Sore itu, Bell sekolah berbunyi. Semua siswa bersorak keluar dan berlari, seakan terbebas dari penderitaan. Di tengah kerumunan dan pandangan yang serba putih, sosok itu datang mengahampiriku. Dibalik gerbang sekolah, menyapaku "Kak, ada salam dari ....". Sungguh aneh, aku seakan tidak mencerna perkataannya, tapi suaranya membuat hari itu senyap bagiku. Keesokannya, sosok itu muncul lagi. akupun menunggu untuk berada di situasi yang sama dan benar aku berada disituasi yang sama. Hingga situasi berlanjut, kuberanikan bersuara di depannya walaupun hanya sekedar bertanya nama. Aku merasakan suatu situasi dalam hidupku yang belum pernah aku alami sebelumnya, entah apa namanya tapi aku merasa lebih nyaman. Aku mengkondisikan hari-hariku untuk terus bertemu dengannya. Setiap hari, sungguh setiap hari, hingga aku tak berhitung bahwa sudah banyak detik dalam hidupku yang kugunakan untuk bersamanya. Hidupku berubah saat itu, walaupun ku akui bahwa aku terlambat menyadarinya. Jika awalnya hampir setiap hari aku nongkrong di depan lapangan sepakbola sekolah, tapi berubah menjadi di depan kelasnya. Jika aku awalnya setiap hari pulang bersama teman-teman lelakiku, tapi berubah menjadi  bersama dirinya.
Ya, kebersamaan itu menyimpan banyak cerita tapi begitu cepat berlalu. Hingga akhirnya, acara kelulusan pun tiba. Aku berada di dua situasi yang kontradiksi, antara bahagia dengan kelulusan atau sedih menyadari bahwa kebersamaan itu sudah mencapai akhir. Suatu dilema yang tak bisa dihindari dan tak bisa di tebus dengan apapun. Aku menjalaninya, merenangi pasang surut kebersamaan. Aku mengangkat kaki ini dari kota yang penuh cerita, berusaha keluar meninggalkan kebahagiaan untuk mencari kebahagiaan lain ditanah rantau dan dia masih dikota itu untuk menulis kelanjutan ceritanya sendiri. Walaupun sesungguhnya aku pernah berbisik kepadanya sebelum berpaling "Susul aku setelah buku ceritamu berakhir di kota ini".
Suatu penantian yang panjang sebab dirasakan seorang diri, tak seperti disaat bersama walaupun secara hitung-hitungan itu sama. aku jalani hidup yang baru dengan situasi dan sosok-sosok yang baru bersamaku tapi aku tetap menanti bisikanku kepadanya. Berusaha menikmati kebahagiaan lewat lantunan kata-katanya yang keluar dari benda yang bisa berbicara, walaupun sebenarnya tidaklah sama. Hingga waktu berlalu, aku merasa penantian itu semakin dekat. Tibalah waktunya untuk dia menutup bukunya dikota itu. Aku bahagia, karena anggapanku penantian itu akan segera berakhir. Hingga datang kabar darinya, kabar yang membuat penantianku semakin panjang. Dia tak datang kepadaku, tetapi terbang ke tanah kelahirannya di Kota Daeng. Ya, lagi-lagi aku harus menanti. Berusaha menyulam sisa-sisa kebahagiaan yang berserakan di dinding penantian itu sembari berharap kepada waktu, "cepatlah berakhir".
Aku menjalaninya, aku nikmati hari-hari itu sebisaku. Akan tetapi, disela-sela cerita itu, waktu pun menjawab. Aku direstui olehnya untuk mengakhiri penantian itu walaupun sementara. Aku terbang ke Kota Daeng, mencoba menggapai kebahagian yang selama ini tertunda. Berusaha melepas semua rindu yang selama ini menjadi teman di keseharianku. Aku bertemu dengannya, "dia masih sama", "dia masih polos". Aku memandangi wajahnya, seakan penantian itu terbalaskan oleh detik-detik itu. Detik yang direstui waktu dan paling berharga dalam semua cerita dalam bukuku. Aku bersyukur kepada waktu, walaupun detik itu begitu cepat berlalu dan aku kembali. Kembali ditemani penantian walaupun sempat mengikat janji dan hanya itulah kata terakhirnya di hadapanku.
Tetapi, entah apa yang telah terjadi. Entah angin apa yang telah berhembus. Berbalik dari Kota Daeng, Janji itu tak pernah terbalas. Penantian kedua, ternyata menjadi penantian terakhir. Berakhir dengan kondisi yang sangat jauh dari harapan. Tanpa suara, dia datang kepadaku dan hanya menitipkan pesan yang terlanjur aku baca "Aku ingin bahagia". Pesan yang sampai saat ini masih belum bisa aku mengerti. Pesan yang masih menyimpan seribu tanya yang tak menghendaki jawaban atau mungkin tidak punya jawaban. Hingga akhirnya, aku keluar, memandangi langit yang mempunyai bintang yang masih sama. Hingga waktu berbisik kepadaku "Bukan Kita yang menentukan Jodoh".
Â
Salam Fiksi
Malang, 9 Oktober 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H