[caption caption="Sumber: forum.kompas.com"][/caption]Gilpin, seorang pakar ekonomi politik internasional menjelaskan tentang sistem perdagangan internasional yang bebas. Dalam buku Global Political Economy, Gilpin mendefinisikan Perdagangan Bebas sebagai upaya meniadakan campur tangan pemerintah dalam sistem perdagangan, dimana perdagangan (ekspor-impor) akan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar baik pasar regional seperti AFTA maupun pasar global.
Dengan adanya perdagangan bebas ini, pemerintah dituntut untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam perdagangan seperti tarif, kuota, bahkan subsidi baik subsidi ekpor maupun subsidi produksi. Selain tuntutan kepada system masing-masing negara, perdagangan bebas juga menuntut adanya strukturisasi mekanisme ekonomi global seperti finansial dan moneter. Salah satu hal yang perlu disepakati adalah penggunaan mata uang bersama sebagai mata uang internasional yang dapat digunakan dalam transaksi perdagangan internasional, dan itu sudah disepakati yakni Dolar Amerika Serikat (USD).
 Sejarah Mata Uang Internasional
Awalnya telah disepakati penggunaan emas sebagai standar global nilai mata uang melalui perjanjian Bretton Woods. Setelah Perang Dunia II usai negara-negara dunia lumpuh kecuali AS. AS cukup memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang besar kala itu. AS memberikan pinjaman ke berbagai negara. Pinjaman ini diberikan dalam bentuk Dollar Amerika. Sebagai jaminan, Amerika menerima emas yang dimiliki negara-negara ini. Hasilnya, Amerika otomatis menguasai seluruh emas di dunia dan jadinya hanya Dollar Amerika yang nilainya disokong oleh emas. Secara praktis, ini berarti Dollar Amerika telah menggantikan emas sebagai sumber likuiditas perekonomian dunia dan menjadi basis sistem keuangan dunia. Implikasinya, setiap negara membangun cadangan devisa dalam bentuk Dollar Amerika; cadangan Dollar diperlukan agar mata uang negara yang bersangkutan dapat ditukarkan dengan Dollar atau emas. Ini merupakan titik di mana mata uang Amerika menjadi mata uang internasional.[1]
Sebelum tahun 1971, setiap dollar yang dicetak dijamin dengan emas dan dijadikan cadangan devisa US untuk tiap Negara yang bertransaksi dengan US. Setiap pencetakan USD 35 equal dengan satu ons emas sebagai back up. Namun, makin lama  US semakin kehilangan cadangan emas karena parner menukar cadangan US$ dengan emas. Secara sepihak, US keluar dari kesepakatan yang dibuatnya sendiri. Dunia terkejut bukan kepalang, namun dollar terlanjur mengglobal bahkan menjadi standar cadangan devisa negara. Akibatnya, uang kertas dollar tersebut dicetak tanpa jaminan.
Penggunaan mata uang USD dalam perdagangan Internasional merupakan salah satu hal yang belum bisa saya terima. Bukankah hal itu membuat persaingan tidak fair dimana AS sebagai pemilik mata uang tersebut selalu diuntungkan karena uangnya bisa diterima semua negara. Bahkan perdagangan bilateral antara negara yang tidak ada sangkutpautnya dengan AS pun memakai USD. Padahal AS sendiri bebas mencetak mata uangnya sendiri sesuka mereka. Asal trust terhadap mata uang mereka tetap baik, maka negara-negara seluruh dunia akan secara suka rela menerimanya. Negara-negara yang punya sumber daya alam melimpah berupa minyak dan gas, produk tambang, produk perikanan dan pertanian akan mudah ditarik ke AS dan ditukar dengan USD. [2] Ini salah satu letak ketidak-fair-annya.
 Alternatif dan Stabilitas Nilai
Salah satu solusi yang ditawarkan oleh pengamat ekonomi dunia saat ini adalah kembalinya penggunaan emas dan perang sebagai standar alat tukar internasional, seperti yang disuarakan oleh ekonom islam. Emas dan perak pernah dibuat dan berlaku di Indonesia sebagai mata uang resmi sejak abad ke-14 berupa Dinar dan Dirham. Emas dan perak pernah mendominasi pasar-pasar di sebagian besar Nusantara, antara lain di Pasai, Malaka, Banten, Cirebon, Demak, Tuban, Gresik, Gowa, dan Kepulauan Maluku. Dinar adalah koin emas berkadar 22 karat (91,70%) dengan berat 4,25 gram. Sedangkan Dirham perak adalah koin perak murni (99.95%) dengan berat 2,975 gram.
Emas dan perak merupakan alat tukar paling stabil yang pernah dikenal oleh dunia. Sejak awal sejarah Islam sampai saat ini, nilai dari mata uang Islam yang didasari oleh mata uang bimetal ini secara mengejutkan sangat stabil jika dihubungkan dengan bahan makanan pokok, dahulu harga seekor ayam pada tahun 680’an adalah satu Dirham emas, dan saat ini, 1.400 tahun kemudian, harga seekor ayam tetaplah satu Dirham emas. Selama 1.400 tahun nilai inflasinya adalah nol. Hal ini sulit ditemukan fenomena yang sama terhadap Dollar atau mata uang lainnya.[3] Bisa dikatakan bahwa penggunaan emas dan perak memberikan keuntungan karena bebas inflasi. Mungkin hanya biaya produksi lah yang dapat pengarui harga barang terhadap mata uang emas dan perak.
Jika melihat dari sisi ini, memang penggunaan mata uang emas dan perak sebagai alat tukar atau mata uang internasional merupakan hal yang logis dan rasional. Emas dan perak memberikan harapan baru terhadap kondisi perekonomian dunia yang kian tak menentu, rawan inflasi, dan menurut anggapan beberapa pengamat tidak fair. Pilihan ini bukan sekadar alasan kembali ke jalan yang telah ditetapkan suatu agama tertentu. Tapi ini merupakan upaya alternatif untuk memperbaiki kondisi perekonomian dunia saat ini.
Namun tak bisa dipungkiri, penggunaan emas dan perak menggantikan USD tak semudah membalikkan telapak tangan. Ini dikarenakan telah mencokolnya USD secara ekonomi dan pengaruh kuat AS sebagai negara adidaya secara politik. Selain itu, semenjak AS memberikan pinjaman ke banyak negara berupa USD dan menarik emas dari negara-negara peminjam ke AS, rasanya niatan penerapan sistem ini makin rumit. Kecuali ada negara atau komunitas negara berpengaruh secara ekonomi yang bersepakat untuk penggunaan emas dan perak sebagai alat tukar dalam perdagangan internasionalnya. Negara-negara tersebut mensyaratkan penggunaan emas dan perak dalam setiap transaksi yang dilakukannya, baik dengan intra maupun ekstra komunitas. Lalu, kira-kira negara mana saja yang memiliki komitmen tersebut dan memiliki sumber daya alam besar guna ditukar dengan gunungan emas yang telah ditimbun AS guna menarik emasnya kembali dan akhirnya mampu memaksa dunia kembali menggunakan emas? J