Setiap kurun waktu tiga tahun, The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengadakan uji kemampuan literasi siswa dari banyak negara di dunia. Organisasi yang berbasis ekonomi ini memandang bahwa tingkat ekonomi suatu negara berbanding lurus dengan kualitas pendidikan di negara tersebut.Â
Yang artinya, semakin tinggi level perekonomian suatu negara, maka semakin baik pula mutu pendidikan yang diselenggarakan. Melalui Programme for International Student Assessment (PISA), OECD mengukur tingkat kemampuan literasi membaca, sains, dan matematika para siswa yang berusia 15 tahun.Â
Hasilnya, dari waktu ke waktu tes ini diadakan, Indonesia selalu berada pada posisi yang sangat rendah. Pada saat PISA diadakan, Indonesia memperoleh peringkat 39 dari 41 negara. Bahkan dari PISA yang terbaru yaitu pada tahun 2022, Indonesia juga menjadi salah satu negara yang menempati posisi terbawah, yaitu peringkat 69 dari 80 negara.
Jika diamati dari data di atas, pergantian kurikulum kurang memberikan dampak positif dari terciptanya budaya literasi di sekolah. Pada literasi membaca, tren skor PISA yang didapatkan Indonesia bahkan mengalami penurunan drastis di catatan terakhir. Fenomena ini dapat dikatakan sangat memprihatinkan karena jika melihat data survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan angka buta huruf penduduk berumur 10 tahun keatas sebesar 3,18 persen yang merupakan angka terendah dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Akan tetapi, kemampuan membaca masyarakat Indonesia tidak dibarengi dengan kemauan membaca dan kemampuan memahami apa yang dibaca. The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menyebut Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya diangka 0,001% yang berarti bahwa dari 1000 masyarakat Indonesia, hanya 1 orang yang memiliki minat dan rajin membaca.
Jika berkaca dari negara yang mendapatkan peringkat paling atas hasil PISA 2022 yaitu Singapura, Indonesia sepertinya harus banyak berbenah. Bagaimana tidak, memiliki kurikulum pendidikan yang terstruktur dan berfokus pada pengembangan kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kreativitas siswa.Â
Kondisi ini jauh berbeda dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia yang ketika terjadi pergantian pemegang kebijakan, maka kurikulum yang dipakai akan berganti. Negara yang meiliki penduduk lebih dari 270 juta jiwa ini belum memiliki "pendirian" terhadap kurikulum apa yang dipakai.Â
Makna literasi sendiri tidak hanya sebatas membaca tulisan dari buku. Secara lebih luas, literasi dapat diartikan sebagai kemampuan memahami informasi yang didapatkan sehingga dapat tercipta pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kelangsungan hidupnya. Dari melihat, mendengar, dan berbicara pun dapat terjadi kegiatan berliterasi.Â
Sebagai contoh: ketika menonton berita di televisi, mendengarkan podcast edukatif, dan mempresentasikan hasil karya di depan kelas. Semua kegiatan tersebut termasuk dalam proses berliterasi dengan cara yang berbeda-beda. Kata kunci yang tepat untuk memahami hakikat literasi ada dua yakni "pemahaman" dan "pengetahuan". Jika kita mampu memahami informasi yang didapatkan, maka akan tercipta pengetahuan dalam diri kita.