Mohon tunggu...
Nafaisul Ulwiyyah
Nafaisul Ulwiyyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

mahasiswa Sosiologi FIS UNJ

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Habitus dalam Praktik Kebudayaan pada Film "Parasite" Karya Sutradara Bong Joon-Ho

8 Juni 2024   19:01 Diperbarui: 8 Juni 2024   19:25 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Cinema Poster Gallery

Film merupakan salah satu media entertainment yang paling populer dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat saat ini. Melalui film, sutradara dapat menyampaikan cerita, pesan, dan gagasan kepada penonton dalam bentuk visual yang menarik. Film terdiri dari berbagai genre, seperti drama, komedi, action, thriller, sci-fi, dan sebagainya. Masing-masing genre memiliki karakteristik dan tujuan yang berbeda-beda dalam menyampaikan ceritanya. Selain itu, film juga dapat dibedakan berdasarkan target audiens, seperti film untuk anak-anak, remaja, atau dewasa. Dalam membahas film secara umum, kita dapat menganalisis berbagai aspek, seperti alur cerita, karakter, setting, sinematografi, musik, hingga pesan moral yang ingin disampaikan. Analisis tersebut dapat dilakukan untuk menilai kualitas film, baik dari sisi teknis maupun isi ceritanya (Syaiful, 2020).

Perkembangan industri perfilman global telah mendorong berbagai negara untuk bersaing dalam memproduksi film-film berkualitas tinggi, seperti Jepang, China, Thailand, dan Korea Selatan. Korea Selatan merupakan salah satu negara maju yang mengandalkan industri kreatif seni, seperti musik K-Pop, drama Korea, dan film, karena sektor ini menjadi kontributor utama pendapatan negara. Pemerintah Korea Selatan aktif mendukung industri kreatif seni dengan menyediakan infrastruktur internet yang memadai, sehingga memberikan kecepatan unduh dan streaming terbaik di dunia. Hal ini telah mendorong masyarakat Korea Selatan untuk aktif mengonsumsi produk-produk industri kreatif seni. Salah satu film Korea Selatan yang telah menarik perhatian dan diterima dengan baik oleh penonton di Indonesia adalah film "Parasite".

Film Parasite yang rilis di tahun 2019  karya sutradara Bong Joon-ho telah menarik perhatian dunia Internasional sejak perilisannya. Film ini berhasil memenangkan Palme d'Or di Cannes Film Festival 2019, dan menjadi film pertama dari Korea Selatan yang memenangkan Academy Award untuk kategori Best Picture pada tahun 2020, serta membawa Piala Oscar pertama untuk Korea Selatan (BBC News Indonesia, 2020). Kesuksesan Parasite tidak hanya diukur dari penghargaan-penghargaan bergengsi yang diraihnya, tetapi juga dari kemampuannya untuk menyampaikan kritik sosial yang tajam dan menyentuh isu-isu fundamental dalam masyarakat kontemporer.

Salah satu aspek yang menarik untuk dikaji dari film Parasite adalah representasi mengenai habitus dan praktik kebudayaan. Konsep habitus yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu dapat dirumuskan sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi, yaitu skema-skema persepsi, pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama. Sedangkan praktik kebudayaan mengacu pada cara-cara individu atau kelompok terlibat dalam produksi, distribusi, dan konsumsi simbol-simbol budaya. Bagi Bourdieu, konsumsi budaya cenderung, secara sadar dan sengaja atau tidak, untuk memenuhi fungsi sosial membenarkan perbedaan sosial (John Storey, 2009). Melalui pendekatan sosiologi Bourdieu, film Parasite dapat dibedah untuk mengungkap bagaimana habitus dan praktik kebudayaan beroperasi dalam konteks masyarakat yang terstratifikasi secara sosial-ekonomi.

Sumber : Peakpx
Sumber : Peakpx

Habitus merupakan konsep kunci dalam pemikiran sosiologi Pierre Bourdieu. Habitus dapat dipahami sebagai sistem disposisi yang tersebuk secara permanen dan terinternalisasi dalam diri individu, yang kemudian membentuk cara berpikir, bertindak, dan berperilaku (Satrio, 2009). Dalam film Parasite, habitus keluarga Kim yang berasal dari kelas bawah tergambar jelas melalui cara hidup, pola pikir, dan praktik keseharian mereka. Kehidupan keluarga Kim yang sempit dan kumuh, serta ketergantungan mereka pada pekerjaan-pekerjaan paruh waktu, mencerminkan habitus kelas bawah yang termarjinalkan. Sebaliknya, habitus keluarga Park yang berasal dari kelas atas juga terlihat dalam gaya hidup mewah, pola konsumsi barang-barang mewah, dan disposisi kultural mereka yang eksklusif. Keluarga Park menempati rumah besar, mempekerjakan pembantu, dan menunjukkan selera budaya yang tinggi, yang semuanya merepresentasikan habitus kelas atas.

Praktik kebudayaan yang ditampilkan dalam film Parasite menunjukkan bagaimana kedua kelas sosial tersebut terlibat dalam perjuangan simbolik untuk mempertahankan dan mengukuhkan posisi sosial mereka. Keluarga Kim berusaha menyembunyikan asal-usul kelas mereka dan berusaha mengadaptasi habitus kelas atas agar dapat diterima di lingkungan keluarga Park. Mereka menggunakan modal budaya yang mereka miliki, seperti keterampilan dalam seni melipat penutup buku, untuk menyamarkan identitas kelas mereka.

Kapital atau modal budaya yang dimiliki oleh suatu kelas cenderung direproduksi dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses pendidikan dan sosialisasi (Bourdieu, Pierre & Jean Claude Passeron (1990). Sementara itu, keluarga Park menunjukkan superioritas dan ekslusivitas mereka melalui praktik-praktik budaya yang menandakan kelas sosial mereka, seperti menyewa pekerja rumah tangga, menggelar pesta mewah, dan mengonsumsi anggur mahal. Sehingga hal ini dapat berkaitkan dengan distingsi selera budaya yang dipahami sebagai klasifikasi dan didasarkan pada garis-garis kekuasaan. Distingsi bukanlah semata-mata pernyataan perbedaan yang setara, tetapi mengandung klaim akan otoritas dan keaslian. Dengan kata lain, penilaian selera dan preferensi budaya bukanlah netral, tetapi mencerminkan dan memperkuat hierarki sosial. Beberapa kelompok berusaha menegaskan superioritas budaya mereka dengan menetapkan apa yang "baik" atau "asli", sehingga mengecualikan yang lain. Distingsi selera ini berfungsi untuk memlegitimasi kekuasaan dan status sosial kelompok tertentu. (Chis & Emma, 2016).

Pertarungan simbolik antara kedua kelas sosial ini bukan hanya terjadi di ranah ekonomi, tetapi juga dalam domain kultural. Bourdieu menekankan bahwa arena pendidikan, seni, dan gaya hidup menjadi medan pertarungan bagi kelas-kelas sosial untuk memperebutkan dan mempertahankan modal budaya mereka. Arena pendidikan, seni, dan gaya hidup menjadi medan pertarungan bagi kelas-kelas sosial untuk memperebutkan dan mempertahankan modal budaya mereka. Yang mana selanjutnya habitus menjadi hasil dari sosialisasi dalam lingkungan sosial tertentu yang menghasilkan cara berpikir, bersikap, dan berperilaku yang menjadi ciri khas suatu kelas atau kelompok. Melalui habitus, kelas-kelas sosial mengembangkan preferensi estetika, gaya hidup, dan praktik-praktik budaya yang membedakan mereka dari kelas lain.  Parasite menggambarkan secara kritis bagaimana kepemilikan modal budaya menjadi sumber ketidaksetaraan dan eksklusi sosial.

Analisis film Parasite melalui perspektif Bourdieu menunjukkan bagaimana habitus dan praktik kebudayaan berperan penting dalam mempertahankan dan mereproduksi struktur kelas sosial yang timpang. Film ini secara efektif mengungkap bagaimana kelas-kelas sosial terlibat dalam pertarungan simbolik untuk menegaskan status dan mempertahankan dominasi mereka. Keluarga Kim yang berasal dari kelas bawah berusaha menyamarkan habitus mereka dan beradaptasi dengan habitus kelas atas keluarga Park. Mereka menggunakan modal budaya yang mereka miliki untuk menyusup ke dalam lingkungan keluarga Park dan meraih akses ke sumber daya ekonomi dan kultural yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun