***
Pasir-pasir itu perlahan memerah seperti lautan dara. Air laut juga demikian, memantulkan cahaya jingga keemasan membuat mata sesekali terpejam. Kepiting-kepiting di kejahuan terlihat serabutan beradu membangun istana kecil di dalam pasir hitam yang di duga kuat mengandung biji besi.
Sore itu saya juga menyaksikan beberapa nelayan yang terlihat serius menebar jaring. Mereka mennjaring ikan karang untuk lauk keluarga sebentar malam. Di pojok tanjung terlihat juga sepasang muda mudi sedang berswa foto, mengabadikan senja yang baru muncul ketika sebelumnya lagit mendung beberapa waktu.
Tiba-tiba Opan teman saya bertanya, "fais, kamu percaya korona?"
Sebuah pertanyaan itu langsung membuyar pandanganku. Lalu menyusup masuk dengan cepat, secepat kilat menyambat, juga se gesit tupai melompat. Sebuah pertanyaan yang di sampaikan itu persisi seperti yang di tanyakan adik saya beberapa waktu lalu dan sampai kini belum juga saya temui jawabanya.
Memang perihal corona saya masih menimbang-nimbang antara benar dan tidak benar. Pasalnya, jika tidak saya bilang tidak benar sementara banyak pemberitan saya simak dan baca bahwa corona banyak meregut nyawa manusia. Banyak lagi yang harus terbaring lemas di bangsal rumah sakit dengan hidung terpasang pasang oksigen.
Sementara jika saya bilang benar, ada juga informasi yang saya terima bahwa pasien banyak yang segaja di covidkan. Mereka yang punya riwayat penyakit lain sesaat bisa di vonis terserang covid. Sebuah dilema dalam diri saya antara benar dan tidak, sejauh ini saya belum bisa putuskan.
Sekali begitu, saya tetap mematuhi prokes yang dianjurkan. Disamping mawas diri dari covid jika benar, dan jika tidak saya tetap berjaga dengam virus lain yang datang menghampiri ketika daya tubuh sedang rendah.
Berbeda dengan saya, Opan yang mengajukan pertanyaan tadi tidak begitu percaya. Baginya, corona hanyalah sebuah pusaran informasi yang membuat kita terjebak dalam tanya yang selalu mengambang.
"Saya tidak yakin dengan ini semua. Saya kira ini hanyalah informasi berkedok jebakan." Ujarnya.
Dia mengatakan, andai corona itu benar mungkin lautan manusia yang meramaikan demonstrasi mahasiswa tentang penolakan RKUHP beberapa waktu lalu banyak menelan korban.
Tapi lain cerita, orang-orang itu berlenggang manis tanpa sedikitpun covid mengedap dalam diri mereka. "Lah, jika covid pasti mahasiswa yang demonstraai sudah pada tumbang." Katanya
Dia juga menambahkan, beberapa hari lalu ada satu keluarga  bejumlah lima orang yang hidup bersama dalam satap. Ketika mereka di rapid, tidak semua mereka reaktif. Hanya dua orang yang dinyatakan reaktif, terpaksa mereka harus di isolasi.
"Jika begitu, lantas dimana kesalahan saya meragukan itu?" Tanyanya
Memang teman saya itu bisa tidak keliru juga bisa tidak salah. Karena setiap orang punya kebebasan memberi kesimpulan yang di dapat dari pengamatan dan penilaiannya. Teman saya adalah satu dari sekian banyak orang di luar sana yang turut meragukan wabah tersebut. Saya kira mereka adalah yang berani.
Ketika sebagian mereka pasrah dan tunduk pada informasi, tapi mereka tidak begitu. Seperti para filosof yang selalu ragu melihat suatu persoalan. Mereka tidak serta merta pasra pada semua itu, malah memilih keluar dan menempu kesimpulan sendiri lewat mengamati dan meneliti. Mereka adalah orang yang mampu melakukan sebuah eksperimen sendiri.
Terlepas dari itu, ada hal menarik yang saya lihat dalam dirinya. Iya, sekali dia ragu dan membuat kesimpulan tidak percayanya terhadap wabah yang telah mengantam kita selama dua tahun. Tapi dia tidak pernah mengajak, menghasut apalagi menyebar hoax kepada orang-orang di sekitarnya.
Ketika berbicara mengenai wabah itu, dia hanya membangkitkan stimulus untuk mengajak si lawan pembicaranya melakukan perenungan. Nanti iya atau tidak itu urusan masing-masing. Karena manusia itu punya khendak bebas.
Menurutnya, mengajak orang melakukan perenungan itu lebih baik dari pada mengalirkan informasi yang bertaut dari mulut ke mulut. Terlebih informasi yang belum di dasari riset atau perenungan yang dalam.
"Setiap orang punya kebebasan, saya tidak memaksa. Saya percaya pada keputusan dan kesimpulan setiap orang menyikapi sesuatu." Ujarnya.
Dia bercerita bahlan mengulas banyak. Dia juga mengurai data terbaru soal covid. Namun sampai di akhir pembicaraan dia juga masih teguh pada prinsipnya. Sementara saya hanya bisa diam dan menyimak sembari mengakui kesimpulan yang di buatnya.
"Kendati saya tidak percaya, tapi semoga saja persoalan corona ini cepat berakhir. Biar kita bisa menjalani aktivitas keseharian dengan normal." Katanya di akhir pembicaraan kami.
Opan adalah salah satu dari sekian banyak orang yang ragu, banyak orang tidak percaya yang saya temui. Tapi tidak banyak mereka yang bijak seperti Opan. Dia memilih diam pada kesimpulan dan keraguannya, tidak memaksakan khendak orang untuk ikutan sepertinya. Apalagi menyebar hoax dan provokasi.
Masih di waktu senja namun di hari yang lain, sebuah pernyataan keluar dari mulut bapak Ahmad yang mengatakan,
"Saya sudah di vaksin, tapi ini bukan sebuah kerelaan. Melainkan terpaksa karena banyak prasyarat kini diharuskan menggunakan sertivikat vaksinasi. Saya sebenarnya ragu pada vaksin."
Mendengar pernyataan itu, saya kira bukan cuman bapak itu. Pernyataan yang sama juga saya dengar dari beberapa teman saya ketika berbicara soal vaksin. Bukan kerelaan karena takut wabah sehingga harus di bendung dengan vaksinasi, melainkan keterpaksaan karena embel administrasi
"Ayo vaksin, kedepan semua pengurusaan di haruskan untuk vaksin." Bagitulan bujuk rayu teman saya yang juga seorang relawan vaksinasi di sebuah kedai kopi.
Memang kita tidak bisa apa-apa jika anjuran itu di terapkan seperti itu. Jika kita membangkan, maka petaka menghanpiri. Jadi apapun dilema yang menggema dalam kepala toh di ujungnya kerelaan itu tetap ada, lahir dari sebuah keterpaksaan itu.
Soal ragu terhadap vaksin, dia menuturkan bahwa ada dua orang petugas yang sudah di vaksin. Tapi ketika di swab saat balik dari perjalanan dinas, toh hasilnya reaktif. Sehingga mereka pun terpaksa di isolasi selama seminggu.
"Jadi saya patut meragukan kan?" Kata dia lagi.
Kendati ragu, dia yang sudah di vaksin tetap menyarankan bahwa harus segera melakukan vaksinasi, pasalnya tarif berbayar vaksinasi sebentar lagi akan di berlakukan. Informasi itu kataya dia terima di salah satu petugas saat dia malakukan vaksinasi.
Sementara dia selalu berharap agar tarif berbayat faksinasi itu tidak harua di berlakukan. Karena corona telah membuat banyak hal lumpuh, setiap manusia harus terkekang melakukan kerja dari sebelumnya yang selalu bebas.
"Corona membuat setiap manusia takut kesana kemari, pusaran informasi terlalu kuat dan ngeri." Ujarnya.
Diskusi kami masih berlanjut seputar leraguan corona dan vaksin juga harapan-harapan. Hampir semua orang-orang desa di sini hanya berharap agar pendemi cepat usai agar aktivitas kembali normal. Lalu di akhir diskusi kami dia bertanya,
"Lantas, kapan kamu hendak melakukan vaksinasi?" Ah pertanyaan itu, saya masih mengumpulkan keberanian dari ketakuan saya terhadap jarum.
Mateketen, 16 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H