Mewujudkan Potensi Teknologi: Dari Penggantian Sistem ke Perubahan Strategis
Implementasi sistem informasi strategis (IS) telah menjadi salah satu faktor kunci keberhasilan perusahaan di era digital.Sistem seperti Mill Execution System (MES) dirancang untuk meningkatkan efisiensi operasional dan memungkinkan perubahan strategis di dalam organisasi. Namun, meskipun teknologi ini memiliki potensi besar, banyak organisasi yang gagal memanfaatkannya secara optimal. Dalam penelitian oleh Arvidsson, Holmstrm, dan Lyytinen (2014), konsep "strategy blindness" diperkenalkan untuk menjelaskan fenomena ini, yaitu ketidakmampuan organisasi untuk menyelaraskan sistem IS yang diimplementasikan dengan tujuan strategis.
Penelitian ini, yang dilakukan melalui studi kasus longitudinal di sebuah pabrik kertas di Swedia, mengungkap bahwa meskipun implementasi sistem secara teknis berhasil, organisasi gagal mengadopsi perubahan strategis yang diperlukan. Rigiditas kognitif atau "cognitive entrenchment" menjadi salah satu penyebab utama kegagalan ini, di mana individu dan kelompok di dalam organisasi enggan untuk mengubah praktik lama mereka meskipun dihadapkan dengan teknologi baru yang memungkinkan efisiensi lebih tinggi.
Kegagalan semacam ini bukanlah masalah teknis semata, tetapi juga masalah organisasional dan kultural. Data dari laporan McKinsey (2021) menunjukkan bahwa 70% transformasi digital gagal mencapai tujuan bisnis mereka, dengan salah satu penyebab utamanya adalah resistensi terhadap perubahan di dalam organisasi. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan implementasi sistem informasi tidak hanya tergantung pada teknologi itu sendiri, tetapi juga pada kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan cara baru dalam bekerja. Dalam konteks ini, penelitian Arvidsson et al. memberikan wawasan penting bagi organisasi yang ingin sukses dalam memanfaatkan teknologi IS untuk mendukung perubahan strategis mereka.
***
Implementasi sistem informasi strategis seperti MES pada pabrik kertas yang diteliti oleh Arvidsson, et al.(2014) memperlihatkan tantangan yang sering diabaikan dalam proses transformasi digital. Meski secara teknis sistem ini berhasil diimplementasikan, organisasi tidak mampu mewujudkan perubahan strategis yang diharapkan. Fenomena "strategy blindness," atau kebutaan terhadap strategi, terjadi ketika organisasi gagal mengintegrasikan kemampuan teknologi baru dengan tujuan strategis mereka. Kegagalan ini sebagian besar disebabkan oleh rigiditas kognitif yang mendalam, di mana praktik-praktik lama yang sudah mendarah daging sulit diubah bahkan ketika sistem baru telah diadopsi.
Data dari penelitian menunjukkan bahwa aktor-aktor kunci dalam organisasi, seperti manajer proyek dan tim perencanaan, lebih fokus pada menghindari risiko teknis daripada memanfaatkan potensi sistem baru untuk mengubah praktik kerja mereka. Misalnya, MES memungkinkan pengurangan kompleksitas dalam proses produksi dan meningkatkan fleksibilitas. Namun, karena adanya kekhawatiran tentang risiko operasional dan ketidakmampuan untuk melihat potensi strategis dari perubahan tersebut, banyak fungsi baru yang disediakan oleh sistem tetap tidak dimanfaatkan. Dalam konteks industri proses seperti pabrik kertas, di mana gangguan produksi memiliki dampak finansial besar, resistensi terhadap perubahan ini bisa dipahami. Namun, resistensi tersebut pada akhirnya membatasi kemampuan organisasi untuk mencapai efisiensi dan responsivitas yang lebih besar terhadap permintaan pelanggan.
Penelitian ini juga mengungkap bahwa banyak organisasi terjebak dalam logika "penggantian teknologi" daripada "transformasi strategis." Artinya, sistem baru hanya dilihat sebagai pengganti sistem lama tanpa ada upaya serius untuk mengubah cara kerja atau proses operasional secara fundamental. Hal ini tercermin dalam pernyataan yang ditemukan dalam penelitian bahwa "praktik kerja tetap sama seperti sebelum sistem baru diimplementasikan." Dalam survei yang dilakukan oleh Deloitte (2020), 55% dari eksekutif perusahaan melaporkan bahwa resistensi terhadap perubahan di tingkat manajemen menengah merupakan hambatan terbesar dalam mencapai manfaat penuh dari investasi teknologi. Data ini mendukung temuan bahwa keberhasilan implementasi sistem IS tidak hanya bergantung pada kinerja teknis, tetapi juga pada bagaimana teknologi tersebut digunakan dan diintegrasikan ke dalam praktik organisasi.
Dengan fleksibilitas sistem IS yang terus meningkat, organisasi seharusnya memiliki peluang lebih besar untuk memanfaatkan kemampuan teknologi untuk mendorong perubahan strategis. Namun, seperti yang terlihat dalam kasus ini, tanpa perubahan signifikan dalam cara berpikir dan beroperasi, potensi teknologi tersebut tidak akan pernah sepenuhnya terealisasi. Akibatnya, organisasi bisa kehilangan peluang besar untuk meningkatkan daya saing dan merespons perubahan pasar dengan lebih cepat.
***
Penelitian oleh Arvidsson, et al(2014) menyoroti pentingnya mengatasi rigiditas kognitif dan resistensi terhadap perubahan dalam implementasi sistem informasi strategis. Keberhasilan teknis dalam implementasi sistem, seperti MES, tidak cukup untuk mencapai transformasi strategis yang diinginkan. Organisasi perlu fokus pada perubahan budaya dan cara kerja untuk memastikan teknologi baru dapat dimanfaatkan secara optimal. Data mendukung bahwa 70% transformasi digital gagal karena faktor-faktor seperti resistensi terhadap perubahan dan kurangnya adaptasi organisasi (McKinsey, 2021).