"Iya, hujan bulan Juni dimana kau?"
"Datanglah hujan bulan Juni, kami menantimu setiap waktu."
Teriak para warga sahut menyahut pada suatu pagi di bulan Juni tepatnya di musim dingin. Mereka terus berteriak, lalu teriakan-teriakan itu keluar beradu cepat dengan angin, sesekali teriakan itu terperosot masuk ke dalam fentilasi.
Sesekali lagi teriakan itu dengan bebas masuk ke pintu rumah dan jendela-jendela. Lalu menyusup masuk kedalam rongga terlinga setiap manusia. Anehnya, teriakan mereka tidak pernah putus apalagi habis.
Padalah teriakan itu mereka keluarkan sejak dini hari sampai saat senja terperosot masuk kedalam temaram. Teriakan itu mengema, bisa terdengan walau ribuan mil jaraknya. Teriakan itu lebih tajam dari anak pana yang dibidikkan.
"Hujan bulan Juni, guyurlah tanah kami. Suda kami sediakan drum besar dibawah langit."
Kalimat itu mereka teriaki saat mereka tinggal di atas bukit yang jaraknya dengan awan gemawan berkisar lima puluh meter. Saat senja kian temaram dan mendung menghinggapi cakrawala.
"Begitulah kisah kampung teriak hujan bulan Juni." Kata kakek Dahlan sembari menyulut kreteknya. Sementara aku masih serius menyimak ceritanya.
"Lantas, apa gerangan membuat mereka harus teriak seperti itu?" Tanyaku lagi.