Baik Hijriyah maupun Masehi, pergantian tahun akan bijak bila dimaknai sebagai momentum evaluatif. Tidak lagi relevan memperdebatkan segi formil dari pergantian tahun, antara tahun baru Masehi atau Hijriah. Terpenting ialah melihatnya secara materiel, bahwa pergantian tahun merupakan momentum untuk berhijrah dan mengevaluasi diri menuju arah lebih baik.
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ma’ruf Amin pun menuturkan bahwa pergantian tahun merupakan momentum untuk bercermin, lalu menemukan kesalahan dan selanjutnya merumuskan formula yang tepat dalam membenahi kesalahan tersebut. Beliau menegaskan, pergantian tahun haruslah dimaknai semangat hijrah, memasuki babak baru untuk lebih baik.
Pun dalam konteks kehidupan bernegara, pergantian tahun harus dimaknai sebagai momentum menuju babak lebih baik. Seyogyanya bangsa ini menaruh harapan-harapan baru. Baik di bidang politik, hukum, ekonomi dan bidang kehidupan bernegara lain, seiring pergantian tahun, harapan-harapan baru tersebut harus segera diwujudkan, untuk membawa bangsa ini ke arah lebih baik.
Di antara harapan penting tersebut ialah terwujudnya demokrasi lokal yang berkualitas. Di era otonomi daerah, demokrasi lokal berkualitas merupakan tonggak penting mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dicita-citakan. Kebetulan beberapa minggu sebelum pergantian tahun, tepatnya pada tanggal 9 Desember lalu, telah dilaksanakan pilkada serentak untuk pertama kalinya sebagai proses penting menuju demokrasi lokal berkualitas.
Pilkada serentak pun disebut era baru demokrasi lokal. Di tengah persoalan serius demokrasi lokal melalui pilkada langsung, pilkada serentak diharapkan berkontribusi positif bagi kematangan demokrasi lokal di Indoneisa, antara lain karena akan menghemat anggaran, bisa membuat jalannya pemerintahan lebih efektif, dan relasi pusat-daerah lebih baik.
Seiring semangat desentralisasi, demokrasi lokal merupakan kunci penting terwujudnya pembangunan kewilayahan yang representatif. Demokrasi lokal yang buruk akan menjadi persoalan serius di era otonomi daerah. Pemimpin lokal yang dihasilkan demokrasi lokal memiliki andil besar dalam menentukan orientasi pembangunan di daerah. Bila demokrasi lokal tidak mampu menghasilkan pemimpin berkualitas, tentu akan berimplikasi pada kualitas pemerintahan dan pembangunan.
Masih Sebatas Demokrasi Prosedural
Sejak diselenggarakan pada tahun 2005, demokrasi lokal melalui pilkada langsung menyisakan banyak persoalan sebagai proses rekruitmen pemimpin lokal. Angan-angan ideal agar ada demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat justru jauh dari apa yang diharapkan. Berbagai permasalahan pun melingkupi demokrasi lokal melalui Pilkada.
Menurut data Kementerian Dalam Negeri, sampai Desember 2014, ada 343 kepala daerah yang terkait kasus korupsi. Selain itu, hampir 90% Pilkada berujung pada sengketa di Mahkamah Konstitusi. Banyaknya sengketa tersebut menunjukkan banyaknya pelanggaran selama pilkada berlangsung, seperti dukungan ganda, money politics, black campaign, dan lainnya. Data-data tersebut mengindikasikan ada persoalan serius dalam proses rekruitmen kepemimpinan daerah melalui Pilkada.
Karena itu, demokrasi lokal pun dinilai sekedar pada demokrasi prosedural, belum sampai pada demokrasi subtansial yang diharapkan. Demokrasi lokal melalui pilkada langsung ternyata belum mampu memenuhi harapan mewujudkan demokrasi yang diinginkan, yakni demokrasi yang mampu mengartikulasikan keinginan rakyat menuju kehidupan berbangsa dan bernegara lebih baik.
Menuju Demokrasi Ekosentris