Setiap tahun, ribuan nyawa melayang akibat infeksi bakteri yang tak lagi mempan terhadap antibiotik. Di tengah kemajuan dunia medis, muncul ancaman serius yang justru diciptakan oleh kebiasaan kita sendiri: resistensi antibiotik. Bakteri "super" yang kebal terhadap pengobatan kini mengintai, mengancam tidak hanya individu tetapi juga sistem kesehatan global. Ironisnya, krisis ini seringkali bermula dari tindakan sederhana yang terlihat remeh dalam keseharian. Bagaimana hal ini terjadi, dan apa yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya? Mari kita telusuri lebih dalam.
Kebiasaan Berbahaya yang Sering Dilakukan
- Membeli Antibiotik Tanpa Resep Dokter Kebiasaan membeli antibiotik secara bebas di apotek tanpa panduan dokter menjadi salah satu penyebab utama resistensi. Antibiotik digunakan untuk penyakit yang tidak memerlukannya, seperti flu atau demam biasa, yang sering kali disebabkan oleh virus, bukan bakteri.
- Menghentikan Pengobatan Sebelum Waktunya Banyak orang berhenti mengonsumsi antibiotik begitu gejala membaik, meskipun dokter telah meresepkan dosis tertentu. Hal ini memberi bakteri kesempatan untuk bertahan hidup dan berkembang menjadi lebih kebal.
- Swamedikasi Tanpa Pengetahuan yang Memadai Menggunakan sisa antibiotik dari pengobatan sebelumnya untuk penyakit yang baru tanpa berkonsultasi dengan dokter dapat menyebabkan penggunaan antibiotik yang tidak tepat, baik dalam jenis maupun dosis.
- Kurangnya Kesadaran Akan Risiko Sebagian masyarakat tidak memahami risiko resistensi antibiotik dan menganggap obat ini sebagai solusi untuk segala jenis infeksi, meskipun faktanya hanya efektif untuk infeksi bakteri tertentu.
Penelitian terbaru di Jakarta Timur mengungkap fakta mengkhawatirkan: lebih dari sepertiga rumah tangga Indonesia menyimpan antibiotik untuk pengobatan mandiri. Lebih mengejutkan lagi, mayoritas antibiotik tersebut diperoleh tanpa resep dokter. Amoksisilin, misalnya, sering digunakan secara sembarangan untuk mengatasi gejala ringan seperti demam atau flu biasa.
Di RSUD Abepura, studi menunjukkan bahwa satu dari empat orang tua memberikan antibiotik kepada anaknya tanpa konsultasi medis. Praktik berbahaya ini tidak hanya terjadi di Papua, tetapi tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Ditambah lagi dengan kebiasaan menghentikan pengobatan antibiotik sebelum waktunya ketika gejala sudah membaik, menciptakan kondisi sempurna bagi bakteri untuk berkembang menjadi lebih kuat dan resisten.
Dampak yang Mengancam Sistem Kesehatan
Konsekuensi dari resistensi antibiotik melampaui dampak individu dan membebani sistem kesehatan nasional secara signifikan. Pasien yang terinfeksi bakteri resisten sering kali membutuhkan perawatan lebih lama, pengobatan yang lebih kompleks, dan biaya yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pasien infeksi biasa. Sebuah laporan WHO mengungkapkan bahwa resistensi antibiotik menyebabkan setidaknya 23.000 kematian per tahun di Amerika Serikat, sementara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, angka morbiditas dan mortalitas akibat resistensi terus meningkat.
Di Indonesia, kurangnya kesadaran masyarakat tentang penggunaan antibiotik yang rasional juga menjadi faktor penghambat utama dalam mengatasi resistensi. Program edukasi kesehatan di Yogyakarta, misalnya, berhasil meningkatkan pemahaman masyarakat tentang bahaya resistensi antibiotik dari 82,3% menjadi 93,6% setelah penyuluhan. Namun, meskipun hasil ini positif, cakupan program serupa masih perlu diperluas ke berbagai daerah untuk mencapai dampak yang lebih signifikan.
Selain itu, resistensi antibiotik juga meningkatkan beban biaya kesehatan nasional. Perawatan tambahan yang diperlukan untuk mengobati infeksi resisten dapat menyebabkan pengeluaran yang lebih tinggi baik untuk pasien maupun sistem kesehatan. Di Eropa, resistensi antibiotik diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi sekitar 1,5 miliar Euro setiap tahun karena meningkatnya biaya kesehatan dan hilangnya produktivitas.
Solusi Kolektif untuk Masalah Global
Menghadapi ancaman ini, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pemerintah telah mengambil langkah tepat dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2021 tentang penggunaan antibiotik. Namun, regulasi saja tidak cukup tanpa dukungan aktif dari masyarakat.
Tenaga kesehatan, terutama dokter dan apoteker, harus lebih proaktif dalam memberikan edukasi kepada pasien. Mereka harus menjelaskan secara rinci kapan antibiotik diperlukan dan kapan tidak. Sebagai contoh, masyarakat perlu memahami bahwa antibiotik tidak efektif melawan infeksi yang disebabkan oleh virus, seperti flu dan batuk. Edukasi ini juga harus menekankan pentingnya menghabiskan dosis antibiotik sesuai resep untuk mencegah resistensi bakteri.