Pada suatu malam di bulan November, aku duduk di meja kerja tepat pukul 03:00 WIT. Sesuai jadwal, waktu itu kuhabiskan untuk membaca dan menulis. Sudah beberapa bulan rutinitas itu aku jalani. Tidak kenal lelah apalagi kantuk, semua harus di geser sebagai bentuk konsistensi diri.
Di atas meja, sudah ada satu buku yang akan kubaca. Buku fiksi karangan Matt Haig dengan judul perpustakaan tengah malam. Hadiah dari seorang wanita dermawan yang baru saja kuterima darinya siang tadi.
Malam itu, tidak hanya membaca. Aku juga berniat menulis sebuah cerpen. Jadi telah kusiapkan beberapa lembar kertas, nantinya kutuangkan cerita yang ada di kepalaku ketika rutinitas membacaku selesai.
Di temani dinginya malam yang sesekali masuk di ruas fentilasi juga dalam kesunyian suara, aku mulai membaca halaman pertama buku itu.
"Aku takkan pernah bisa menjadi semua orang yang kuinginkan dan menjalani semua kehidupan yang kuinginkan. Aku takkan pernah bisa melatih diriku dengan semua keahlian yang kuinginkan. Apa yang kuinginkan? Aku ingin hidup dan merasakan semua gradasi, warna, variasi pengalaman mental dan fisik yang di mungkinkan dalam hidupku."
Sylvia Plath
Lalu kulanjutkan lembar kedua.
"Obrolan tentang hujan."
Sekilas memang topik yang menarik, tapi setelah itu ada ketegangan di awal paragraf. Ada kematian disana. Tapi dia belum benar mati, hanya tentang puzzel kejadian dalam hitungan mundur waktu kematiannya.
"Sembilan belas tahun ketika dia memutuskan mati, Nora Seed duduk di dalam kehangatan perpustakaan kecil......"
Lalu kulanjutkan membaca dan mencerna setiap kalimat. Mengikuti setiap alur seperti air sungai yang mengalir lepas. Dialog yang di bangun juga menghidupkan, seperti mengajak pikiran menghindari sudut kebosanan. Aku ikut hanyut dengan arus cerita dan dialog-dialog itu.