Surat cinta yang tersisa
Libur lebaran kali ini saya dan keluarga tidak mudik sehingga banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang selama ini terabaikan semisal bersih-bersih dan menyortir barang-barang yang sudah tidak terpakai agar rumah tidak sumpek. Sebagai praktisi LEAN di industry manufaktur, saya juga musti mempraktekkan hal dasar seperti 5S di rumah sendiri bukan?
Saya sedang bersama istri sedang menyortir dokumen/surat dan berkas-berkas yang entah sudah berapa lama tersimpan tidak teratur dan mengelompokkannya agar mudah dicari suatu waktu nanti. Dan tiba-tiba… bregh, saya terkesiap karena tiba-tiba 2 buah surat bertuliskan tangan yang sudah mulai kusam tulisannya jatuh dari selipan dokumen penting tersebut. Buru-buru saya memungut dan menyelipkannya kembali. Sekilas saya membalik bagian belakang sampul untuk mengetahui pengirimnya meskipun tanpa melihatnya saya hafal betul pemilik tulisan tangan tersebut.
Ingatan saya langsung melayang puluhan tahun silam. Menulis surat pertama kali saya lakukan saat kelas 1 SD yang saya tujukan kepada saudara saya yang merantau ke Lampung dan setelah itu teman korespondensi saya bertambah banyak seiring saya punya banyak teman melalui majalah anak SD terkenal di Jawa Timur.
Menginjak remaja,sebagaimana anda, saya juga mengalami masa pubertas dan jatuh cinta. Akan tetapi, mungkin karena tampang saya yang tidak punya “nilai jual”, saya suka minder untuk mengungkapkan sesuatu, jadi saya lebih banyak menulis surat dibanding menggombal, sesuatu yang berbanding terbalik dengan cara yang ditempuh teman akrab saya waktu itu. Maka saya menulis surat cinta pertama kali saat kelas 2 SMA kepada adik kelas saya yang masih baru masuk sekolah. Menunggu lama dan tidak ada balasan apapun, tanda ditolak? pasti!!. Saya tidak menyerah, maka strategi saya adalah menulis surat cinta sebanyak-banyaknya dan menyebarkannya kepada siapa saya tertarik. Dan, sebagaimana hukum probabilitas, saya berhasil mendapat respon positif dari sekian banyak surat yang beredar , hehehe.
Setelah lulus SMA, saya merantau ke Tangerang untuk melanjutkan hidup dengan kuliah kedinasan lalu bekerja. Maka, surat menjadi sesuatu yang sangat saya tunggu kedatangannya di kos-kosan saat akhir pecan, termasuk dari gadis pujaan saya. Sejauh apapun jarak memisahkan, surat akan tetap setia menjadi jembatan penghubungnya. Ada sensasi kegembiraan ketika suara Pak Pos terdengar nyaring di depan pintu, “Surat…surat…..”. Dan Pak Pos sudah hafal siapa yang nongol mengambilnya.
Entah berapa ratus surat-surat yang saya terima semenjak saya merantau dan saya tidak menyimpan semua karena setiap pindah kos-kosan biasanya saya bakar. Dua surat yang saya temukan tadi adalah surat cinta terakhir tentang perpisahan baik-baik yang masih tersimpan dari gadis yang dulu pernah mengisi sepenggal kisah hidup saya ketika saya merantau sebelum akhirnya saya menikah dengan gadis pribumi.
Saya melirik istri saya yang cengar-cengir dan berkata,”Huhuii…. Ingat mantan nih ye? Aku sudah pernah membacanya kok..”. Gubrak…Sorry Bu..!! Aku bahkan tidak pernah menulis surat cinta buatmu, karena aku mengenalmu ketika jaman sudah berubah, tidak memakai surat, tapi SMS. Dan siapa yang masih menyimpan SMS pernyataan cintanya satu windu yang lalu??. Bisa dibayangkan betapa repot menyimpannya karena saya sendiri sudah berganti HP dan kartu telepon beberapa kali. Benar kata orang tua, ujung pena itu lebih abadi
*this is the 1st time I wrote on kompasiana. Thanks for http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/08/23/cfbd-karena-kegagalan-itu-perlu/ for inspiring to write this blog and participating on competition.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H