Mohon tunggu...
Faiz Manshur
Faiz Manshur Mohon Tunggu... wiraswasta -

Jika kamu tak tentram dengan angan-angan, sikap realistis menyediakanmu untuk bahagia.\r\nhttp://faizmanshur.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tafsir Kebudayaan Negeri Orang

12 April 2010   17:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:50 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku: Menyusuri Lorong-Lorong Dunia (Jilid 2). Penulis: Sigit Susanto. Penerbit: Insist Press, Yogya I Maret 2008/Tebal: xvi+ 478 Hlm

Medan kebudayaan yang terhampar luas di planet bumi ini memang selalu menarik dipelajari. Sayangnya, kebanyakan buku tentang kisah perjalanan yang akhir-akhir ini banyak beredar ditulis melalui gaya formal dan bersudut pandang politis,-kalau tidak kuliner.

Padahal, dalam situasi sekarang ini, pemahaman kita terhadap negeri asing mestinya banyak ke arah studi kebudayaan. Hal ini penting mengingat era globalisasi sekarang ini, medan pertarungan budaya sangat determinan. Tak heran jika kenyataan itu membuat gerah seorang Saini KM. Ia katakan, " di era globalisasi, bangsa yang tidak punya karakter akan lenyap." (Kompas 22/06/).

Berangkat dari pentingnya studi kebudayaan itulah buku ini selayaknya mendapat apresiasi. Setelah sang penulis sukses meluncurkan buku Menyusuri Lorong-Lorong Dunia Edisi pertama (Insist Press, 2006), kali ini ia luncurkan lanjutan kisah perjalanan meneropong kebudayaan negeri asing dalam edisi kedua.

Kelayapan di Portugal, Sigit membawa oleh-oleh tentang komunitas Arab di kota Fatima. Di kota ini, termasuk kota dekatnya, Medina, komunitas Arab sejak jaman baheula hidup berkembang.

Melalui penafsiran simbolik, Sigit menuturkan pola kehidupan kaum muslim di lingkungan Kristen Portugal. Pergulatan sejarah umat Islam keturunan Arab di dua kota, yakni Medina dan Fatima menyingkapkan pesona minoritas yang terbuka dengan pergaulan kelompok suku bangsa lain.

Sedikit ke masa silam, Kota Fatima ini diambil dari legenda seorang putri kebangsaan Arab yang jatuh cinta kepada ksatria bangsawan Portugis beragama Kristen. Saking cintanya, Fatima rela dibaptis masuk Kristen.

Sejak saat itulah kota tersebut resmi dinamakan Fatima. Legenda ini sampai sekarang terpahat secara simbolis pada patung Fatima di dekat kuburannya. Bahkan di Dilli, Timor Leste, juga terdapat patung Fatima.

Saat keluyuran di Medina, Sigit menemukan sebuah buku yang banyak beredar di Portugal. Buku karya Georg Franz Muller (Der Indianner Im Kloster St.Gallen; Orang Indonesia di Biara St. Gallen) yang memuat kisah kanibalisme orang-orang jaman dulu di Jasiratul Jabal Maluk ( sekarang Maluku).

Kaget membaca publikasi ini, Sigit lantas menghibur diri dengan menulis, "kanibalisme, kalaupun toh memang terjadi, harus dibaca dengan perspektif budaya secara kritis. Bukan semata-mata melihat bahwa kanibal-Timur-kotor dan kemudian dihadapkan dengan nonkanibal-Barat-suci. (Hlm 196).

Jauh sebelum Sigit mewanti-wanti hal ini, seorang sejarahwan asal Belanda Benard H.M Vlekke yang menulis A History of Indonesia (1961) pernah mengatakan, "kebiasaan kanibalisme dan pengayuan yang kini sudah punah bertujuan untuk mengambil alih "energi kehidupan" dari musuh yang terbunuh. (Hlm 15). Di sini Vlekke menyadari ada semacam situasi historis yang harus 'dimaklumi' dengan perilaku manusia seperti itu.

Jauh dari Portugal, di Vietnam Paman Ho agaknya menjadi cermin simbolis insan humanis. Vietnam yang selama ini kita kenal dari sisi luarnya disingkap oleh Sigit dengan cara menafsir simbol-simbol budaya lalu dari patung, museum dan beberapa cerita dari literatur.

Indonesia dan Vietnam banyak kesamaan, terutama dalam hal etika, gotong-royong dan toleransi. Perbedaannya barangkali terletak dalam hal keunggulan etos kerja orang Vietnam di banding orang Indonesia.

Lepas dari sistem komunisme, orang Vietnam tidak terlalu risau dengan kapitalisme, juga tidak dendam dengan masa lalunya. Apapun ideologinya, yang penting sejahtera. Ini jelas berbeda dengan orang Indonesia yang lebih suka mengutuk kedua ideologi tersebut sambil lupa caranya menjadi sejahtera.

Sementara di negeri Cina, Sigit melihat sisi lain. Negeri Tirai Bambu, sebagaimana banyak media di negeri ini yang memberitakan kedigdayaannya memang diakui oleh Sigit akan terus melaju, bahkan akan mengancam eksistensi negara-negara besar seperti Amerika Serikat.

Sayangnya, berita-berita tentang Cina akhir-akhir ini sering lupa menceritakan lapisan bawah masyarakat Cina yang miskin dan menganggur. Sadar akan ketimpangan pemberitaan ini, Sigit memberikan porsi yang layak dalam buku ini.

Kisah lain yang tak kalah menarik adalah bangsa Maroko. Peradaban Islam tua yang hidup di benua hitam itu ditafsir secara komparatif dengan Indonesia yang nota-bene memiliki kesamaan sebagai bangsa berpenduduk mayoritas muslim.

Sedangkan di Hongaria, simbol-simbol sejarah lama yang terawat baik agaknya menyadarkan rakyat di sana untuk sadar akan masa lalu yang buruk; yang tak boleh terulang dan masa lalu yang baik yang wajib "diulang".

Kisah kehidupan James Joyce dari Swiss dan Irlandia dengan karya besarnya Ullysses agaknya akan menjadi pelajaran awal bagi para pecinta sastra Indonesia yang belum banyak mengenal karya sastrawan yang tenar di Eropa ini.

Kalau selama ini beragam kisah perjalanan yang tertuang dalam buku atau naskah-naskah di internet sering mengalami kelemahan dalam hal paradigma, agaknya Sigit sadar dan keluar dari jeratan ini.

Berbekal pemahaman berbagai ideologi politik, ilmu kesusastraan dan ilmu sejarah yang cukup, ia tampilkan berbagai suku bangsa yang pernah dikunjunginya melalui pendekatan kebudayaan. Satu-persatu suku bangsa yang dikunjunginya ditasfirkan melalui simbol-simbol sejarah yang ada.

Dengan caranya yang 'independen' dan tidak mengekor kepada persepsi Barat, Sigit mampu terhindar dari sikap adoptif.Sebagai orang Timur yang lama tinggal di Eropa, ia sadar bahwa persepsi kebudayaan yang selama ini berlangsung sering timpang sehingga perlu ada rekonstruksi tersendiri agar menemukan keseimbangan.

Pendekatan yang dipakai Sigit ini mengingatkan kepada kita tentang teori 'thick description'-nya milik Clifford Geertz, antropolog asal Amerika Serikat yang sering kelayapan di negeri kita. Bagi Geertz, kebudayaan sifatnya semiotis; yakni sesuatu yang di dalamnya bisa dijelaskan melalui simbol-simbol yang berlaku dalam masyarakat setempat.

Sekalipun Sigit tidak secara tegas menyatakan menganut paradigma Geertz-ian, namun dengan model interpretasinya yang luwes terhadap kebudayaan bangsa asing membuat buku ini bukan sekadar cerita perjalanan, melainkan juga bagian dari penggalian khazanah ilmiah kebudayaan suku bangsa asing. Selamat membaca!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun