"Larilah nak!", seruan ibu untuk menyelamatkan anaknya. Si Ibu seraya kesakitan hanya bisa berdoa, dan si Anak bebas dengan mencengkram patahan ranting pohon. "Aku tahu kasihmu tidak bisa aku balas sepenuhnya, aku akan ingat semua bagaimana engkau mengasihiku dan mendidikku. suatu saat nanti aku akan menemuimu di cakrawala sana, dan aku akan bercerita sebagaimana engkau menidurkanku saat kecil, Ibu.", curahan dalam hati si Anak dengan terpontang-panting di atas ranting.Â
Tiga hari tsunami mulai surut si Anak pergi ke bukit yang ditatapnya seakan memanggilnya, dia berusaha dengan sisa tenaga untuk mencapai sana sebelum tsunami susulan datang. Sampai di sana, "Apa ada makanan disini?", berguman lirih.Â
Karena dia tidak pernah mencari makanan dan si Ibu tidak bisa mengajarkan, bagaimana mencari makan?. Kesana-kemari mencari akhirnya si Anak melihat buah ceri hutan, "Apakah ini bisa dimakan?", dengan perlahan mencicipinya.
Hari berlalu dia masih merindukan ibunya, karena itu dia melewatinya dengan sangat berat dan penuh kesedihan. selama itu dia hanya berlindung di bawah pohon-pohon rindang dan di celah batu-batu besar. "Aku tidak bisa membuat rumah untuk diriku sendiri, aku tidak di ajari oleh ibuku.", terus kesana-kemari mencari rumah untuk tinggal dan menetap.Â
Akhirnya dia menemukan rumah yang sudah di tinggalkan oleh pemiliknya. "Aku akan menetap disini.", sambil membenarkan sedikit rumah tersebut sebisanya agar bisa jadi tempat yang nyaman. Mulailah berkegiatan tanpa bepindah-pindah lagi.Â
Lalu datanglah sore dengan wajah tidak bersahabat, menatap raut si Anak dengan tajam. Si Anak mencoba tidur karena ketakutan, dia gelisah karena trauma dengan suasana gelap dan mencekam. berharap pagi cepat menghampiri, ternyata malam serasa begitu sangat panjang .Â
Tidur terbangun lagi, tidur lagi terbangun lagi, dan tidur lagi tetap tidak bisa. Suara gemuruh terdengar, petir menyambar beberapa pohon, dan angin menabrak dengan keras apa yang ada dihapannya. ya, itu adalah tsunami susulan. si Anak belum menyadarinya karena dia sedang gelisah. "DUAAARRRR", petir menyambar rumah si Anak.
Terdengar suara ibu-ibu menawar sayuran. Si Anak terbangun dengan wajah ketakutan dan terengah-engah. "kenapa? ada apa Nak?", "Aku mimpi, Ada tsunami besar bu.", lirih si Anak. "Bu, aku ingin keluar, aku ingin bebas. Di mipiku ini seakan pengetahuanku terbelenggu oleh jeruji-jeruji ini. Aku ingin seperti ibu sebelum di jerat, terbang di cakrawala yang luas, makan buah ceri hutan dan membuat sarang.", tangis anak burung menceritakan mimpinya.Â
Ibu burung sedih dan menenangkan dengan nyanyian merdu. "Cit cuit cuit cuit cuiiiiiittt cit cit cuit."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H