Sejarah panjang peradaban anak manusia seringkali dipenuhi oleh berbagai pertentangan dan sinergi antara dua hal yang mewakili sifat sifat yang saling berkontradiksi di satu sisi dan saling melengkapi di sisi lainnya. Bagaikan dua buah kutub medan magnet yang menimbulkan daya tolak satu sama lain ataupun tergambarkan sebagai dua buah muatan listrik yang saling tarik menarik yang kemudian menghasilkan energi yang dapat memberikan penerangan ataupun kerusakan yang tak terkira.
Dalam perjalanan hidup kita, ada suatu masa pencarian akan makna kehidupan menjadi pekerjaan yang mendatangkan keresahan dan kecemasan tak terkira bagi kita, atau bahkan bagi mereka yang senang dengan pergumulan dan pergolakan pemikiran seringkali menghadirkan berbagai bentuk pemaknaan terhadap proses kehidupan yang dijalani yang bertitik tolak dari kecemasan tersebut. Hal ini dapat dilihat Dalam banyak karya karya filsafat atau pemikiran pemikiran filsafat orisinil dari para filosof filosof terkemuka baik di barat maupun di timur seringkali bertitik tolak pada keresahan jiwa yang haus akan kebenaran dan kebermaknaan dari berbagai proses kehidupan yang dijalani oleh mereka. Pertanyaan pertanyaan mendasar menyangkut eksistensi diri dan realitas alam semesta seolah menjadi rangkaian teka teki yang terus bergulir dan melahirkan beragam ide ide yang tampak saling berkontradiksi ataupun saling melengkapi antara satu gagasan dengan gagasan lainnya. Perjuangan ataupun pengembaraan dalam belantara filsafat merupakan sesuatu yang mesti diarungi oleh anak manusia yang rindu akan jiwa atau diri yang tersadarkan demi hidup yang penuh makna dengan menemukan atupun mengetahui hakekat diri dengan berbagai intrik eksisensialis dan misi misi suci kehidupun dan keabadian yang merupakan danbaan segenap mahluk yang merasakan kenikmatan hidup iu sendiri. Masalahnya kemudian ketika diri kita diperhadapkan pada sebuah pertanyaan akan keabadian tersebut, maka dapatkah kita menemukan sebuah benang merah yang menghubungkan kita dengan keabadian ataukah keabadian tersebut hanyalah merupakan ilusi utopis. Dan ketika keabadian merupakan ilusi utopis maka perasaan kekosongan dan ketakberartian kehidupan akan menghinggapi kita, mengingat kehidupan kita sebagai manusia yang begitu kecil atau bahkan kosong di hadapan keabadian.
Secara naluriah kita akan selalu berusaha meraih kebahagian dalam kehidupan karena hal itulah yang menjadi sumber kenikmatan. Olehnya itu tidaklah mengherankan jika dalam potret sejarah panjang peradaban manusia disesaki dengan berbagai bentuk upaya upaya pencapaian kebahagiaan tersebut dan identik dengan tujuan hidup itu sendiri dalam artian apa yang dicari oleh manusia adalah kebahagiaan itu sendiri. Kita bisa saja dengan mudahnya bersepakat bahwa kebahagiaan merupakan tujuan hidup yang hakiki dari setiap anak manusia, namun ketika disodorkan berbagai pertanyaan pertanyaan mendasar dan filosofis mengenai hakekat kebahagiaan itu sendiri maka jawabannyapun akan sangat beragam sesuai dengan alur pemikiran yang dibangun seseorang berdasarkan pengalaman hidup empiriknnya atau refleksi refleksi yang dilakukannya dalam mencari dan meraih kebahagiaan tersebut. Sudah barang tentu pula bahwa setiap manusia yang dikaruniai kemampuan inderawi dan kemampuan reflektif mempunyai konsepsi masing masing tentang hakekat kebahagiaan tersebut, karena tidaklah mungkin seseorang mencari sesuatu yang sosoknya tidak pernah terlintas dalam benaknya sesamar apaun konsep kebahagian itu. Usaha untuk mencari hakekat kebahagian biasanya diidentikkan dengan upaya mencari makna dari kehidupan itu sendiri, lalu dari sinilah pertanyaan pertanyaan mendasar kemudian bergulir seperti pertanyaan tentang apa makna kehidupan. namun demikian dalam penelusuran pencarian makna tersebut kita juga sebelumnya harus menghadirkan jawaban jawaban yang akurat dan dapat diyakini dari pertanyaan tentang apakah ada sesuatu yang disebut makna kehidupan itu? Jika ada, apakah manusia mungkin untuk mendapakannya dan bagaimanakah cara mendapatkannya. Mendapatkan jawaban yang akurat dan dapat diyakini dari pertanyaan pertanyaan tersebut tentulah memerlukan upaya yang sungguh sungguh dengan melibatkan totalitas diri. Tidaklah cukup hanya dengan mengkaji berbagai literatur akademik filsafat yang banyak bercerita tentang makna kehidupan, tapi lebih daripada itu, kita memerlukan sebuah refleksi mendalam dan upaya internalisasi secara total dengan mengkaitkannya secara langsung dengan pengalaman pengalaman kita secara langsung karena pada dasarnya setiap diri kita merupakan subjek yang tidak terpisahkan dari realitas di sekeliling kita. Kita bukanlah pengamat atas berbagai realitas, karena kita merupakan bagian dari realitas itu sendiri.
Kegagalan dalam menemukan makna kehidupan yang paling hakiki akan menjerumuskan jiwa kita pada keterasingan dan keteromangambingan yang berujung pada krisis eksistensial dan kehampaan hidup. Cobalah kita bayangkan dalam contoh yang paling sederhana dalam pengalaman kongkrit kita ketika mencari sesuatu yang tidak pernah kita ketahui sosoknya maka dapat dipastikan kita tidak akan pernah menemukannya atau bahkan kita tidak akan pernah mau mencarinya walaupun pada dasarnya kita membutuhkan sesuatu tersebut, atau dalam contoh yang lain ketika kita mencari sesuatu sementara sosok sesuatu tersebut yang tergambarkan dalam benak kita adalah bukan sesuatu itu dalam makna yang paling hakiki otomatis peta yang kita proyeksikan untuk mengantarkan kita pada sesuatu tersebut tidak akan pernah menuntun kita benar benar sampai kepadanya atau bahkan dapat menjauhkan kita daripadanya. Olehnya itu ketika kita sudah bersepakat bahwa ada sesuatu yang hakiki yang menjadi tujuan dan makna dari kehidupan kita secara universal haruslah kemudian diikuti dengan konsepsi dan karakterisasi secara maksimal terhadap sosok kebahagiaan tersebut sehingga tergambarkan dengan jelas di kepala kita dan menjadi mungkin untuk dapat kita raih dan setiap upaya mencapainya akan mendatangkan percikan kebahagiaan disebabkan jarak kita dengannya yang semakin mendekat dan kemudian dapat menyatu dengannya dan terus merengkuhnya dalam keabadian ruh kita yang tidak lekang dan tidak terikat dalam kefanaan ruang dan waktu materil yang menjadi unsur unsur penyusun jasmani kita dan alam semesta, sehingga momok yang selama ini dianggap paling menakutkan oleh sebagian besar ummat manusia berupa kematian tidak akan menjadi akhir eksistensi kita sebagaimana yang banyak dipahami oleh orang lain, tapi hanya merupakan fase dalam perjalanan ruh kita menuju kesempurnaan dan keabadian di sisi Dzat yang maha abadi yang merupakan muara dan terminal akhir perjalanan ruh ruh yang tersucikan dan terlepas dari karakter karakter kebinatangan yang sebelumnya secara naluriah mengikat ruh kita dalam kehidupan duniawi dan bahkan kadangkala menjadi panglima atas berbagai tindakan tindakan kita.
Teruntuk Hidup yang lebih bermakna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H