Mohon tunggu...
Faisal Zulkarnaen
Faisal Zulkarnaen Mohon Tunggu... -

Warga Negara Indonesia tinggal di Kairo. \r\n| Twitter: @fzulkarnaen | Indonesian Photographic Society in Cairo (IPSC) |\r\nhttp://www.facebook.com/galerimasisir

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Aku Mencium Bau Surga dari Lapangan Tahrir"

26 Februari 2012   19:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   09:00 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengenang Syaikh Emad Effat, Sang Guru dan Ulama Pejuang Kebebasan Murid mana yang tidak sedih ketika sang guru meninggal dunia? Itulah perasaan yang mendera saya sejak Sabtu malam tanggal 16 Desember 2011 ketika jejaring sosial dan laman-laman berita di internet mengabarkan tentang kepergian salah seorang guru kami Syaikh Emaduddin Ahmad Effat. Ia biasa dikenal dengan panggilan Syaikh Emad Effat, malam itu gugur dalam sebuah insiden di depan Gedung Kabinet di daerah Downtown, Kairo. Sebuah peluru tajam mengenai dada kanan hingga menembus dada kirinya. Sebuah kepergian yang memukul kami, para pelajar di Al-Azhar. Baru sekarang terasa penyesalan saya karena cuma sebentar belajar pada beliau, yang selama hampir 5 tahun mengajar gramatikal Bahasa Arab melalui kitab Alfiyah Ibnu Malik Syarah al-Makudi di Masjid at-Tauhid di Nasr City. Masih terkesan jelas dalam ingatan saya cara beliau mengajar murid-muridnya yang berasal dari berbagai bangsa dan usia. Salah satu yang paling teringat adalah -kecuali untuk murid baru- pukulan tongkat kecil di telapak tangan akan didapatkan oleh mereka yang tidak hafal beberapa bait dalam kitab tersebut tiap minggu. Tentu bukan untuk menyakiti, tapi rasa sayang demi kesuksesan pelajar yang dididiknya dengan penuh ikhlas. Tanpa berharap balasan apapun. Puluhan orang sudah mendapatkan ijazah dalam pengajiannya. Esok hari setelah kematian beliau, tanggal 17 Desember 2011 sekitar pukul 13.30, saya tergopoh-gopoh berangkat dari bilangan Hay el-Asyir – Nasr City menuju Masjid al-Azhar di area Husein. Terdengar kabar bahwa jenazah beliau akan disholati di Masjid Al-Azhar setelah Sholat Dhuhur, sebelum ditunda hingga selepas Ashar. Kekhawatiran karena terlambat membuat saya harus naik kendaraan umum 3 kali untuk mengejar sholat jenazah. Namun hari itu jalanan Kairo kurang bersahabat dengan saya, kemacetan menghambat laju kendaraan yang saya tumpangi. Sebelum sampai di Masjid Al-Azhar saya bertemu kerumunan orang yang rupanya sudah menanti iring-iringan pengantar jenazah di depan Rumah Sakit Husein, tak jauh dari Masjid Al-Azhar. Dari mereka saya mengetahui kalau sholat jenazah telah selesai dilaksanakan dan jenazah beliau akan dibawa pemakaman. Orang-orang di situ belum ada yang tahu dimana beliau akan dikebumikan. Area pemakaman di Kairo sangat luas menyerupai sebuah kota dan meliputi beberapa distrik. Namun mereka yakin bahwa jenazah akan melewati jalan di depan RS Husein. Saya pun memutuskan untuk menunggu di depan RS Husein. Sekitar lima menit kemudian dari arah Masjid Al-Azhar datang kerumunan orang yang sangat banyak. Mereka meneriakkan kemarahan atas kematian Syaikh Emad Effat sekaligus slogan dan kecaman pada pemerintahan yang dipegang Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata Mesir (Supreme Council of Armed Forces/SCAF). Mereka menyatakan bahwa SCAF pimpinan Marsekal Hussein Tantawi yang harus bertanggung jawab atas kematian Syeikh Emad. Sampai sekitar 15 menit ratusan orang melewati tempat saya berdiri menunggu, namun jenazah belum juga terlihat dalam iringan itu. Nampaknya yang hadir dalam pemakaman itu bukan hanya dari Al-Azhar saja namun ribuan orang dari berbagai kalangan tumpah-ruah menyatakan duka pada kematian Syaikh Emad. Tua-muda, Muslim-Kristen, laki-laki – perempuan, berjubah atau bercelana jeans, wanita-wanita bercadar, berjilbab dan yang tidak mengenakan kerudung ada dalam iring-iringan itu. Bahkan saya melihat seorang pemuka Kristen Koptik ada dalam barisan itu. Saya tidak menyangka bahwa yang akan menghadiri pemakaman Syeikh Emad begitu banyak. Jauh lebih banyak dari yang saya duga sebelumnya. Namun saya kemudian sadar bahwa beliau adalah salah satu tokoh penting di Al-Azhar. Jabatan beliau saat sebelum meninggal sebagai Sekretaris Dar al-Ifta al-Mishriyyah – Lembaga Fatwa Mesir bukanlah jabatan sembarangan. Ditambah lagi dukungan beliau terhadap revolusi Mesir yang tidak segan untuk turun langsung ke Lapangan Tahrir. Beliau banyak dikenal masyarakat ketika mengeluarkan fatwa larangan mendukung dan memilih mantan anggota rezim terguling dalam pemilu. Pun begitu, saya terharu ketika teringat bagaimana kesederhanaan beliau yang masih terus rutin mengajar murid-muridnya dari berbagai negara di sela-sela kesibukan hingga akhir hayat. Beliau juga tidak segan memberi tumpangan di mobilnya pada orang-orang yang ditemuinya sedang menunggu kendaraan umum searah dengannya. Cerita ini saya dapatkan dari catatan seorang murid beliau di jejaring sosial Facebook. Beberapa julukan disematkan kepada beliau antara lain "Hamamat al-Masjid" atau "Merpati Masjid" karena kecintaan beliau pada masjid dan ketekunan beliau dalam beribadah atau menimba ilmu di masjid. Dan julukan lain untuk beliau adalah "Syaikh al-Tsawwar" atau "Syaikh Revolusioner" untuk dukungan penuh beliau pada revolusi Mesir. Saya secara pribadi mengagumi keluasan ilmu beliau. Di antara hal yang saya kagumi dari Syaikh Emad adalah ketika berbahasa Arab fusha (Bahasa Arab Resmi), ucapan beliau sangat fasih dan tidak bercampur dengan logat lokal, itu yang jarang saya dapati dari guru-guru saya lainnya. Beliau adalah ahli fikih, gramatikal Bahasa Arab (Nahwu) dan seorang pakar Qiraat 10 (ragam bacaan Al-Qur'an). Mufti Agung Mesir, Syaikh Ali Jum'ah memuji beliau, "Anta ma'aka kanzun ya Syaikh Emad!" (Pada diri Anda terdapat harta yang berharga, Syaikh Emad!) Gugurnya dalam perjuangan revolusi menggegerkan Al-Azhar dan Mesir, juga bagi kami murid-muridnya dari luar negeri. Kehadiran saya yang tidak lama mengikuti pengajian beliau saja sangat membekas dan selalu teringat ketika bertemu kembali di berbagai kesempatan, apatah bagi mereka yang hampir setiap hari menghadiri majelis keilmuan beliau? Teringat semua itu saya tidak dapat menahan haru di antara ribuan manusia di yang berjalan kaki mengantar jenazah beliau ke peristirahatan terakhir. Akhirnya apa yang saya tunggu tampak menyemut dalam arus ribuan manusia itu. Sebuah mobil van putih berlambang Bulan Sabit Merah ada di tengah-tengah mereka. Di dalam mobil itu ada jenazah almarhum Syekh Emad. Orang-orang meneriakkan "Laa ilaaha illAllah! As-Syahid kekasih Allah!" bergantian dengan kecaman pada SCAF dan Sang Marsekal. Iring-iringan itu dalam perkiraan saya panjangnya tak kurang dari 1,5 Km. Tuntutan mereka tidak jauh berbeda dengan apa yang mereka teriakkan di Lapangan Tahrir; "Turunkan pemerintahan militer!" "Kami rakyat garis merah!" "Rakyat meminta Marsekal (Hussein Tantawi) turun!" Tanpa melupakan menuntut pertanggung-jawaban atas meninggalnya Syeikh Emad Effat; "Qishas! Qishas! Mereka membunuh syaikh kami dengan peluru (rashas)!" "Darah syaikh kami tidak murah!" Teriakan-teriakan itu terdengar sepanjang jalan yang kami lewati. Kebanyakan masih belum tahu jenazah hendak dimakamkan dimana. Barisan pelayat melewati kantor Grand Syeikh Al-Azhar yang kemudian berbelok ke kanan melalui Jalan Shalah Salim. Saya pikir beliau akan dimakamkan di pemakaman seberang Al-Azhar Park, tapi rupanya saya keliru. Perjalanan masih terus berlanjut hingga menuju Benteng Shalahuddin. Belum pernah saya melewati rute yang naik turun ini dengan berjalan kaki. Teriakan dan slogan-slogan para pengiring tidak terdengar melemah, tetap terdengar hampir di setiap barisan. Ketika ada sebagian yang letih berteriak yang lain menyahut bergantian. Kejadian menegangkan hampir terjadi di depan kantor Grand Syeikh Al-Azhar ketika sebuah bus militer yang biasa digunakan mengangkut para perwira militer terjebak macet iring-iringan itu. Beberapa orang yang tampak emosi mendekati kendaraan yang terdapat beberapa penumpang di dalamnya, namun sebagian orang yang lainnya berusaha mencegah. Suasana lebih menegangkan terjadi ketika barisan depan para pengantar bertemu dengan patroli militer yang naik beberapa kendaraan lapis baja. Hampir terjadi bentrok antara para pengiring dan para tentara itu di depan Benteng Shalahuddin. Orang-orang menghalangi sebagian pengiring berlarian menuju patroli militer tersebut. Akhirnya bentrokan benar-benar dapat dicegah ketika kendaraan-kendaraan lapis baja tersebut berbelok arah menjauhi para pengantar jenazah. Ketika iring-iringan mencapai area Sayyidah Aisyah, mereka berbelok ke kiri menuju areal pemakaman dimana banyak ulama Islam masyhur yang dimakamkan di sana antara lain seperti Imam As-Syafi'i dan Imam Jalaluddin As-Suyuti. Ketika memasuki areal pemakaman, teriakan mereka berhenti sebagai bentuk penghormatan pada orang-orang yang dimakamkan di areal tersebut. Rombongan berhenti ketika memasuki sebuah gang, di depan saya sudah berjubel orang sehingga sulit bagi saya dan yang lainnya saat itu untuk terus berjalan mendekat lokasi pemakaman. Langkah saya terhenti sekitar 100 meter dari tempat peristirahatan terakhir Syaikh Emad. Rasanya ingin mendekat tapi melihat kondisi gang yang tidak terlalu lebar itu sudah penuh, maka saya urungkan niat itu. Seseorang di depan mulai berdoa dengan suara agak keras dan yang lain mengamini. Jauh di belakang barisan -yang tentu tidak mendengar suara doa di depan- terdengar juga suara seseorang sedang memimpin doa dan diamini. Beberapa orang terlihat meneteskan air mata, meskipun berusaha menahan untuk tidak menangis atau mengeluarkan suara tangisan sebagai sopan santun dalam pemakaman Islam.Saat itu saya tidak tahu apakah jenazah sudah selesai dikuburkan atau belum, karena sebelumnya sempat tertinggal agak jauh dari mobil pembawanya. Saya dan beberapa orang naik sebuah mobil bak terbuka yang terparkir di situ agar dapat melihat suasana di depan, namun pandangan saya tetap terhalang sebuah dinding. Tak lama ketika jeda doa, seseorang naik di mobil yang saya naiki dan berorasi tentang kematian Syaikh Emad yang intinya agar rakyat Mesir terus berjuang menuntut keadilan ditegakkan berkenaan dengan gugurnya beliau. Beberapa saat kemudian doa kembali dilantunkan. Tak lama setelah doa berhenti, orang-orang mulai berbalik arah dan sebagian besar menganjurkan yang lain menuju Tahrir untuk melanjutkan protes, terutama dari kalangan pemuda aktivis revolusioner. Namun beberapa di antaranya memilih untuk tetap berada di tempat, terutama murid-murid dan rekan almarhum untuk mendoakan beliau secara pribadi. Azan maghrib berkumandang ketika massa sudah berangsur meninggalkan pemakaman. Namun puluhan orang masih berada di tempat itu. Saya pun mendekati pintu tempat beliau dimakamkan. Di Mesir komplek pemakaman terdiri dari bangunan-bangunan berdinding yang di dalamnya biasanya diperuntukkan untuk satu keluarga. Kami mengantri di pintu masuk dalam kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 orang untuk masuk dan berdoa di depan makam beliau. Beberapa perempuan dari keluarga dan murid-murid almarhum diberikan kesempatan terlebih dahulu. Alhamdulillah, saya dan beberapa pelajar Indonesia berhasil menyelinap sampai di depan pintu dan cepat mendapat giliran masuk. Dalam keremangan senja, kami berdoa di depan makam guru yang kami cintai. Saya bangga pernah menjadi murid seorang cendekiawan seperti almarhum, walaupun ilmu yang saya punya saat ini sama sekali belum dapat dibanggakan. Tempo yang cuma sebentar itu sempat membuat saya teringat akan senyum almarhum Syaikh Emad. Sekaligus tidak pernah menduga bahwa saat itu saya akan berdoa di depan nisan beliau. Al-Azhar dan Mesir berduka kehilangan seorang ulama yang luas ilmunya. Murid-muridnya berduka karena pengajian beliau harus terhenti sedemikian rupa tanpa disangka-sangka. Dalam sebuah wawancara istri beliau menceritakan bahwa sepanjang hidup beliau selalu minta meninggal dalam keadaan syahid dan itu juga yang menjadi doa beliau pada saat pergi haji tahun ini (2011). Menurut keterangan sahabat dan kolega beliau yang dikuatkan oleh Mufti Negara Syaikh Ali Jum'ah, keinginan beliau untuk syahid tulus dan tidak main-main. Bahkan Syaikh Emad menuangkan cita-cita tersebut dalam salah satu alamat surat elektronik beliau yaitu shaheed_elazhari@maktoob.com. Saya ingin menutup tulisan ini dengan ucapan yang keluar dari lisan beliau sebelum meninggal, "Aku mencium bau surga dari Lapangan Tahrir...." Foto-foto selengkapnya kunjungi Galeri Masisir. Tulisan selanjutnya: Menggapai Purnama di Jabal Musa (bag. 1) Tulisan sebelumnya: Ismail Haniya: "Kami tak akan pernah mengakui Israel!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun