Pengampunan pajak (Tax Amnesty) sebenarnya pernah berlaku di Indonesia, tepatnya di era pemerintahan mendiang presiden Soekarno dan Soeharto. Namun, kebijakan itu tidak berlangsung lama.
Direktorat Jenderal Pajak dari kementrian keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan tax amnesty pernah diberlakukan pada tahun 1964 dan 1984. Tapi tidak bisa berkelanjutan karena ada peristiwa besar dan perbahan sistem.
Direktur Jendral Pajak, Ken Dwijugiasteadi, menjelaskan bahwa tragedi gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965 membuat situasi politik maupun perekonomian nasional tidak kondusif untuk mrnjalankan tax amnesty. Tahun 1964 itu bertujuan mengembalikan dana revolusi dengan menggunakan Kappres (Keputusan Presiden). Kenapa tidak berhasil? Waktu itu undang-undang di sahkan 1964, namun pada tahun 1965 ada peristiwa G30S PKI, kata Ken saat ditemui di Balai Kartini Jakarta.
Pengampunan pajak kemudian diberlakukan lagi di pemerintahan Presiden Soeharto, yakni pada tahun 1984. Namun, lagi-lagi, tidk berlangsung lama karena adanya perubahan sistem pungutan pajak, dari offical-assessment (besaran pajak terutang ditentukan oleh pemerintah) ke self-assessment (besaran pajak terutang sepenuhnya ditentukan wajib pajak). Dengan adanya perubahan itu, Ken menduga hal ini yang menjadi salah satu alasan wajib pajak tidak melaporkan asetnya dengan benar kepada negara.
TAX AMNESTY BUKAN UNTUK AMPUNI PARA KORUPTOR
Dalam syarat SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan), tidak ada syarat yang mengatakan mengisi SPT dengan jujur. Tidak ada. Bagi saya, mengemplang itu tidak ada. Kalau lupa (melaporkan hasil aset dengan benar) itu banyak. Ken menegaskan rancangan undang-undang tax amnesty tengah digodok pemerintah saat ini memiliki tujuan yang jauh lebih komprehensif dibandingkan yang sebelumnya. Salah satunya yakni repatriasi modal/
Menurut dia, jika dana yang diparkir di luar negeri bisa masuk ke Indonesia melalui kebijakan tax amnesty, maka investasi dan penerimaan negara jangka pendek pun bisa meningkat. Kalau investasi masuk, bisa menyerap tenaga kerja, meningkatkan daya beli, dan menciptakan wajib pajak baru.
Sekian artikel dari saya, semoga bermanfaat untuk kalian bagi pembaca
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H