Mohon tunggu...
Muhammad Faizin Adi Permana
Muhammad Faizin Adi Permana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jurnalis di sebuah stasiun televisi berita swasta; sebelumnya pernah bekerja di Kementerian Agama dan kemudian menjadi analis media/researcher di sebuah perusahaan konsultan bisnis asal Malaysia. \r\nAlumnus Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ironi GKI Yasmin: Antara Umar bin Khattab dan SBY

6 Januari 2013   13:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:27 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari, Umar bin Khattab ra mukanya merah padam. Dia terkejut dan marah ketika ada seorang rakyat yang melaporkan nasib yang dialaminya di Mesir. Sang rakyat, warga minoritas Yahudi di Mesir itu baru saja melapor kepada khalifah yang dikenal sangat tegas ini- bahwa dirinya telah mengalami perlakuan diskriminatif dari gubernur Mesir. Amr bin Ash, sang gubernur dengan sewenang-wenang telah menggusur rumah Yahudi miskin itu karena akan membangun masjid di lokasi tersebut. Ribuan kilo ditempuh oleh si Yahudi –dari Mesir menuju Madinah- demi untuk mendapatkan keadilan dari pemimpin tertinggi negara.

Segera saja Umar memberikan teguran keras kepada sang gubernur karena telah berbuat zalim kepada rakyatnya sekalipun dari golongan minoritas. Amr bin Ash mungkin tidak berniat untuk berbuat intoleran terhadap kaum minoritas. Dia hanya ingin membangun masjid yang kebetulan lokasinya mengenai sepetak kecil lahan si Yahudi. Tapi ketidakpekaan dari sang gubernur merupakan pelanggaran serius di mata Khalifah Umar bin Khattab yang juga dikenal sebagai salah satu sahabat Rasulullah SAW yang paling alim. Mendapat peringatan keras dari Umar serta merta membuat sang gubernur Mesir ciut nyali dan segera menyadari kekhilafannya.

Keteladanan dari Umar bin Khattab ra tersebut sangat kontras dengan apa yang kini kita saksikan di Bogor. GKI Yasmin, sebuah gereja yang kebetulan berdiri di wilayah berpenduduk mayoritas muslim, izin operasionalnya dicabut secara semena-mena oleh sang walikota. Alasan pemalsuan dokumen salah satu persyaratan pendirian rumah ibadah yang dipakai oleh pemerintah setempat, telah secara resmi dimentahkan oleh Mahkamah Agung melalui PK yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sehingga sudah tidak ada lagi alasan yang sah secara hukum untuk menghalangi pendirian GKI Yasmin. Namun Pemerintah Kota Bogor tetap bersikeras melawan putusan hukum tersebut. Yang lebih lucu lagi adalah alasan Walikota Bogor yang mengatakan bahwa GKI Yasmin tidak layak berdiri di atas sebuah jalan yang menggunakan nama ulama besar (KH Abdullah bin Nuh).

Indonesia adalah sebuah negara modern yang sangat menjamin kebebasan beragama. Melaksanakan ibadah sesuai ajaran agama masing-masing jelas merupakan hak azasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusi. UU Otonomi Daerah memang membatasi campur tangan presiden dalam persoalan di daerah. Namun kebebasan beragama telah secara tegas dijamin oleh UUD 1945 yang kedudukannya jelas berada diatas UU Otonomi Daerah. Maka pemerintah pusat sudah saatnya menghentikan pelanggaran konstitusi di Bogor. Presiden SBY harus segera turun tangan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM serius di Bogor. Karena Walikota Diani Budiarto dengan terang-benderang tidak mau  mengikuti aturan hukum yang berlaku. Fatwa Mahkamah Agung (MA) agar Pemkab Bogor segera menjalankan keputusan pengadilan, sudah dilanggar walikota.

Secara teknis, Presiden SBY dapat segera menggunakan kewenangannya dengan memerintahkan aparat kepolisian di Bogor untuk menjamin keamanan para jemaat yang mengadakan peribadatan di Gereja Yasmin. Presiden juga dapat memerintahkan kepolisian untuk menindak tegas sekelompok massa yang secara anarkhis melakukan intimidasi atas peribadatan di Gereja Yasmin.  (pasal 8 ayat 1 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian)

Solusi yang ditawarkan pemerintah kota Bogor dan Kementerian Dalam Negeri agar peribadatan jamaat Gereja Yasmin dipindahkan, tidak masuk akal. Jika itu dituruti, maka akan menjadi preseden buruk dimana tekanan anarkhis bisa sukses mempengaruhi kebijakan pemerintah yang mengancam kebebasan beragama.

Jika masalah ini terus dibiarkan berlarut-larut, maka jangan salahkan masyarakat jika tetap menilai bahwa SBY tidak mampu bertindak tegas dalam menegakkan hukum. Kejadian serupa juga berpotensi kembali terulang di daerah lain jika presiden tidak secapatnya mengambil tindakan tegas. Indonesia juga bisa dinilai oleh dunia internasional telah gagal menjamin kebebasan beragama dan menjaga toleransi antar umat beragama. Wallahu a’lam bisshowab.

Note: tulisan ini sebenarnya saya buat beberapa bulan yang lalu, pasca turunnya putusan PK dari MA. Namun baru sempat saya posting hari ini. Meski demikian, saya kira isinya masih kontekstual karena hingga hari ini, keadilan masih belum ditegakkan untuk jemaat GKI Yasmin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun