Mohon tunggu...
Faiz Amiruddin
Faiz Amiruddin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Stiba Ar-Raayah

Peneliti Ilmu Bahasa Pemula Fiqih Syafi'i Penggiat Ilmu Aqliyyat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang Keadilan

25 September 2022   16:36 Diperbarui: 25 September 2022   16:58 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi imam al-ghazali. Sumber Ilustrasi : google

Oleh : Faiz Amirudin Syarief (Mahasiswa Stiba Ar-Raayah)

Al-Ghazali hidup ketika peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya. Kemajuan menaungi segenap sendi-sendi kehidupan. Perekonomian, budaya, ilmu pengetahuan, dan Agama mengalami perkembangan pesat. Namun, ia masih melihat kesenjangan di tengah-tengah berbagai kemajuan tersebut, seperti masih terdapatnya warga miskin di berbagai sudut kota-kota besar, yang melahirkan keprihatinan dalam dirinya.

Bagi al-Ghazali, membentuk pemahaman yang benar tentang hakikat kepemimpinan adalah kunci untuk bisa menjalankan amanah kepemimpinan secara adil dan baik. Saat kepemimpinan hanya dipandang sebagai alat untuk "bersikap arogan" tanpa menghiraukan aspek ketuhanan (ilahiyyat) didalamnya, maka bukan tidak mungkin "si pemangku jabatan" akan kehilangan kendali (lost control) dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Yang dimaksud aspek illahiyat disini adalah sadar bahwa kekuasaan dan kepemimpinan yang ada ditangannya merupakan buah dari kenikmatan yang Allah swt berikan kepadanya, untuk selanjutnya dijalankan dengan sebaik-baiknya. Dalam bahasa Imam Al-Ghazali, kepemimpinan itu tak jauh berbeda dengan perumpamaan sebilah pisau. Ketika seorang pemimpin mampu menunaikan tanggung jawab tersebut secara haq (benar), maka ia akan memperoleh nikmat lain yaitu kebahagiaan yang tidak ada batasnya dan tidak ada ujungnya (Surga). Namun sebaliknya, saat ia justru menyalahgunakan proses (kepemimpinan tersebut), maka ia akan terjatuh pada penderitaan yang tidak ada taranya.

Nilai kedudukan yang besar "dari sebuah kepemimpinan" tersebut , sejalan dengan sabda Nabi saw yang diteguhkan melalui pernyatannya

"Pada hari Kiamat nanti tidak ada naungan juga tempat berlindung kecuali naungan yang diberikan Allah swt maka yang mendapatkan naungan-Nya itu ada 7 kelompok manusia : 1) Seorang Raja yang adil pada rakyatnya , 2) Pemuda yang tumbuh dalam keta'atan beribadah pada Allah swt, 3) Seseorang yang berada di pasar namun hatinya terikat dengan masjid, 4) dua orang yang saling menyayangi karena Allah swt, 5) Seseorang yang mengingat Allah swt ketika sendirian lalu meneteskan air mata dari bola matanya, 6) seseorang yang menghindari perzinahan dengan wanita yang cantik, punya jabatan dan kaya raya , dan 7) Seseorang yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi". (Sunan at-Tirmidzi, 2391)

Berkenaan dengan lafal "al-'Adil", al-Mubarokafuri --rahimahullah ta'ala- menegaskan bahwa maksudnya adalah mengikuti aturan Allah swt dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya tanpa berlebihan dalam menjalankannya (ifrath) ataupun meremehkan dan menyepelekannya (tafrith). (Tuhfat al-Ahwadzi, 7: 58). Seandainya nilai Illahiyat yang terkandung dalam sebuah kepemimpinan dapat dirasakan oleh setiap pemimpin, maka bukan hal yang sulit untuk mewujudkan Negara yang sejahtera lagi makmur sebagaimana yang diidamkan semua orang. Kesadaran nilai Illahiyat tersebut akan mendorongnya untuk punya komitmen menerapkan keadilan (Applying Justice) dalam semua kebijakan yang dipilihnya. Bahkan , dia akan berusaha untuk menghindarkan rakyatnya dari kezaliman yang muncul dari luar dan menjadi ancaman bagi rakyatnya.

Imam Al-Ghazali , dalam kitabnya at-Tibr al-Masbuk, membawakan hadits Nabi saw tentang acncaman bagi pemimpin yang tidak adil. Hadits itu berbunyi,

" Ada lima kelompok orang yang dimurkai Allah swt, jika Allah swt berkehendak maka murka-Nya tersebut akan terus menimpa mereka dan menjadikan tempat kembali mereka adalah Neraka : 1) Seorang pemimpin yang ditaati oleh rakyatnya namun ia justru mengambil hak mereka (secara tidak benar), tidak bersikap adil kepada mereka dan tidak mau menghilangkan kezaliman yang menimpa mereka, 2) Seorang pemimpin yang ditaati oleh rakyatnya namun ia tidak menyamakan rakyatnya yang kuat maupun yang lemah dan ia memberi keputusan hukum dengan keberpihakan (pada salah satu pihak), 3) Seorang suami yang tidak mengajarkan isterinya dan anak-anaknya untuk ta'at kepada Allah swt, tidak mengajarkan mereka tentang perkara-perkara Agama dan tidak peduli dari mana ia akan menafkahi mereka, 4) Majikan yang mempekerjakan seorang pekerja, lalu ia menyelesaikan pekerjaannya namun sang majikan menahan upah yang menjadi haknya, 5) Seorang suami yang zalim kepada isterinya ketika bermuamalah dengannya". (at-Tibr al-Masbuk, hal 3)

Mengambil Pelajaran Dari Sejarah Kelam Masa Silam

Dinasti Fathimiyyah di Mesir, mempunyai sejarah yang kelam dalam persoalan kepemimpinan. Diantara banyak nama yang pernah menjabat kekhalifahan Dinasti Fathimiyyah, terseliplah sosok pemimpin bernama Abu 'Ali Manshur.

Abu 'Ali Manshur atau yang mempunyai gelar Al-Hakim bi Amrillah (yang memerintah dengan perintah Allah swt) dilahirkan pada malam Kamis tanggal 23 Rabiul Awal tahun 375 H. Ia adalah putra dari Al-Aziz ibn Al-Mu'iz ibn Manshur ibn al-Qoim ibn Mahdiy pendiri dinasti Fathimiyyah. Ia melanjutkan kepemimpinan ayahnya pada bulan Sya'ban tahun 383 H selepas kewafatan ayahandanya. Ia terkenal sebagai sosok yang dermawan dalam urusan harta namun suka menumpahkan darah dan membunuh bahkan dari kalangan keluarganya sendiri.

Disamping itu, Al-Hakim bi Amrillah mempunyai kepribadian yang aneh. Dimana kepribadiannya ini bisa dengan mudah dilihat saat ia sangat senang membuat kebijakan-kebijakan baru dan memaksa semua orang untuk melaksanakannya. Diantara kebijakannya yang jahat adalah pada tahun 395 H, ia menyuruh semua penduduk untuk mencaci para Sahabat yaitu Abu Bakr, Umar dan Utsman --radhiyallahu 'anhum- di dinding-dinding masjid dan jalan-jalan umum.

Kebijakan aneh lainnya di tahun yang sama adalah ia menyuruh agar semua anjing dibunuh. Hal ini berpengaruh pada populasi anjing yang menurun drastis bahkan tidak terlihat kemunculannya di pasar-pasar, gang-gang dan jalanan pusat kota. Tahun 402 H, melarang penjualan kismis baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, dengan berbagai variannya. Ia tidak segan-segan mencambuk para pelanggar aturan ini, bahkan tidak sungkan untuk membunuhnya. Tercatat, ia juga pernah melarang kedatangan para pedagang yang membawa dagangannya ke Mesir, kemudian tidak segan mengumpulkannya di suatu tempat lalu membakarnya semua. Bagi para pedagang, mereka harus membayar denda sebanyak 500 dinar emas. (Wafayat al-A'yan, 5: 293)

Kekejamannya itu tidak hanya menindas kaum Sunni saja, ia juga melakukan hal yang jahat kepada kaum Yahudi dan Nashraniy. Ia memerintahkan para pengikut Yahudi dan Nashraniy untuk mengenakan jubah hitam, dan khusus bagi kaum Nashraniy untuk mengenakan kalung salib yang panjangnya 1 lengan (dziro') dan beratnya 2,5 kilogram. Sedangkan orang-orang Yahudi, diperintah agar mengenakan kalung yang terbuat dari kayu berbentuk salib. Mereka tidak diperkenankan menggunakan keledai milik seorang muslim juga perahu. Bagi umat Nashrani yang hendak memasuki toilet umum, dipaksa agar menggunakan salib di lehernya sedangkan bagi umat Yahudi agar mengenakan lonceng untuk membedakan dengan kaum Muslimin.

Ia sempat membuat kehebohan ketika memberi perintah untuk menghancurkan gereja Qumamah yang ada di Yerussalem juga gereja yang ada di semua wilayah Mesir. Barang-barang yang terdapat di dalam gereja berupa pernak-pernik dan sebagainya, ia berikan kepada kaum Muslimin. Meskipun pada akhirnya rencana untuk menghancurkan Gereja Qumamah tidak berhasil terwujud karena mendapat respon yang sangat keras dari pasukan salib. Dan masih banyak lagi aturan-aturan kejam yang djalankan Al-Hakim bi Amrillah yang mencetuskan api kemarahan di tengah masyarakatnya.

Akhir hayat al-Hakim harus mati dibawah kebencian yang ada pada hati rakyatnya. Ia tewas pada malam Senin tanggal 27 Syawwal tahun 411 Hijriyyah dalam usia 36 tahun ketika menyendiri di sebuah gunung di Kairo. Ia dibunuh oleh sejumlah orang yang benci kepadanya. Selama beberapa hari berita keberadaannya menjadi misterius, hingga akhirnya ditemukanlah beberapa barang yang terakhir dipakai olehnya berupa pakaian, pisau dan keledai yang ditungganginya.

Wallahu a'lam bish shawwab

Sumber :

Imam at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi

Muhammad 'Abdurrahman Al-Mubarokafuriy, Tuhfat al-Ahwadzi,

Imam Al-Ghazali, At-tibr al-Masbuq fi Nasihat al-Muluk

Ibnu Khulakhan , Wafayat al-A'yan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun