Mohon tunggu...
Faizah 'Fafa' Rahmawati
Faizah 'Fafa' Rahmawati Mohon Tunggu...

Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011\r\nUIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang (akan) sedang belajar tulis-menulis dan menyukai desain.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tradisi ala Santri. Pilih Nyelat atau Antri? (Shock Culture)

1 Desember 2012   08:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:23 1309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah kisah pribadi seorang mahasiswa yang ngaku-ngaku absurd saat mengalami Shock culture. [caption id="attachment_226965" align="aligncenter" width="300" caption="Grup Sholawat Al-Banjari"][/caption]

Kisah ini berawal setelah saya lulus dari Sekolah dasar. Setelah lulus SD saya melanjutkan ke sebuah Pondok Pesantren di salah satu kota kecil di Jawa timur. Di sinilah awal mula saya merasakan shock culture yang amat sangat, karena bertemu dengan ratusan orang dari luar daerah dan pulau -baik di Pondok Pesantren maupun di sekolah- yang memiliki karakteristik dan budaya yang berbeda. Saya benar-benar harus dituntut untuk mempelajari karakteristik dan budaya mereka karena kita disini hidup bersama-sama, setiap hari bertemu dan berinteraksi selama 24 jam. Berbeda dengan pada saat saya di TK maupun di SD yang hanya bertemu teman-teman pada saat sekolah, belajar kelompok dan kegiatan di luar sekolah lainnya saja, selebihnya tidak. Tetapi disini saya harus benar-benar menjadi anak yang mandiri karena jauh dari ibu dan ini benar-benar pengalaman pertama saya yang mengharuskan melakukan semua kegiatan sendiri. Banyak hal-hal kecil tidak pernah saya lakukan sendiri, seperti mencuci contohnya, yang biasanya selama di rumah selalu dicucikan oleh ibu sekarang harus mencuci sendiri dan dari sinilah saya belajar mencuci untuk pertama kalinya. Saya benar-benar merasa payah, karena tidak pernah belajar mencuci sebelumnya. Biasanya di rumah hanya membantu mengucek, itupun kalau di suruh dan hanya pakaian yang enteng-enteng saja, tapi tidak tahu bagaimana cara membilas dan mensucikannya. Tetapi saya sangat beruntung, karena saya punya mbak kandung yang tinggal di pondok yang sama dan mengajari saya bagaimana cara membilas dan mensucikan pakaian. Tidak hanya mencuci, mbak saya juga mengajarkan banyak hal-hal kecil maupun besar yang belum pernah saya pelajari dan lakukan sebelumnya. Saya sangat berterima kasih dengan adanya mbak saya, tanpanya saya pasti menjadi santri baru yang cupu karena tak tau apa-apa. :D

Satu hal kecil yang saya pelajari dari mbak saya adalah cara memakai kerudung atau jilbab ala santri –yakni kerudung kotak yang dibentuk segitiga, kemudian dikaitkan dengan peniti atau jarum pentul dibagian bawah leher, karena saya sekolah di SD jadi sehari-hari di sekolah tidak pernah memakai jilbab kecuali ada acara islami atau saat ngaji di TPA. Ibu saya juga tidak mewajibkan memakai jilbab saat SD karena masih kecil dan saya memang merasa lebih enak menggunakan pakaian santai ketimbang busana muslim karena menurut saya ribet memakainya. Tapi tu bukan berarti ibu saya tidak mau mengajari saya untuk memakai jilbab, hanya saja tidak mengekang anak-anaknya. Toh setelah SD saya memang berniat masuk pesantren. Selama SD saya menggunakan jilbab khas anak-anak yakni jilbab yang langsung pakai, bukan jilbab kotak yang biasa orang dewasa pakai jadi memang perlu belajar menggunakannya.

[caption id="attachment_226964" align="aligncenter" width="300" caption="dari berbagai daerah dan kebudayaan yang berbeda"]

13543519731857174251
13543519731857174251
[/caption]

Di pesantren banyak anak-anak dari luar daerah atau luar pulau yang menggunakan bahasa yang berbeda dengan saya, jadi jika bicara dengan teman sesama jawa menggunakan bahasa jawa jika dengan luar daerah atau luar jawa menggunakan bahasa indonesia. Disini kita juga harus belajar memahami bahasa dan karakteristik mereka juga, karena kita hidup bersama-sama agar tidak kaget nantinya ketika mengetahui karakteristik budaya asli mereka.

[caption id="attachment_226961" align="aligncenter" width="300" caption="menu makan ala santri"]

1354351435561651285
1354351435561651285
[/caption]

Ketika makan, yang biasanya di rumah makan sendiri menggunakan piring dan sendok di pondok kita menggunakan sejenis nampan atau disana biasa disebut dengan lengser untuk makan bersama dalam satu wadah tersebut. Awalnya agak aneh dan wagu karena tidak terbiasa makan bersama dalam jumlah banyak dalam satu wadah, tapi lama-lama juga terbiasa. Inilah yang disebut rasa kekeluargaan. Jika saya tidak pernah hidup di pesantren mungkin selamanya saya akan merasa wagu untuk makan bersama dalam satu wadah seperti itu. Menu lauk di pesantren benar-benar membuat saya shock, karena di rumah terbiasa makan menggunakan lauk pauk sepertitelur, ayam, daging dan ikan sesekali juga menggunakan tahu dan tempe yang dibumbu atau dimasak berbeda tidak hanya digoreng sedangkan di pondok menggunakan lauk dan sayur seadanya. Tahu tempe goreng disana biasanya di sebut lauk pramuka karena waranya coklat muda dan coklat tua seperti kombinasi baju pramuka. Sesekali ada menu telur, ikan atau ayam pada hari senin dan kamis karena pada hari-hari tersebut banyak santri yang berpuasa.

Antri adalah kata yang tidak asing di pesantren, karena hidup bersama-sama jadi segalanya harus antri entah itu antri mandi, setrika, nyuci bahkan mau minum sekalipun harus antri. Antri mandi juga tidak biasa dilakukan di rumah, di pesantren harus bangun pagi-pagi untuk mendapat antrian yang pertama sedangkan yang bangun telat harus rela menunggu sampai gilirannya datang. Atau bisa juga dia mandi tidak pada gilirannya dengan cara nyelat. Nyelat adalah kata yang biasa digunakan untuk mengambil alih antrian yang sudah ada. Contohnya ketika si pengantri ketiga masih malas untuk mandi, pergi ke suatu tempat atau ada kesibukan lain maka pengantri lain boleh nyelat duluan alias memanfaatkan peluang dan waktu yang ada –tentunya dengan seizin pengantri yang sedang ada kesibukan lain tadi, jika pengantri yang lain tidak sabaran siap-siap saja diomelin. Heheh Jadi menurut saya budaya nyelat berlaku pada antrian apapun asal seizin pengantri yang lain. :D

[caption id="attachment_226963" align="aligncenter" width="300" caption="jama"]

13543518681623121240
13543518681623121240
[/caption]

Kita juga harus mengikuti dan menaati peraturan-peraturan yang ada di pesantren. Seperti jama’ah, mengaji dan kegiatan lainnya yang juga baru pertama kali saya lakukan rutin. Di sini setiap hari harus mengikuti jama’ah 4 kali dalam sehari –kecuali dhzuhur karena waktu sekolah setiap santri berbeda-beda. Disinilah letak shock saya, dulu saat masih SD sholatnya masih bolong-bolong sedangkan di pesantren saya harus bisa tepat waktu dalam sholat. Bangun surup-surup setiap jama’ah shubuh, bangun dari tidur siang atau santai-santai untuk jama’ah ashar, mengikuti jama’ah magrib, dan jama’ah isya setelah kegiatan ngaji diniyah. Ngaji pun juga begitu, setiap hari mengaji entah itu ngaji kitab atau ngaji Al-Quran. Kebiasaan-kebiasaan seperti itulah yang membuat saya benar-benar shock saat pertama kali masuk pesantren, tapi seiring berjalannya waktu saya sudah terbiasa dan itu adalah salah satu cara bagaimana saya bisa belajar membagi waktu dengan baik.

[caption id="attachment_226962" align="aligncenter" width="300" caption="ngaji diniyah / ngaji kitab"]

13543517592017565577
13543517592017565577
[/caption]

Bicara tentang mengaji kitab, saya jadi ingat saat pertama kali masuk pesantren sama sekali tidak bisa menulis pego padahal setiap mengaji kitab diharuskan memaknainya menggunakan pego. Pego adalah tulisan/bahasa jawa yang ditulis menggunakan huruf arab atau huruf hijaiyah, jadi tulisannya memang arab tapi sebenarnya kalau dibaca bahasa jawa. Masih banyak sekali budaya atau tradisi di Pesantren yang belum pernah saya lakukan sebelumnya.

Setelah dari pesantren saya melanjutkan kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beberapa contoh shock saat pertama kali tinggal di Yogyakarta setelah di pesantren adalah: harus bangun pagi sendiri tidak seperti di pondok yang dibangunkan oleh bel yang meraung-raung setiap pagi atau teriakan-teriakan pengurus pondok; sepi; harus bisa mengatur jadwal sendiri, tanpa adanya aturan-aturan seperti di pesantren; pokonya benar-benar harus bisa melakukannya sendiri mulai dari hal-hal kecil sampai besar. Di pesantren meskipun melakukan sendiri tapi kita banyak teman dan masih ada yang aturan-aturan yg berlaku dari para pengurus maupun orang-orang ndalem.Cukup sekian segelintir kisah shock culture saya yang agak absurd di Pondok Pesantren, yang mungkin karena terlalu panjang anda jadi malas membacanya.

Hidup nyelat! hidup antri! Hidup santri! Wassalam..

Dok Foto: Pribadi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun