Gelombang boikot dan gerakan uninstall berjamaah mewarnai kehidupan muamalah ekonomi masyarakat Indonesia dewasa ini. Sebenarnya yang demikian ini bukan hal baru, masyarakat sudah sering mendengar gerakan-gerakan boikot, terkhusus yang dituju ialah produk asing yang menurut risalah profitnya digunakan untuk kas sekutu guna menyerang negara-negara Muslim konflik.
Starbuck, McDonald, Cocacola Company, dan segala usaha asing lain yang diduga profitnya digunakan untuk menindas adalah contoh sasaran gerakan boikot ini. Jika dulu gerakan boikot menyasar pada perusahaan Transnasional semisal yang sudah disebutkan diatas tadi, seiring dinamika terjadi gerakan boikot ini kini menyasar usaha Nasional.
Sari Roti, Traveloka, Bukalapak adalah beberapa daftar perusahaan yang terkena dampak gerakan boikot oleh sebagian masyarakat. Kita menarik waktu ke 3 tahun silam, dimana pemilukada DKI 2017 berlangsung. Dinamisasi politik yang terjadi begitu alot. Arus demonstrasi meramaikan kontestasi bergengsi di wilayah yang disebut-sebut sebagai kota miniatur etnis Indonesia ini. Puncaknya adalah pada awal Desember 2016, yang dimana berhasil memobilisir massa dalam jumlah besar untuk unjuk rasa menuntut Gubernur petahana yang terjegal kasus penodaan agama.
Pasca demonstrasi, jagat media sosial diramaikan oleh ajakan untuk memboikot salah satu perusahaan roti ternama di Nusantara, Sari Roti. Pada awalnya Sari Roti mendapat pujian karena gerobak roti berlabelkan Sari Roti terpampang tulisan "Gratis Untuk Mujahid" pada aksi tersebut. Usut punya usut latar belakang sebagian masyarakat terkhusus yang berada pada barisan demonstrasi mengajak untuk memboikot perusahaan ini karena cuitan perusahaan di media sosial dan klarifikasi perusahaan di laman websitenya  yang dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian atau berada pada barisan yang bersebrangan dengan peserta aksi yang menamai diri sebagai Alumni aksi.
Tak berhenti di Sari Roti, gelombang boikot atau gerakan uninstall yang viral di media sosial mengarah pada perusahaan penyedia layanan pemesanan tiket pesawat dan hotel secara online, Traveloka. Sang Ceo perusahaan Derianto Kusuma yang walk out saat Gubernur DKI Anies Baswedan menyampaikan pidato di acara peringatan 90 tahun berdirinya Kolese Kanisius di JIExpo Kemayoran pada November 2017 lalu. Hal itu yang menyebabkan tagar uninstall Traveloka bersliweran di media sosial.
Pada tahun inipun, gerakan boikot atau tagar uninstall meramaikan segmen media sosial. Netizen berbondong-bondong menyerukan tagar uninstall Bukalapak, perusahaan perbelanjaan daring di Indonesia.Â
Netizen beralasan gerakan ini sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pernyataan Ahmad Zaky sang Ceo perusahaan di akun twitternya. Sesampai Ahmad Zaky harus meminta maaf pada pihak yang merasa tersinggung oleh pernyataannya.
Riuhnya media sosial oleh gerakan uninstall yang digelorakan oleh netizen sampai pada smartphone milik Presiden. Orang nomor 1 di Indonesia ini meminta agar netizen untuk berhenti meramaikan gerakan tersebut dan berpesan agar masyarakat fokus menyiapkan formula untuk Indonesia maju.
Dari beberapa kasus yang terjadi, saya melihat ada yang salah dengan ekspresi kekecewaan melalui gerakan boikot atau uninstall. Gerakan boikot atau uninstall ini cenderung bersifat politis, dikaitkan dengan pilihan politik masyarakat yang terfragmentasi kedalam 2 kubu, simpatisan petahana dan simpatisan oposisi.
Sari Roti dan Traveloka adalah korban gerakan boikot uninstall simpatisan oposisi. Sikap kedua perusahaan tersebut dinilai bersebrangan dengan mereka yang terkumpul di barisan tersebut. Oleh karenanya netizen yang mendukung tagar tersebut bisa dipastikan adalah sebagian netizen simpatisan oposisi.
Pun sama halnya dengan Bukalapak, korban gerakan uninstall sebagian simpatisan petahana. Cuitan Ahmad Zaky dianggap sebagai sikap anti-petahana. Mereka yang mendukung gerakan uninstall Bukalapak bisa dipastikan adalah sebagian netizen simpatisan petahana.