Mohon tunggu...
Faizah Aulia
Faizah Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

I have passioned in economics analysis and mathematics, I really like to discuss about economic conditions and development, and I have several experiences of national sains olympiads in social and economic. Self-confidence, courage to take risks, and all these passions lead me to have an academic goal in the future

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peningkatan Peran Perempuan Dalam Dunia Politik: Sudahkah Suara Mereka Terdengar?

3 November 2024   14:06 Diperbarui: 3 November 2024   14:36 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun 2024 merupakan tahun perayaan pesta demokrasi yang dihiasi dengan penyelenggaraan rangkaian Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak. Pada tahun ini, semua pihak saling memberikan prasangka dan berkoar-koar menyuarakan dukungannya. Tak ada pihak yang dapat bebas dari cap keberpihakan, karena kata 'netral' di nilai hanya sebagai sebuah omong kosong. Setiap sudut negeri ini memfokuskan pandangan pada beberapa tokoh yang sibuk menggaungkan visi misi mulia. Sangat sulit menemukan penilaian yang objektif, karena kebenaran yang disampaikan pun pasti dicurigai sebagai simbol dukungan politis. Pada tahun ini, banyak hal luar biasa terjadi di mulai dari desa-desa yang mendadak padat, tempat-tempat kumuh yang terpinggirkan mendadak terkenal, dan tingkat ketaatan orang-orang pada ajaran agamanya juga semakin meningkat. Semua hal ini, semata-mata terjadi sebagai bentuk usaha untuk mendapatkan kepercayaan publik.

Salah satu sorotan penting yang hadir dalam tahun politik ini adalah tingkat partisipasi kaum Perempuan dalam dunia politik. Seperti kita ketahui bersama, bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 telah menetapkan kuota minimal 30% keterwakilan perempuan dalam partai politik dan lembaga legislative. Akan tetapi, realitas keterwakilan perempuan di parlemen menurut data terbaru BPS masih berada jauh dibawahnya, yakni sekitar 22%. Hal ini menunjukkan, bahwa meskipun Perempuan telah memikili hak memilih dan di pilih yang sama dengan laki-laki sejak pemilu pertama pada tahun 1955. Namun ternyata, masih terdapat stigma negatif di masyarakat yang mempersulit kesamaan hak tersebut. Kondisi ini merupakan wujud permasalahan pelik di Indonesia, bahwa kesamaan hak dan kewajiban tanpa memandang perbedaan gender masih sangat jauh dari kata baik-baik saja.

Di samping itu, seringkali Perempuan yang memiliki pandangan berbeda dari umumnya dan berani menyuarakan perbedaan pandangannya tersebut, justru mendapat kritikan yang lebih mengarah pada ujaran kebencian. Kritikan yang diberikan oleh masyarakat umum pada Perempuan yang berani menyuarakan pandangannya terlebih dalam dunia politik, justru lebih menyerang pada personal perempuan tersebut dan keluar dari konteks perdebatan yang ada seperti fisiknya, keluarganya, hingga menargetkan mental Perempuan tersebut dengan penggunaan kalimat yang mengarah pada pelecehan. Ini merupakan gambaran tantang yang dimiliki oleh para Perempuan untuk berpartisipasi aktif khususnya dalam dunia politik.

Upaya nyata sebagai respon dalam menghadapi permasalahan ini perlu di lakukan oleh banyak pihak karena ini menyangkut kepentingan bersama, di mana kita sebagai warga negara harus berusaha untuk mewujudkan cita-cita bangsanya, melalui kesetaraan gender yang merupakan amanat pancasila khususnya pada nilai sila kedua. Langkah bijaksana dalam mengambil dan mengkritisi suatu permasalahan sangat diperlukan untuk dapat menciptakan solusi-solusi terbarukan. Menurut saya, kita perlu membagi terlebih dahulu penyebab permasalahan ini dari sisi eksternal dan internalnya untuk kemudian memerinci solusi bijak yang bisa diterapkan.

Dari sisi eksternal, penyebab permasalahan ini dapat berupa sistem perekruitan anggota kader pada partai politik yang hanya menjadikan perempuan sebagai pemenuh kuota, keterbatasan ekonomi, yang menghambat proses kampanye politiknya, media massa yang seringkali memberikan deskripsi negatif tentang perempuan sehingga memberikan keraguan publik pada kemampuan perempuan untuk mengambil peran dalam dunia politik, dan budaya patriarki yang sangat kental di beberapa kalangan masyarakat Indonesia. Adapun dari sisi internal, meyoritas permasalahan ini hadir dari mentalitas perempuan itu sendiri seperti rendahnya rasa percaya diri yang terkait rendahnya tingkat pendidikan, ekonomi, dan dukungan lingkungan sekitarnya, serta persepsi sosial yang menganggap partisipasi perempuan dalam politik sebagai suatu hal yang tidak sesuai dengan norma sosial. Setelah mengidentifikasi sumber permasahan tersebut, selanjutnya adalah pemecahan masalah dengan mempertimbangka solusi secara bijak. Meskipun telah terdapat upaya afirmatif untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam dunia politik. Berbagai hambatan lainnya juga perlu dukungan dari banyak pihak dalam upaya mengatasinya baik dari pemerintah, masyarakat, maupun dari diri para perempuan tersendiri.

Pemerintah layaknya sebagai penetap kebijakan, dapat mempertegas pelaksanaan kebijakan kuota minimal 30% keterwakilan perempuan dalam parlemen, memberikan program pendidikan politik dengan menyasar perempuan, dan membantu menyediakan akses sumber pembiayaan dana kampanye pada calon legislatif perempuan sehingga mampu bersaing dengan kandidat laki-laki. Di samping itu, masyarakat yang memegang peran penting dengan volume yang sangat luas, seudah semestinya saling meningkatkan kesadaran akan politik dan pentingnya partisipasi perempuan dalam politik, serta memberikan kesempatan dan dukungan yang sama untuk para perempuan membuktikan kemampuan yang dimilkinya.

Pada akhirnya, subjek sekaligus objek terpenting dalam upaya mengatasi permasalahan ini adalah kaum perempuan itu sendiri. Di mana sebagai perempuan, sudah seharus memiliki inisiatif untuk berani mencalonkan diri dan memperjuangkan kepercayaan yang dimiliki demi kemajuan bangsa, serta saling mendukung dan aktif berpartisipasi dalam pelatihan serta pendidikan yang dapat meningkatkan pemahaman tentang proses berpolitik. Dengan demikian, cita-cita kesetaraan gender dalam berpolitk di bangsa ini akan menjadi harapan yang sama-sama diusahakan untuk terwujud

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun