-Catatan Perjalanan Seorang Backpacker Nekad-
Keputusan untuk melakukan perjalanan seorang diri ke Jabal (Gunung) Musa - Sinai kutentukan dalam tempo yang cukup singkat. Sebenarnya rencana untuk mendaki ke sana sudah terpikirkan jauh hari sebelumnya. Bahkan menjadi sebuah keinginan selama bertahun-tahun sejak menginjakkan kaki di bumi Musa ini. Ceritanya terjadi beberapa tahun yang lalu, tapi semoga belum jadi cerita basi. :)
Perjalanan Pertama
Sedikit cerita mundur. Waktu itu tanggal 23 April 2004, aku dan tiga orang teman nekat jadi backpacker ke Sinai. Acara backpacking dadakan itu disebabkan keterlambatan kami mengikuti rombongan wisata (kalau diingat-ingat menggenaskan sekali kondisi kami waktu itu ketika setelah bersemangat tinggi mengikuti wisata lalu tiba-tiba kecewa berat karena tertinggal rombongan hehe… silahkan dibayangkan sendiri). Mau kembali sudah kepalang tanggung, malu dengan kawan-kawan di rumah-yang malam sebelumnya tahu kami bersiap untuk berwisata. Dengan bekal pas-pasan dan kenekatan akhirnya kami memutuskan untuk menjadi backpacker ke semenanjung bagian timur Mesir itu.
Setelah tanya sana-sini dengan bahasa Arab yang masih terbatas, sampailah kami di Mahattah Dauliyah Abbasiyah atau Terminal Internasional Abbasiyah. Terminal ini adalah salah satu terminal keluar-masuk bis-bis antar kota dan antar negara di Kairo.
Keinginan kami adalah mendaki Jabal Musa di Sinai Selatan. Waktu itu status kami masih mahasiswa yang baru beberapa bulan di Mesir, masih baru. Ketika membeli tiket dan ditanya tujuan perjalanan, kami sempat bertukar pandangan. Kemana? Tak ada satupun yang tahu pasti. Akhirnya dengan segenap rasa percaya diri, kami sebutkan sebuah nama tempat yang kami yakin berada di semenanjung Sinai. Tempat itu juga disebutkan dalam al-Qur’an, Thursina. Dari sini sebuah perjalanan yang tak terlupakan sepanjang hayat –insya Allah- dimulai.
Setelah membayar tiket seharga masing-masing LE 35 (Tiga puluh lima Egyptian Pounds atau waktu itu setara sekitar Rp 50.000,-) kami ditunjukkan oleh penjaga loket bahwa bis yang akan kami tumpangi segera berangkat. Tampak sebuah bis bertuliskan East Delta yang sudah hampir penuh dengan penumpang. Mesinnya sudah menyala dan hampir saja kami terlambat. Fuihhh....
Setelah sekitar 4-5 jam dalam perjalanan, bis berhenti di sebuah kota kecil. Sopir bis memberi tahu bahwa kami telah sampai tujuan, Thursina. Turun dari kendaraan, kami menuju sebuah terminal. Setelah bertanya tentang maksud dan tujuan kami pada orang-orang di sana, sadarlah kami bahwa kami telah KESASAR!
Seharusnya sejak di Kairo kami harus memesan tiket bis menuju St. Katherine untuk mendaki Jabal Musa, bukan ke Thursina. Untuk melanjutkan perjalanan ke St. Katherine cukup sulit karena uang kami terbatas. Mungkin hanya cukup untuk beli makanan dan beli tiket balik ke Kairo. Begitulah resiko backpacker nekat dan tanpa persiapan berarti. Tidak disarankan bagi siapapun untuk melakukan seperti yang kami lakukan. Kecuali bisa mengakhirinya seperti apa yang kami lakukan; menerima ketersesatan itu dengan lapang dada.
Ternyata kesasar pun tidak seseram yang kami bayangkan seperti ketika pertama kali tahu bahwa kami tersesat. Kekecewaan kami terobati ketika kami menemukan sebuah pantai lokal yang eksotis dan indah di Thursina. Sebuah teluk di Laut Merah yang tenang. Tak ada ombak besar, hanya riak dan gelombang air laut tertiup angin. Akhirnya kami menghabiskan senja yang indah di sana sebelum malamnya kembali ke Kairo, membawa kenangan tak terlupakan.
[caption id="attachment_165959" align="aligncenter" width="636" caption="Senja merona di Pantai Tursina/dok. pribadi"][/caption]
Perjalanan Kedua
Tahun 2005, aku ikut rombongan wisata yang hendak mendaki Jabal Musa. Selain mendaki gunung, rombongan juga menuju pantai Syarm el-Syeikh. Untuk yang kedua kalinya, aku belum berhasil untuk napak tilas perjalanan Nabi Musa di pegunungan Sinai.
Di tengah jalan bis mogok, mesinnya “ngambek”. Kami harus menunggu bis pengganti dari Kairo sampai 3 jam lebih di Ras Sidr, tempat kami berhenti. Diputuskan ke pantai dulu baru nanti sorenya ke St. Katherine.
Perjalanan kami terhenti di tengah jalan menuju St. Katherine. Semua kendaraan dilarang melanjutkan perjalanan. Jalan menuju St. Katherine sedang diperbaiki, kendaraan apapun dilarang masuk pada malam hari. Pihak travel menawarkan untuk menambah perjalanan hingga esok hari. Tapi kebanyakan peserta tour dan panitia menolak. Akhirnya kami kembali ke Kairo. Padahal aku sudah ingin sekali mendaki ke sana.
Alhamdulillah, Allah lalu mengganti penantian selama bertahun-tahun itu dengan pengalaman luar biasa yang mungkin tidak banyak orang merasakannya.
Perjalanan Ketiga
Sebulan sebelum melakukan perjalanan, aku dan dua orang kawan sudah berencana akan mendaki Jabal Musa. Menjadi backpacker, berangkat tanpa ikut rombongan wisata. Kawanku sempat memberi saran agar ikut rombongan wisata saja. Lebih murah dan lebih mudah. Tapi bagiku, menjadi backpacker adalah saatnya belajar lebih banyak. Lebih dekat dengan alam, masyarakat dan lingkungan.
Backpackerbagiku adalah seorang yang melakukan perjalanan dengan bekal pas-pasan namun mendapat pengalaman yang segudang. Bagaimana mengatur dan memutuskan untuk menggunakan bekal itu sebaik-baiknya. Seru sekaligus menegangkan. Dari situ aku banyak belajar, bertanya dan menikmati petualangan.
Kali ini aku menjadi seorang backpacker nekad – bukan nekat-. Kalau nekad itu dengan penuh tekad, artinya dengan keberanian menghadapi berbagai resiko namun berusaha mengurangi kemungkinan resiko itu dengan perencanaan yang cukup. Kalau nekat itu seperti bonek, tanpa persiapan yang berarti, asal berangkat. Namun pengertian dalam paragraf ini mungkin tidak akan Anda dapati di kamus, karena memang karanganku sendiri.
Dua hari sebelum keberangkatan, kedua kawanku tadi tidak jadi ikut ide backpacking yang aku tawarkan karena beberapa hal. (Sst...sebenarnya mereka agak ngeri dengan ideku untuk backpacking ke Sinai, apalagi mereka pernah aku ceritakan tentang perjalanan pertama yang kesasar itu hehe..) Dengan mundurnya 2 orang anggota tim itu, aku harus merencanakan ulang keberangkatan.
Aku berpikir jika harus mundur lagi, mungkin kesempatan tidak akan datang lagi. Minggu depan adalah hari-hari kembali pada rutinitas yang cukup padat. Dan yang terpenting mumpung bekal yang ada masih memungkinkan untuk berangkat. Namanya juga backpacker, kalau bekal banyak namanya turis!
5 Juli 2009
Malam, aku berusaha mencari teman barangkali ada yang mau menyertaiku. Sejak awal aku bertekad jika memang tidak ada teman, sendiri pun jadi. Namun malam itu muncul keraguan. Apakah akan berangkat sendiri? Ditambah situasi keamanan yang lumayan “seram”.
Beberapa hari sebelumnya ada kejadian salah tangkap empat mahasiswa Indonesia oleh Polisi Mesir, yang menjadi berita nasional di Indonesia. Dua orang yang disiksa Polisi Mesir itu adalah teman baik dan satu angkatan denganku. Semoga mereka selalu diberikan kesabaran.
Sampai ketiduran karena malam semakin larut, belum ada keputusan. Persiapan khusus untuk perjalanan pun belum kulakukan.
6 Juli 2009
Setalah Sholat Subuh aku mantapkan niat untuk berangkat sendiri. Saat itu juga aku melakukan persiapan untuk backpacking. Jaket, pakaian ganti, handuk kecil, bolpoin, buku tulis dan peralatan survival sesuai saran Martyn Forrester dalam bukunya yang juga masuk tas punggungku: Survival, a complete guide to staying alive. Ia menyarankan untuk membawa plester luka, perban gulung, lilin, pemantik api, kacamata hitam, pisau/cutter, gunting, tisu steril, lampu senter, obat-obatan, peluit, dll. Dari daftar itu yang ada di rumah hanya plester luka, perban gulung, kacamata hitam dan beberapa obat-obatan, hehe.. lengkap sudah penderitaan. Aku putuskan untuk mencari barang-barang itu di perjalanan sekaligus membeli logistik (makanan dan minuman).
Keluar dari rumah, tujuan pertamaku adalah Ragab Sons di bilangan Hay Tsamin, dekat rumah. Supermarket serba ada itu tampaknya cukup representatif untuk memenuhi beberapa keperluanku. Walaupun akhirnya tidak semuanya ada di sana.
Tujuan kedua adalah rumah seorang kawan yang mempunyai kamera foto. Maksudnya mau pinjam kamera karena backpacker satu ini tidak –eh belum- punya kamera sendiri. Sebelumnya ia sudah kutelpon untuk memberi tahu bahwa aku mau pinjam kamera. Kebetulan aku telah persiapkan baterei cadangan cukup banyak termasuk yang bisa diisi ulang. Namun setelah sampai di sana, ternyata kameranya rusak.
Ingin berusaha cari yang lain sudah tak ada waktu lagi. Kuputuskan berangkat tanpa kamera. Agak sayang memang. Tapi tak apalah. Kalau mau mundur berangkat karena tak ada kamera, cukup sulit. Dalam hati aku merasa bahwa kesempatannya adalah hari ini, atau harus menunggu beberpa lama lagi.
Di saat seperti itu, Opick, seorang kawan yang berkecimpung di dunia travel menelepon. Ia bertanya sesuatu padaku. Kesempatan bagus untuk bertanya tentang transportasi ke St. Katherine. Pengalaman tahun 2004 lalu sudah cukup lama untuk diingat detailnya. Inilah jawaban Opick,”Pergi saja ke Mahattah (Halte) Turgoman di Ramses, ada bis yang berangkat pukul 11.00, tiap hari hanya ada satu kali perjalanan ke St. Katherine, untuk balik dari St. Katherine ke Kairo juga sekali sehari pukul 6 pagi.” Aku lihat jam tangan, sudah pukul 11.00 lebih. Ya, aku terlambat…
Aku sempat ingin mencoba berangkat hari itu juga. Barangkali ada rute yang tak langsung ke St. Katherine. Ku urungkan. Pulang? Dengan persiapan dalam ransel seberat sekitar 10 kg di punggung? Bagiku pantang pulang sebelum berjuang, he..he…
Keputusanku untuk hari itu adalah pergi ke rumah kawan di Bab el-Sha’riya, lebih dekat dengan Terminal Ramses. Sam, nama kawanku itu. Ia tinggal dengan 2 orang kawan lainnya di Bab el-Sha’riya, sebuah kawasan yang padat penduduk namun eksotis, terasa sekali kehidupan rakyat bawah masyarakat Mesir. Orang Indonesia jarang yang tinggal di sana.
Sam juga suka backpacking. Namun ia menolak ketika ku ajak mendaki Jabal Musa. Kapok, katanya. Ia pernah mendaki ke sana. Ketika mendaki terasa biasa saja karena malam hari. Namun ketika turun gunung ia merasa enggan. Ternyata ia terjangkit altophobia, sindrom takut ketinggian. Walaupun tampaknya tidak parah.
Malam itu aku menginap di rumah Sam agar esoknya lebih mudah mengejar kendaraan. Di sana aku malah ada waktu menambah logistik dan “alutsista”; 3 biji telur ayam (direbus di rumah Sam), sekaleng sarden tuna, 2 bungkus Indomie, obat sakit perut, sebungkus permen coklat, peluit, travel mug dan tambahan lampu senter kinetik buat persiapan jika kehabisan baterei cadangan.
7 Juli 2009
Setelah sarapan, pukul 09.50 aku melangkahkan kaki meninggalkan rumah Sam. Perjalanan dari rumah Sam ke Ramses sekitar 15 menit dengan kendaraan umum. Aku belum pernah ke Mahattah Turgoman. Kepada sopir angkot yang aku tumpangi minta diturunkan di sana. Seorang penumpang yang baik hati mengantarku ke Mahattah Turgoman. Kebetulan – kebetulan? Aku percaya tidak ada yang kebetulan di dunia ini- dengan izin Allah ia pergi searah menuju Mahattah Turgoman.
Mahattah Turgoman adalah terminal bis yang cukup mewah dan besar. Ruang tunggunya ber-AC. Letaknya di bilangan Ramses dan melayani perjalanan bis antar kota di Mesir, bahkan juga antar negara.
Aku membeli tiket bis East Delta atas petunjuk para petugas di sana, di loket nomor 2. Harga tiketnya LE 40 (sekitar Rp 72.000,-). Aku berdoa dalam hati, semoga kali ini tidak kesasar lagi.
Tepat ketika masuk ruang tunggu, terdengar pengumuman dari pengeras suara agar para penumpang yang menuju St. Katherine segera bersiap di pintu nomor 3. Belum sempat duduk di ruang tunggu aku langsung menuju pintu 3. Antara ruang tunggu dan tempat parkir dibatasi oleh dinding kaca tembus pandang. Puluhan bis berjajar menunggu penumpang.
Bis East Delta yang aku tumpangi bergerak menuju Semenanjung Sinai. Jarang sekali aku merasakan ketepatan waktu ketika naik transportasi di Mesir seperti kali ini. Benar-benar tepat waktu. Memang jarang ada jadwal transportasi yang tepat waktu di Mesir, selain Metro bawah tanah. Alhamdulillah, berarti aku tidak harus menunggu. Tapi tentu saja aku merasa ini adalah kehendak Tuhan, seandainya terlambat sedikit saja, gagallah keberangkatan hari itu. Maha Besar Allah, setelah itu, selama perjalanan aku menemui banyak sekali kemudahan serupa atas kehendak-Nya.
Aku mendapat kursi nomor 48. Letaknya paling belakang, sebelah kanan. Beruntung di posisi itu ada sedikit ruang di antara kursi dan jendela. Aku bisa meletakkan ransel 10 kg itu di sana. Tidak harus menaikkanya di bagasi yang terletak di atas kursi penumpang. Jika perlu sesuatu aku tidak harus repot berdiri untuk mengambilnya.
Selama perjalanan ada sekitar 4-5 pemeriksaan tanda identitas penumpang. Tak tahu kenapa dari pemeriksaan sebanyak itu seingatku hanya sekali pasporku dilihat. Kebanyakan hanya melihat sekilas, begitu tahu aku orang asing, sendirian, mereka tersenyum lalu berbalik. Ternyata perjalanan ini tidak seseram yang kubayangkan sebelumnya. Ketika dulu melakukan perjalanan dengan 3 orang kawan, sampai harus turun ke pos pemeriksaan karena ada seorang kawan yang “lupa” membawa paspor. Ketika itu, setelah menjelaskan bahwa kami adalah mahasiswa Al-Azhar, akhirnya diperbolehkan melanjutkan perjalanan.
Perjalanan kali ini tidak ada halangan berarti. Hanya cuaca yang agak panas karena AC dalam bis kurang bekerja dengan baik, bahkan sering mati atau dimatikan. Tapi pemandangan selama perjalanan cukup menghibur. Terutama setelah melewati Terowongan Ahmad Hamdi yang memotong Terusan Suez.
Dari jendela bis sebelah kanan, gelombang-gelombang Laut Merah berkejaran ke pantai pasir di sepanjang jalan. Agak jauh dari pantai laut yang membiru kehijau-hijauan menyejukkan mata. Sementara sebelah kiri padang pasir yang dibayangi pegunungan batu. Pegunungan Sinai. Di daerah inilah dulu Bani Israel melarikan diri dari kejaran Firaun. Mereka diberkahi dengan makanan dan minuman oleh Sang Maha Pencipta. Sayang sekali mereka kemudian menyia-nyiakannya. Meremehkan manna wa salwa, rahmat yang tiada tara di gunung pasir gersang. Merendahkan mata air menyegarkan karuniaNya di bebatuan cadas.
Di sebuah persimpangan East Delta membelok ke kiri, meninggalkan pantai berpasir nan elok. Jalan yang berkelok sekarang hanya ditemani oleh pegunungan batu. Beragam struktur dan warnanya, merah, putih, hitam, kuning, jingga.
Tujuh jam lebih kami mengarungi samudera pasir berbatu. St. Katherine, terminal terakhir telah kami jelang. Turun dari bis aku masih belum tahu apa yang akan aku lakukan dan tempat mana yang akan aku tuju. Sebenarnya aku sudah menyiapkan peta kota kecil di Sinai itu. Peta itu ku dapat dari internet, tapi belum sempat dicetak karena keberangkatan yang terlalu mendadak. Aku pikir nanti bisa dicetak di tempat tujuan, tinggal cari warung internet. Sayang kesempatan itu tidak ada, karena aku tak tahu apakah di St. Katherine ada warnet. Sebuah pelajaran lagi, jangan terlalu berharap ada warnet jika backpacking ke suatu tempat.
Di tengah sedikit kebingungan itu datanglah dua orang Badui menyapa. Mereka adalah orang Badui Jabaleya, penduduk asli wilayah St. Katherine dan sekitarnya. Hanya suku ini yang mempunyai otoritas menjadi pemandu di area itu.
Tidak sekedar menyapa, dengan baik hati mereka juga menawarkan penginapan dan transportasi. Tidak serta merta aku menerima tawaran baik itu. Karena aku masih belum tahu kemana arah tujuanku. Awalnya mereka menyapa dengan bahasa Inggris, lama-lama ketahuan juga kalau aku bisa bahasa ‘ammiyah (gaul), meski tak terlalu mahir. Sehingga mereka akhirnya tahu kalau aku tinggal lama di Mesir.
Aku bilang sama mereka aku ingin naik gunung. "Kalau begitu kita ke hotel saja, bukankah kamu mendaki gunung nanti jam satu malam? Sekarang dimana kamu beristirahat? Makan? Mari saya antar ke hotel..." kata mereka. Para pendaki Jabal Musa biasanya memang berangkat dari kaki gunung pukul 01.00 dini hari. Sambil menunggu biasanya mereka menginap di hotel atau penginapan di sekitar situ.
"Saya tidak ingin ke hotel," kataku. Karena terlalu lama menjawab tawaran mereka. Akhirnya seorang dari mereka meninggalkan aku dan temannya. Ia tampaknya sopir taksi.
"Kalau begitu bagaimana kalau ke kafetaria, kamu bisa makan atau minum di sana?" Aku termangu, masih ragu. Ia mulai memahami kebingunganku. "Kalau begitu aku antar ke lokasi monasteri saja, di sana juga ada penginapan dan kafe, kamu bisa menunggu sampai waktu mendaki di sana." Ini lebih logis untuk saku tipisku. Monasteri St. Katherine adalah titik awal bagi para pendaki ke Jabal Musa yang terletak di kaki gunung.
"Berapa ongkosnya?"
"20 Pound karena kamu sendirian."
Ku coba menawar,"Kalau 15 Pound gimana?"
"Wah nggak bisa, 20 Pound," katanya mantap.
"Baiklah, ayo berangkat!" Ku pikir untuk orang yang masih meraba situasi tidak terlalu mahal. Masih bisa terjangkau kantong. Kami menuju sebuah kendaraan angkot berwarna putih. Tampak masih bagus dan terawat. Penumpangnya hanya aku dan seorang kawan pengemudi itu, orang Mesir. Tampaknya ia penduduk setempat.
Sebetulnya tidak terlalu jauh jarak antara terminal dengan Monasteri St. Katherine – pendudul lokal menyebutnya Deir Sant Katrin. Sekitar 10 menit sampailah kami di Deir. Begitu turun ku ulurkan selembar 50 Pound pada pemilik kendaraan itu. "Tak ada uang kecil ya?" tanyanya. Aku menggeleng. Ia lalu mengajakku ke sebuah kafetaria untuk menukar uang. Sekalian saja aku pesan teh manis. Dua gelas. Kenapa dua gelas? Ya, satu gelas lagi untuk pemilik kendaraan yang mengantarku tadi. Karena dia ramah dan tidak berusaha memberi harga transportasi semahal mungkin. Aku pikir harga yang ia berikan cocok dengan jarak yang aku tempuh dari terminal ke Deir. Meski sedikit lebih mahal tapi masuk akal, ini daerah wisata. Yang kedua, segelas teh itu adalah diplomasi keakraban dengan kearifan lokal. Hasilnya, sebelum pergi ia mengenalkan aku dengan pemilik kafetaria dan memberikan kartu namanya. "Kalau perlu apa-apa tinggal telpon saja, namaku Husein." Aku mengangguk dan berterima kasih.
Tak lama aku duduk di sebuah gazebo kecil di luar kafe ketika Ammu (Paman) Abduh, pemilik kafetaria itu membawa dua gelas the panas. Satu lagi dalam gelas plastik untuk Husein. Ia langsung mengambil teh panas itu dan pamit pergi. Orang Mesir memang hebat, bisa membawa teh panas dalam gelas –ya panas, bukan hangat- sambil mengemudi mobil atau bis, tanpa tumpah.
Ammu Abduh mengajakku masuk ke ruang dalam. Sebuah ruangan yang cukup rapi dengan interior khas Arab. Ruang seluas 7 x 5 meter itu mempunyai atap yang tinggi, dindingnya ditutupi dengan tenunan warna-warni. Ada sofa memanjang menempel dinding di sekeliling ruangan. Tata ruang seperti ini biasanya ada di tenda-tenda peristirahatan orang Arab Badui. Beberapa meja kecil menghiasi ruangan. Di pojok, sebuah tempat lebih tinggi digunakan untuk menyiapkan minuman.
“Sekarang kalau mau istirahat, mau tidur atau mau apa saja silahkan. Sesukamu. Kalau mau ke kamar mandi ada di sebelah sana.” Sambil menunjuk lurus ke sebuah bangunan kira-kira 30 meter dari tempat itu. Aku berterima kasih. Lalu ia keluar sambil menata meja dan kursi yang sebagian sudah tertata di luar. Tampaknya kearifan lokal bangsa Arab masih membekas dalam kehidupan masyarakat Badui di sini; memuliakan tamu.
Tapi, tidur? Untuk apa jauh-jauh datang dari Kairo kalau untuk tidur? Bagaimana mungkin aku melewatkan keindahan lembah St. Katherine kala senja? Dengan rasa terima kasih pada Abduh, aku pindahkan teh panasku ke sebuah meja di luar. Ku jatuhkan tubuhku pada sebuah kursi.
“Hawanya segar sekali Paman Abduh..” kataku pada lelaki itu, ia tersenyum melihatku.
Senjakala di St. Katherine.
Udara di sini benar-benar segar. Suasananya tenang, jauh dari hidruk pikuk Kairo yang kadang “menyesatkan” pikiran. Sudah sangat lama aku tak mereguk ketentraman seperti ini. Aku duduk sendiri di kafe Ammu Abduh. Belum ada satu pun pelancong yang datang. Tenang sekali. Angin sepoi-sepoi membelai pundak dan leherku.
Allah, sungguh indah duniaMu. Bebukitan batu yang merona jingga di temaram senja mengelilingi lembah kecil di semenanjung Sinai ini. Perlahan matahari menuju peraduan, meninggalkanku untuk menemuinya esok fajar di puncak Jabal Musa.
"Petang telah kami jelang dan telah berpetang pula Kerajaan milik Allah...."
Maghrib menjelang, udara terasa lebih dingin. Terasa sekali cuaca cepat berganti dari senja yang hangat menjadi malam yang gelap dan dingin. Tapi aku rasakan dinginnya masih dapat aku tahan, belum saatnya mengeluarkan jaket.
[caption id="attachment_165963" align="aligncenter" width="640" caption="Pegunungan Lembah Suci Sinai/M. Fakhrudin"]
Di lembah yang tenang dan agak jauh dari pemukiman itu suara azan hanya sayup-sayup lirih dari kejauhan, hampir tak terdengar. Matahari baru saja tenggelam meninggalkan warna merah dan jingga di langit barat. Abduh segera mengajakku untuk sholat Maghrib, ia menuju tempat wudhu di samping mushola.
Langkah kakiku menuju sebuah mushola sederhana di samping tempat wudhu. Tak ada bangunan apa pun. Hanya tikar yang dikelilingi pagar kayu membentuk persegi. Di setiap sudutnya ada pepohonan yang daunnya menjadi atap mushola itu di siang hari. Sholat bisa di mana saja.
Bersambung...
Foto-foto: Faisal Zulkarnaen & M. Fakhrudin Tulisan selanjutnya: Menggapai Purnama di Jabal Musa (bag. 2 habis)
Tulisan sebelumnya: "Aku Mencium Bau Surga dari Lapangan Tahrir"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H