Mohon tunggu...
Faizal Assegaf 2
Faizal Assegaf 2 Mohon Tunggu... lainnya -

| Faizal Assegaf

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendeta, Jangan Gitu Dong...!

22 Agustus 2010   17:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:48 1235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_235621" align="alignleft" width="300" caption="Hidup Itu Indah Jika Saling Berangkulan --- (ket foto: Putraku Alizai dan ponakanku Saharbanu)"][/caption]

Akan lebih menarik jika penjelasan seputar Islam dilakukan oleh pendeta atau pastor yang memiliki wawasan keagamaan yang komprehensif. Ini sebuah permintaan yang tulus. Itulah saya.

Tentu, bagi sebagian kalangan muslim yang bersikap fanatik, secara reaktif akan menilai ajakan itu sebagai sesuatu yang menyimpang. Dianggap menimbulkan dosa dengan alasan: Itu mustahil dan sangat terlarang.

Dalam penjelasan sejarah kenabian versi mazhab Sunni, Baginda Suci Muhammad SAW dan pamannya yang tercinta Abu Thalib, pernah berjumpa dengan seorang pendeta Nasrani bernama Buhaira. Ketika itu usia Nabi 12 tahun.

Peristiwa ini kemudian melahirkan ragam tafsir. Intinya bahwa adanya sumbangan kesaksiaan pendeta Buhaira atas tanda-tanda kenabian pada putra Abdullah bin Abdul Muthalib. Sebagian orang awam lantas berpendapat: Pendeta Kristen pun ikut mengakui bahwa Muhammad adalah seorang Nabi.

Namun, dari sudut pandang mazhab Syi’ah, sejarah yang digulirkan oleh kalangan ulama Sunni itu dinilai berlebihan dan sulit dibuktikan kebenarannya. Wacana itu diyakini sebagai sebuah propoganda yang justru menimbulkan distrorsi terhadap alur sejarah kenabian yang otentik. Namun untuk kasus ini, saya dan mungkin anda tidak tertarik membahasnya?

***

Bicara tentang Islam dan Muhammad SAW, sungguh menarik. Bayangkan, Islam itu lahir dari kalimat pendek: “Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”. Sepenggal kalimat itu terkenal sebagai syahadat, yang mengawali terbitnya cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia.

Sejumlah pemikir dan ulama Islam, memaknai syahadat dalam berbagai sudut pandang. Bahkan, mereka menegaskan kalimat yang menjadi rukun pertama dalam Islam itu, sangat menentukan keimanan bagi pemeluknya.

Dalam padangan pribadi saya, tafsir atas syahadat tidak berhenti sebatas rukun Islam yang bersifat dogmatis. Namun, ia adalah pancaran dari totalitas kenabian.

Karena, syahadat memiliki “energi” yang tercipta dari Zat Allah yang dipancarkan secara sempurna oleh Muhammad SAW. Dan karena itu, syahadat memiliki kekuatan yang terus bergerak menembus perjalanan zaman tanpa ada satupun kekuatan yang dapat menghentikannya.

Soal makna syahadat tersebut, saya punya pengalaman pribadi dengan sahabat saya yang kebetulan beragama Kristen. Suatu ketika dalam sebuah pertemuan kami terlibat mendiskusikan beberapa masalah yang terkait dengan isu agama.

Muncul sebuah pertanyaan yang menarik dari sahabat saya yang kebetulan pendeta:

“Menjadi seorang muslim itu gampang ya, cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat…?”

Saya spontan menjawab, “bukan hanya gampang tapi gratis lho…”

“Kok gratis…?” tanya sahabat saya dengan sedikit memperlihatkan rasa ingin tahu.

Saya kemudian menjelaskan bahwa, semua manusia yang terlahir di dunia ini adalah sesungguhnya muslim. Namun dalam perjalanannya dengan berbagai penyebab, ia bisa kehilangan fitrahnya sebagai muslim.

“Lha, kalau begitu saya pernah terlahir sebagai seorang muslim. Tapi mengapa perlu untuk menegaskan keislaman dengan syahadat…?”.

Pertanyaan pendeta membuat saya tersenyum, “maaf saya tidak tahu banyak tentang Islam, tapi yang jelas Islam itu agama rahmatan lil alamin…”, saya mencoba menghindar untuk tidak berdebat.

“Kalau itu yang menjadi dasar penjelasan anda, maka Islam telah mewakili klaim kebenaran secara sepihak…” tegas pendeta.

“Pendeta, jangan gitu dong…!” jawab saya, sambil berucap dalam hati, "ternyata sahabat pendeta ku cerdas dalam mengikuti perkembangan ajaran Islam.

Salam, Faizal Assegaf

Jkt, 23 Agustus 2010

Artikel Terkait:

BONUS:

|>> "Puasa itu utk memerangi hawa nafsu..." pesan pendek itu mengakhiri ceramah seorang ustad di layar tv... Judi Silalau kemudian menyindir, "emang betul, tapi pesan itu tdk berlaku bg Raja Cikeas, wong dia masih nafsu berkuasa untuk selama-lamanya...!"

Kunjungi facebook: Hikayat Raja Cikeas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun