Negeri ini dicipta ketika Tuhan sedang tersenyum.. - pesan pemuda yang tak mau ada yang sia - siakan negerinya
Sore ini, saya dan kawan - kawan saya memutuskan untuk meninggalkan kota Surakarta sejenak. Mencari suasana baru di kota sekitar setelah hiruk pikuk dunia kampus membanjiri pikiran belakangan ini. Berbekal jaket seadanya, pakaian di dalam tas dan tekad serta niat yang bulat, kami pacu dua sepeda motor membelah jalanan menuju kota tetangga berjarak 45 menit dari UNS kampus kami. Sragen.
Kisah menarik ini tak akan dimulai dari tour kami di salah satu kota dalam Provinsi Jawa Tengah ini. Ditemani kepul asap truk dan laju bis di sebelah kami lah, kisah ini akan saya ketengahkan. Adalah Yogi, teman saya yang sebenarnya berdomisili di wilayah Jabodetabek, sedang iseng kuliah di Solo dan sangat akrab dengan yang namanya kemacetan dan gedung bertingkat. Maklum, anak kota. Kebetulan Ia yang memegang kendali sepeda motor dan saya tetap setia duduk di jok bagian belakang sembari sesekali menemaninya mengobrol tentang segalanya. Agak membahayakan memang.
Dan obrolan di tengah laju sepeda motor ini akhirnya agak terganggu. Selain karena harus berkonsentrasi, perbincangan kami juga terganggu akibat tingkahnya yang selalu mencoba menangkap pemandangan hamparan sawah luas di kanan kiri jalan. Agak mengganggu bagi saya, karena konsentrasi berharga di jalan harus Ia singkirkan demi pemandangan yang bagi saya biasa saya lihat. Maklum, saya terlahir di tanah Alas Roban, wilayah pedesaan yang akrab dengan hijau pepohonan dan luasnya lautan.
Tak sabar melihat tindak tanduknya, saya pun akhirnya gusar dan mencoba menegurnya. Ternyata alasannya yang sedikit menggetarkan. Ia merasa pemandangan hamparan sawah sangat lah luar biasa di matanya. Hijau dedaunan dan padi merasuk ke setiap jengkal pikirannya melalui bundar bola matanya. Kekagumannya tak pernah berhenti demi sebuah pemandangan yang bagi saya akrab dengan mata saya. Dalam benak saya bergumam, bukankah masih banyak pemandangan indah lain di pelosok desa sana yang lebih dari sekedar hamparan sawah di tepi jalan. Namun ocehan saya tak di dengarnya. Mata Kotanya tak bisa diajak berkompromi. Sawah - sawah itu terasa menggoda di matanya.
Saya pun mengingat pengalaman ketika pertama kali kaki ini menginjak ibu kota. Gedung menjulang tinggi bagi Mata Desa ini sangat mempesona, seakan bukan tangan manusia yang menciptanya. Pun menikmati dengan syahdu kegaduhan ibukota yang bagi masyarakat Jakarta sangat menjemukan. Apalagi barisan mobil mewah yang mencoba memperkenalkan diri di Mata Desa ini.
Mungkin, itu jugalah yang kawan saya rasakan. Mata kami kesemuanya memang ciptaan Allah. Namun Allah memberikan porsi yang berbeda untuk setiap lukisan-Nya di dalam lensa mata kami. Di tengah obrolan itupun hati ini semakin yakin, yakin bahwa keindahan tanah Indonesia tak akan cukup menjejali mata manusianya. Entah di kota maupun di desa, bagi saya sama saja. Keduanya memiliki cerita tersendiri.
Pemandangan - pemandangan itu seakan mencoba membisikkan pesan tersendiri. Gedung - gedung itu dahulu menceritakan sebuah kemegahan, kemajuan peradaban dan kegemilangan pembangunan negeri ini. Sedangkan sawah - sawah itu sore ini mengisahkan kayanya alam negeri ini, suburnya tanah ini dan gemah ripah nya nusantara ini. Lantas, akan kemana lagikah kita menikmati indahnya hidup kalau bukan di negeri ini. Mata kita pun sudah dibuat mabuk kepalang.
Sudah lelah beradu suara. Perbincangan itu akhirnya kita akhiri. Ia yang bermimpi untuk meraih beasiswa kuliah di luar negeri itu dengan nada yakin menuturkan, "sayang kalo kita ke luar negeri tanpa pernah menjajaki indahnya alam negeri ini". Dan kata - kata bijak itu saya timpali dengan tawa, "Mata Kota baru melihat sawah saja sudah kemana - mana mimpinya..".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H