Aksi bagi-bagi sembako Presiden Jokowi mempertegas kesimpulan saya bahwa rezim hari ini tak lebih dari rezim pencitraan, rezim yang lebai. Jangan tanya revolusi mental atau nawacita, itu hanya jargon semata.
Coba kita telisik baik-baik. Dahulu, Jokowi sempat menyindir program Bantuan Langsung Tunai (BLT) di era SBY adalah program yang tidak mendidik. Padahal program itu benar-benar mengena dan betul-betul terencana. Sebelum BLT disalurkan pemerintah sudah mendata daerah dan siapa saja yang pantas mendapatkan bantuan. Penerima bantuan itupun dipilih berdasarkan tata aturan perundangan.
Lacurnya, mendekati tahun politik  ini Jokowi seperti menelan ludahnya sendiri dengan program bagi-bagi sembako. Anggarannya lumayan fantastis, dalam dua tahun terakhir 2017 dan 2018 menghabiskan anggaran sebesar Rp 21,2 miliar.
Cara pembagiannya pun sekonyong-konyong saja. Tidak ada sistem di sana. Acak-adut saja. Mekanismenya, Jokowi datang ke suatu daerah, lalu BLL diberikan. Cara yang awur-awuran ini ibarat ketemu pengemis di jalan, lalu langsung dilempar bantuan. Maaf saja, kalau cuma bagi-bagi bantuan tanpa perencanaan, kuli bangunan juga bisa.
Dan hari ini, kita sama-sama mengetahui Jokowi menerbitkan PP No 20 tahun 2018 tentang tunjangan hari raya (THR). . Tidak tanggung-tanggung anggaran yang digelontorkan Jokowi sebesar Rp 35,7 triliun naik 68,9 persen dibandingkan THR tahun sebelumnya. Peruntukan awalnya bagi pimpinan dan pegawai nonpegawai negeri sipil lembaga nonstruktural.
Siapa yang sebenrnya menikmati kebijakan THR ini? Sebagain besar, lagi-lagi orang kaya, pimpinan ASN tersebut. Ilustrasinya begini, pimpinan lembaga nonstruktrural (LNS) bisa memperoleh THR sampai Rp 24,980 juta, sedangkan untuk pegawainya hanya memperoleh Rp 3,401 juta. Bedanya tujuh kali lipat!
Pemerintah menyebut, akan memberikan THR sebesar Rp 440 miliar untuk pegawai honorer di tingkat kementerian pemerintahan pusat.
Saya tidak mengatakan ASN kementerian/lembaga pusat sudah hidup layak, tetapi paling tidak lumayan. Karena ASN di pusat dapat tambahan pendapatan dari banyak kegiatan dan kunjungan ke daerah. Kawan saya, seorang ASN di kementerian pernah bercerita bahwa dari  banyak kegiatan dan kunjungan ke daerah, setiap bulannya dia bisa dapat sekitar Rp5-7,5 juta. Lumayan kan?
Nah, sekarang bandingkan dengan pegawai honorer di tingkat pemerintah daerah yang betul-betul mengabdi kepada negara selama ini siapa yang nanggung? Siapa yang akan menanggung THR guru honorer dan honorer di pemerintah daerah? Alhasil mereka cuma bisa gigit jari.
Parahnya, ternyata THR ini juga diperuntukan bagi DPR. Hitung-hitungannya, ketua DPR dapat Rp 26,6 juta, anggota DPR dapat Rp 16,4 juta' sementara Wakil Ketua DPD: Rp 20,6 juta, dan Anggota DPD: Rp 14,4 juta. Artinya ada sekitar Rp11, 2 Miliar yang harus dihabiskan untuk anggota DPR/DPD ini.
Pertanyaannya, bagaimana dengan nasib rakyat Indonesia yang lain? Di mana empati kita terhadap 72,7 juta pekerja rendahan di Indonesia? Para pekerja yang suma tamatan SD, bahkan tidak sekolah? Mereka yang pendapatannya pas-pasan, cuma cukup buat makan, di kala perekonomian sedang susah, dan daya beli anjlok.