Mohon tunggu...
faishal rosyad
faishal rosyad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

Saya adalah seorang mahasiswa akhir di Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Ambil Tanah Kelahiranku

4 Juli 2024   00:00 Diperbarui: 4 Juli 2024   00:03 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di tengah pegunungan yang hijau subur terhampar sebuah lembah cantik. Lembah ini dilalui oleh sungai yang mengalir deras, menjadi sumber kehidupan bagi penduduk desa-desa sekitarnya. Namun, kehidupan damai mereka terancam ketika pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk membangun sebuah bendungan di sungai tersebut.
Keputusan ini menuai berbagai tanggapan dari penduduk desa. Sebagian besar warga setempat melihat rencana pembangunan bendungan sebagai ancaman bagi kehidupan mereka yang sudah terbiasa dengan aliran sungai yang mengalir bebas. Namun, pemerintah kolonial menganggap bendungan ini sebagai proyek yang akan membawa kemajuan ekonomi dan infrastruktur ke daerah tersebut.
Salah satu tokoh penting dalam perlawanan terhadap pembangunan bendungan ini adalah Ki Sutomo, seorang pemimpin lokal yang dihormati oleh penduduk desa Wanadadi. Ki Sutomo adalah seorang yang bijaksana dan sangat mencintai tanah airnya. Ia tidak hanya melihat dampak lingkungan dari pembangunan bendungan ini, tetapi juga dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat desa yang rentan.
Pertentangan antara penduduk desa dengan pemerintah kolonial semakin memanas. Penduduk desa yang mayoritas terdiri dari petani dan nelayan bersatu padu dalam menentang rencana pembangunan bendungan tersebut. Mereka mengadakan rapat-rapat rahasia di balai desa, mempersiapkan strategi untuk menolak dengan tegas rencana pemerintah.
Suatu malam, Ki Sutomo memimpin rombongan penduduk desa untuk melakukan aksi protes damai di kantor administrasi pemerintah kolonial. Mereka membawa spanduk bertuliskan "Lindungi Sungai Kami" dan "Tolak Pembangunan Bendungan!". Aksi protes ini menjadi perhatian besar, baik dari pemerintah kolonial maupun media lokal.
Namun, upaya protes damai mereka ternyata tidak cukup untuk mengubah keputusan pemerintah. Tanpa pemberitahuan lebih lanjut, alat berat dan pekerja konstruksi mulai datang ke Wanadadi untuk memulai proses pembangunan bendungan. Penduduk desa merasa putus asa, tetapi Ki Sutomo tidak menyerah begitu saja.
Dalam sebuah pertemuan darurat di balai desa, Ki Sutomo mengajak seluruh penduduk desa untuk melakukan tindakan lebih lanjut. Mereka sepakat untuk melakukan blokade secara damai di lokasi pembangunan bendungan, dengan harapan pemerintah akan mendengarkan suara mereka.
Blokade ini berlangsung selama berhari-hari. Penduduk desa, termasuk wanita dan anak-anak, berdiri di jalan menuju lokasi pembangunan, menunjukkan kebulatan tekad mereka. Mereka menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, memperlihatkan bendera merah putih, dan menyerukan slogan-slogan protes yang kuat.
Pemerintah kolonial merasa tertekan dengan aksi protes yang semakin besar dan semakin banyak mendapat dukungan dari masyarakat luas. Akhirnya, pemerintah setuju untuk menghentikan sementara pembangunan bendungan dan membuka dialog dengan perwakilan dari penduduk desa .
Setelah berbulan-bulan berdiskusi dan bernegosiasi, akhirnya pemerintah kolonial Belanda mengumumkan penundaan pembangunan bendungan. Meskipun tidak sepenuhnya memenuhi tuntutan penduduk desa untuk menghentikan proyek itu sama sekali, ini dianggap sebagai kemenangan moral bagi penduduk desa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun