpikir secanggih manusia.

Mari lihat fakta. Orang-orang besar (dengan keberasan nilai-nilai kebaikan masing-masing) memiliki jatah umur yang sama dengan orang kecil. Hanya saja sama-sama manusia, orang besar--baik dengan gagasannya atau perbuatan hebatnya (atau karena kedua-duanya)—kemudian berbeda dengan orang kecil. Dengan cara ini pula kita membedakan mana yang kecil dan mana yang besar; mana yang baik dan mana yang biadab.

Dengan memikirkan hakikat kematian, kita pun bisa mendekatkan diri pada hakikat kehidupan; misalnya hakikat hidup ini adalah berbuat baik. Berbuat baik itu misalnya kita tidak usah korupsi sebagaimana teman-teman kita melakukan. Boleh menjadi politisi, artinya boleh mendekat pada keburukan khas kekuasaan, tetapi yang tidak boleh adalah mendurhakai rakyat dengan kejahatan yang merusak kehidupan itu. Hal itu penting karena gagasan atau amal perjuanganlah yang membedakan seseorang itu memiliki nilai kuat dan tahan lama melampaui usia fisik.

Dengan berbuat buruk sebagaimana para koruptor misalnya, kematian sebenarnya sudah terjadi tanpa harus menunggu kematian fisik. Kasus-kasus yang menjerat politisi muda misalnya, telah menjadikan mereka “mati” di hadapan masyarakat, bahkan mungkin di hadapan diri mereka sendiri.

Kematian tidak cukup diingat. Seruan “mari kita ingat kematian untuk intropreksi diri” merupakan langkah baik, tetapi berhenti pada ingatan saja kita hanya masuk wilayah yang dangkal. Selain berpikir mendalam, kita butuh perangkat berpikir yang kritis dan kreatif dengan cara kita sendiri. Dengan kegeniusan kita memandang kematian, itu artinya memandang kehidupan ini lebih jauh melampaui kehidupan jasad.

Sekalipun agama dan filsafat lahir dari tema kematian, tetapi menjadi manusia beragama dan berilmu tidak secara otomatis menjadi manusia berbudi luhur. Hal ini karena nilai dalam agama atau nilai dalam ilmu pengetahuan hanya dijadikan status. Agama status adalah agama dangkal, sedangkal orang-orang sekolahan hanya mentereng gelarnya tetapi kosong oleh prestasi kreatif.

Untuk menjadi manusia bernilai yang gagasan atau inspirasinya terwariskan turun-temurun dibutuhkan sikap altruis; kerelaan berkorban untuk ‘menolong’ sesama guna menciptakan keberlangsungan hidup yang lebih baik.

Salahsatu tindakan altruis yang penting dalam konteks ke-Indonesiaan adalah tidak korupsi (mencuri) dan tidak bermental pengemis. Berdaulat dalam hal ekonomi, politik dan budaya sebagaimana yang diajarkan Soekarno merupakan langkah luar biasa agar kematian kita lebih berkualitas. Dan itu telah dibuktikan oleh Soekarno; manusia unggul yang “masih hidup” hingga kini.

Berpikir kematian itu penting. Sebab dari sanalah sumber energi untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan menjadikan usia kita (sebagai hewan unggul) lebih baik dari hewan lain.[Faiz Manshur)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun