Suatu pagi yang sunyi
Di sebuah gubuk tua
Sepasang kekasih duduk di beranda
Menata potongan harapan yang tersisah
Sembari mengurai dingin yang menggema
Dengan kata puitis mengundang bahagia
Tapi siapa sangka
Waktu terlalu singkat buat mereka
Panas cepat mengurai dingin
Potongan harapan itu raib tidak tersisah
Bahagia lari berserabutan sisahkan nestapa
Pagi itu jadi petaka
Banyak air mata keluar di pelupuk mata
Banyak harapan hilang seketika
Banyak cita-cita terbunuh percuma
Banyak langkah terlunta-lunta
Pagi itu, Kie Besi mengamuk
Tiga kali dentuman keras mengelegar
Asap tebal keluar dari mulut kawa
Lava membakar cengkeh dan pala tanpa sisah
Debu keluar menimbuni semua
Seketika semua raib di buatnya
Pagi itu jadi muram juga suram
Semua hal di luluh lantahkan
Tidak ada lagi yang berharga selain nyawa
Di tanah itu, imigrasi besar-besaran
Terpaksa semua harus di tinggalkan
1988 jadi tahun kesedihan juga kepedihan
Himbauan bahaya di keluarkan
Banyak manusia di pengasingan
Menjalani hidup di tanah orang
Dengan trauma yang sangat dalam
Di tanah tua itu banyak yang hilang
Ranting Cengkeh, pala dan kenari tempat mengantung cita-cita dan harapan raib tanpa tunas.
1988 jadi tahun kepedihan sekaligus tahun yang di kenang.
Tingkat, 3 Juli 2021.
(Mengenang letusan dasyat Kie Besi pada 29 Juli 1988).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H