Mohon tunggu...
FAIZAL RAMADHAN
FAIZAL RAMADHAN Mohon Tunggu... TRAINING FASILITATOR -

Tak ada yang tak bisa diubah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cermin dalam Laci Kayu (1)

11 Desember 2014   08:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:33 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gelap…… gelap ……. Gelap ……. Saat mataku tertutup. Dan terang cahaya itu mulai masuk ke retinaku ketika kugerakkan otot kelopak mataku untuk terbuka. Rasa syukur dari bibir yang terucap pertama kali pada pagi nan indah ini. Sapaan hangat dari kicauan burung yang menghiasi telinga ini. Mataku benar-benar terbelalak ketika kulihat indah dunia ini dari balik jendela hotel tempatku menginap hari ini. Namaku Bumi aku tak pernah berfikir mengapa kedua orang tercintaku itu menganugerahkan nama besar ini kepadaku. Yang kupahami mungkin maksudnya mereka mau melihatku menjadi berguna dan luar biasa bagi orang lain disekitarku layaknya planet bumi ini. Hari ini aku menginap di Paris kota kecil nan indah ditengah Prancis yang menyajikan berjuta pemandangan sudut surga. Hari ini pertama kali kubuka mata setelah kemarin ku sampai di kota ini. Aku ke kota ini atas tujuan bertemu dengan klien perusahaan tempatku bekerja. Tak pernah saat aku kecil terbayang bisa pergi ke tempat ini. Yang mana hidup di negeri sendiri saja penuh dengan peluh.

Kubersihkan badanku bersiap pergi menjalankan tujuan utamaku dalam perjalanan ini. Hotel tempatku menginap adalah hotel yang telah dipersiapkan perusahaanku, betapa hotel yang tidak murah menurutku selain posisinya yang strategis dan pemandangan yang di sajikan tepat menuju bangunan utama kota yang menjadi satu-satunya pemandangan yang akan muncul dibayangan semua orang jika kusebut nama kota ini. Yaa .. menara Eiffel entah bentuknya yang meniru menara listrik di Negara ku ataukah memang negaraku yang mencontek desain menara indah ini, itu tidak penting yang jelas menara ini indah dan sangat tinggi. Aku tak sendiri berada disini, perusahaanku mengirim dua orang lagi selain aku yaitu Meisya dan Guntur. Meisya dari bagian Administrasi dan Guntur dari bagian pemasaran. Sedangkan aku sendiri adalah orang HRD. Keperluan kami disini adalah untuk menindak lanjuti upaya kerjasama yang mana perusahaan di paris ini mau mengirimkan tenaga ahlinya untuk bekerja di perusahaanku guna peningkatan hasil produksi. Tentunya MOU ini harus serius diteliti dan diselesaikan.

Aku telah berpakaian memakai setelan tuxedo ku. Aku bangga dengan kondisiku sekarang yang serba terpenuhi dan dapat membanggakan orang tuaku. “ Brakk..! “ kututup pintu hotelku dan kukunci aku siap menemui klienku, begitu sampai didepan kamar partner laki-lakiku yang kediri asli ini dengan logat jawanya di gemerlap kota lampu fashion dunia ini. “ piye, enak turumu? “ sapanya, yang mana kami berasal dari daerah yang berdekatan di jawa timur provinsi di negara kami. Kamipun berjalan menuju kamar Meisya ternyata di belum terlihat. Guntur mengetuk pintu kamarnya, “ Tok..Tok..Tok..”, “iya aku siap” jawabnya nyaring menambah indah pagi yang indah ini. Dibukanya pintu kamarnya yang membuatku dan guntur mematung dalam waktu. Sungguh pemandangan wanita yang anggun dan sangat ramah. Senyuman hangat yang menghiasi wajahnya yang jelita membuat kami lupa sejenak akan tujuan kami disini. “Woyy! Bengong aja ayog katanya buru-buru.” Teriaknya seraya memecahkan lamunanku dan sahabat serta partner kerjaku ini. Guntur adalah pekerja keras dari dulu ia menjadi sainganku dalam prestasi kerja. Selalu prestasi demi prestasi bergantian kami raih. Tak ada dendam diantara kami hanyalah persahabatan yang sudah seperti saudara.

Meisya adalah gadis sunda idaman tiap anak kaum Adam. Begitulah menurut otak kananku menilainya, otak kiriku memandang wanita karir ini adalah wanita yang mampu bekerja keras dan mengurus segala perhitungan dalam keluarga serta mampu menyayangi anaknya dalam kondisi apapun. Paras cantik yang bahkan melihatnya saja bisa lupa bila kita sedang memiliki hutang 3 milyar ke rentenir. Dan pribadi yang santun dan ulet kreatif membuatnya diharapkan oleh banyak kaum adam untuk memegang urusan dapur masing-masing. Tetapi sudahlah profesionalisme kerja sangatlah kujaga sebagai pegawai senior kepada partner-pertner ku ini yang mana juniorku ini. Bersama kami berangkat, Guntur menyetir mobil yang membawa kami kesebuah tempat pertemuan yang telah disepakati yakni di café  yang cukup membuatku tersenyum berada didalamnya.

Kami berjalan menghampiri meja yang telah dipesan dengan dua orang bule tinggi yang telah berdiri menyambut kedatangan kami dengan wajah datarnya. Kami duduk melingkar di sebuah meja kayu yang cukup lebar. Dengan kemampuan bahasa Inggrisku yang lumayan membuat aku dijadikan TL pada pekerjaan ini. Kupersentasikan satu demi satu ke dua orang perwakilan perusahaan paris itu dengan baik. Yang mana beberapa pandangan sinis mereka yang sedari awal kurang percaya. Kulihat kecemasan ada pada wajah Guntur yang telah menyiapkan bahan persentasi kali ini  yang membuatku agak kacau. Dengan sedikit bercanda kuupayakan diriku tenang menghadapi ini. Kutoleh meisya yang duduk disampingku. Ternyata pandangan dan senyumannya yang tak pernah lepas melihatkan berbicara panjang kali lebar kali tinggi, seolah mengatakan bahwasannya kamu bisa dan kamu mampu. Semangatku pun seperti mekar dari kuncupnya, kulanjutkan persentasiku dengan percaya diri tinggi kuupayakan mereka benar paham dan puas dengan apa yang ku jabarkan. Dua jam lebih kuhabiskan pertanyaan mereka dengan penuh percaya diri dan lantang membuat mereka yakin akan kerja sama ini.

Wajah puas pun muncul dalam perjalan kami kembali ke hotel dengan senda gurau dimobil menyambut hasil positif yang akan kami dapat. Meisya pun mengatakan bahwasannya penampilanku hari ini luar biasa yang membuat aku tersipu malu layaknya kucing kecil. Aku adalah anak biasa dari mulai aku sadar akan diriku saat kecil. Kuimpikan aku bisa sukses jika besar nanti. Aku tak pernah percaya akan kemampuanku hanyalah orang lain yang dapat menilaiku. Dunia ini bagai semakin sempit saat mulai kudapat pengetahuan. Bersama orang disekitarku yang membisikkan kisah tentang dunia luas ini dan siapa sebenarnya orang yang namanya Bumi ini. Kunilai diriku dari dunia yang tak mau kuanggap luas ini karena keinginanku yang ingin melihat semuanya. Dengan kemampuanku aku bisa melakukan apa saja kapan saja dan dimana saja. Bagiku dunia ini hanyalah laci kecil dari kayu yang memiliki cermin didalamnya yang disana dapat membuat aku bisa melihat siapa sebenarnya diriku. bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun