Mohon tunggu...
Faishal Hidayat
Faishal Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa aktif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selamat datang di blog saya. Kali ini saya akan sharing tentang apa saja yang sudah saya pelajari selama menempuh pendidikan hingga S1 ini.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ancaman Kerja Sama Ekonomi dan Investasi China Terhadap Indonesia "Studi Kasus: Laut China Selatan"

25 Mei 2024   21:19 Diperbarui: 25 Mei 2024   21:30 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Faishal Hidayat - UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Laut sudah sangat terbukti memiliki banyak sekali fungsi, diantaranya yaitu karena menjadi sumber pangan manusia, jalur perdagangan dunia, sebagai rekreasi, tempat terjadi dan munculnya suatu konflik. Selain itu, laut juga tidak sedikit menimbulkan ancaman-ancaman terutama pada bidang ekonomi. Sebagai contoh yang dimana saat tahun 2021 silam tersangkutnya kapal Evergreen alias kapal kargo terbesar di dunia sehingga meyebabkan kerugian terhadap perdagangan internasional.

Indonesia dengan China memiliki hubungan bilateral pada bidang ekonomi baik China ke Indonesia begitupun sebaliknya. Indonesia dan China bermitra di berbagai proyek dengan pendanaan dari kedua belah pihak atau melibatkan negara dan institusi lain. Indonesia telah bermitra dengan China Railway Construction Cooperation, China National Electric Import & Export Corp, China Camc Engineering Co., LTD, dan perusahaan-perusahaan Cina lainnya pada pembangunan infrastruktur seperti kereta api cepat/High-Speed Rail (HSR), jalan raya, jalan tol, MRT, LRT, dan tol laut. China telah memperoleh kepercayaan Indonesia untuk ikut berinvestasi dalam berbagai proyek melalui jalur sutra BRI (Belt Road Intitiative). BRI memberikan peluang dan dukungan finansial bagi Indonesia. Beberapa proyek seperti infrastruktur pelabuhan dan transportasi laut dapat menjamin adanya produksi berkelanjutan di bidang sumber daya maritim. China juga serius dalam mengalirkan modal melalui Silk Road Fund. Institusi keuangan Cina dan bank komersial asing juga menjadi penting dalam memfasilitasi keuangan jalur sutra BRI. Indonesia dan China meningkatkan kerja sama menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif pada tahun 2013 dalam berbagai bidang seperti kepentingan perdagangan, investasi, pariwisata, pendidikan, dan budaya. Terdapat hubungan ekonomi Indonesia dengan China sebagai mitra dagang utama dan sumber investasi potensial diwarnai dengan upaya Pemerintah Indonesia mendorong investasi Cina pada proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di Indonesia dan upaya kedua negara memajukan liberalisasi ekonomi untuk akses bagi produk-produk Indonesia ke China dan begitu juga sebaliknya. Terdapat juga bilateral yang telah terbangun di berbagai bidang dan tingkatan yang akan mampu menampung dinamika tersebut, disertai harapan bahwa setiap permasalahan yang muncul dapat diselesaikan melalui cara-cara damai, sederajat, dan saling menguntungkan. Dengan luasnya Indonesia dan memiliki wilayah kekayaan laut yang sangat berlimpah, diantaranya terdiri lebih dari 16.722 pulau, garis pantai yang panjangnya 95.181 km dan luas laut kurang lebih 5,7 juta kilometer per kubik dengan Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) seluas 2,55 juta kilometer per kubik. Tentu saja wilayah tersebut tidaklah kecil dan juga kemungkinan hasil yang dapat dikelola sangat berlimpah bahkan memungkinkan jika untuk melakukan ekspor dengan skala besar.

Laut Cina Selatan adalah sebuah wilayah laut yang telah digunakan sebagai jalur lalu lintas pelayaran internasional sejak masa peradaban kuno. Bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan bangsa Eropa sejak abad 16 memberikan penamaan Laut Cina Selatan (Melayu) dan South China Sea (Inggris) dengan alasan perairan tersebut merupakan perairan yang terletak di selatan Tiongkok di mana mereka melakukan pelayaran dari selatan ke utara untuk menuju pantai selatan Tiongkok untuk melakukan perdagangan. Alasan-alasan tersebut membuat komunitas internasional pada tahun 1953 memasukkan Laut Cina Selatan sebagai bagian dari peta dunia pada Limits Oceans and Seas 3th Edition. Pada 27 Juli 1996 China mengesahkan undang-undang batas perairan teritorialnya yang ditarik dari garis pantai di sepanjang daratan Cina dan Kepulauan Paracel di bagian utara Laut Cina Selatan. Selain itu, Tiongkok juga melakukan klaim terhadap wilayah di Laut Cina Selatan melalui Nine Dash Line dengan berpegang teguh pada klaim historis atas dasar adanya satu Traditional Fishing Ground yang telah ada sejak masa 2000 tahun sebelum masehi dan adanya peta yang dibuat oleh Kuomintang sekitar tahun 1947 yang menunjukkan wilayah laut Tiongkok di Laut Cina Selatan. Namun, klaim Tiongkok ini ditentang oleh negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, karena dianggap tidak berdasarkan aturan internasional yang sudah ada, khususnya peraturan yang sudah tertera pada UNCLOS.

Indonesia menanggapi konflik yang terjadi antara Tiongkok dengan Malaysia-Vietnam melalui nota edaran Perutusan Tetap Republik Indonesia Nomor 480/POL-703/VII/10 tertanggal 8 Juli 2010 di New York. Pada tiga poin yang disampaikan Indonesia dalam nota edaran tersebut, pemerintah Indonesia menanggap bahwa Indonesia bukanlah negara yang bersengketa. Meski begitu, Indonesia menolak klaim Tiongkok tersebut karena tidak berdasar dan melanggar aturan internasional yang sudah ada. Selain itu, Indonesia juga melakukan pendekatan di bidang diplomasi dan kerja sama, baik bilateral maupun regional, untuk membangun hubungan yang berkesinambungan dan mempertahankan wilayah kedaulatannya. Indonesia bertahan agar kedaulatan perairan Natuna tetap aman dengan cara meningkatkan sinergi antara Kementerian/Lembaga seperti Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, TNI, Bakamla, dan Polri dalam melakukan patroli serta pengawasan terhadap perairan Natuna. Selain itu, Indonesia juga membangun kolaborasi dengan negara lain seperti Singapura, Malaysia, dan negara-negara lain di kawasan regional untuk menghadapi ancaman keamanan di perairan Natuna. Langkah lain yang dilakukan adalah peningkatan kapasitas TNI dan Polri untuk melakukan pengawasan terhadap wilayah udara dan laut secara efektif serta mengantisipasi kemungkinan tindakan ancaman yang dilakukan oleh negara lain. Pada tanggal 23 Juli 2016, Presiden Joko Widodo bersama rombongan menteri dan Panglima TNI melakukan kunjungan ke Natuna dan melakukan rapat terbatas di atas KRI Imam Bonjol terkait permasalahan keamanan di Natuna. Indonesia menolak klaim Nine Dash Line Cina dan mempertanyakan maksud Cina dalam memasukkan perairan Natuna di Kabupaten Natuna sebagai wilayah maritimnya berdasarkan klaim Nine Dash Line. Hal tersebut membuat Indonesia terlibat dalam konflik Laut Cina Selatan dan mengambil upaya diplomasi dalam menyelesaikan masalah tersebut. Indonesia memilih untuk mengambil jalur diplomasi guna menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan, terutama terkait klaim Cina atas perairan Natuna berdasarkan konsep Nine Dash Line. Diplomasi yang dilakukan Indonesia antara lain mengirimkan nota protes dan melakukan negosiasi bilateral maupun multilateral dengan negara lain yang terkena dampak klaim Cina.Namun, hingga saat ini klaim Cina masih berlanjut dan menjadi isu yang kompleks di kancah internasional.

Posisi yang sedang dihadapi Indonesia cukup rumit, yang dimana pemasukan investasi ekonomi berasal dari Cina. Ketika Indonesia dituntut oleh Beijing karena telah terjadinya pengeboran minyak dan gas di Utara kepulauan Natuna yang terletak pada bagian paling selatan Laut Cina Selatan. Mengingat adanya ancaman tersebut Indonesia pun mempertimbangkan Amerika Serikat beserta sekutunya sebagai pendukung militer. Dan bisa saja jika china untuk diberi sanksi oleh PBB karen telah dianggap sudah melanggar dan ingkari hukum UNCLOS 1982. Pada saat ini tentu Indonesia akan lebih mencondongkan diri kepada Amerika Serikat sebagai salah satu negara superpower. Selain itu, Indonesia mengambil langkah berupa Amerika lah yang menjadi penengah akan adanya konflik Laut Cina Selatan. Sehingga diharapkan untuk China dapat mempertimbangkan perlakuannya terhadap negara-negara yang sedang dalam isu Laut Cina Selatan agar tidak mengambil langkah yang salah. Jika saja China salah dalam mengambil keputusan, maka ancaman terbesarnya adalah negara sekutu barat akan bertindak terhadap apa yang telah dilakukannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun