Setiap kita punya bakat, punya kreativitas. Gali dan temukan lalu mulailah mencintai bakat dan kreativitas itu. Jika bakat dan kreativitas anda pelukis maka cintai dan mulai prosesnya.
Begitu juga dengan menulis, mulai prosesnya dengan sabar, tekun dan selalu semangat. Sekali menulis itu gampang susah tapi saya yakin jika kita mencintainya maka kita akan merasa mudah saja dalam menjalaninya. Satu hal penting bahwa kita harus berani melakukan.
                ***
Siang itu, di atas trotowar depan kampus saya dan beberapa teman duduk. Kami bercerita lepas dan banyak hal yang kami bahas. Mulai dari tanya kabar sampai pada tema-tema yang serius. Mereka adalah Akbar, Ahmad dan Irma, rekan saya waktu masih menjadi mahasiswa dulu. Lama tidak bertemu, sejak saya menyelesaikan studi dan memelih balik ke kampung menghabiskan banyak waktu di sana. Hari itu kami dipertemukan kembali.
Mereka yang juga junior saya itu kini tampil gaga dengan cakrawala pemikiran yang luas. Setiap pembahasana baik itu Ekonomi, sosial politik juga pendidikan sangat di kuasai oleh mereka. Â Melihat kemajuan mereka tentu saya bersyukur, bagi saya ini adalah anugera ketika mereka yang dulu diabaikan karena terkesan lamban menyerap materi yang di sampaikan. Kini tampil dengan kepercayaan diri juga dengan kerendahan hati. Â
Satu hal yang saya yakini, bahwa Tuhan selalu membuka hati bagi siapa saja yang ingin berusaha. Dan ketiga teman saya itu adalah jawaban dari keyakinan itu. Diskusi kami lancar dengan gagasan brilian dari mereka yang mengalir bak air sungai bergerak cepat tanpa hampatan menuju hilir. Ketika membahas pendidikan, saya sesekali mengkontekskan realitas yang saya temui. Dimana konsepsi yang tidak searah dengan realitas. Lebih-lebih pada tujuan pendidikan yang lebih bermuara pada kongnitif.
Pembahasan itu semakin jauh dan terlampau jauh. Menakar pemikiran yang tidak selaras dengan keadaan tentu banyak kritik yang keluar dari kepala mereka. Pembahasan demi pembahasan kami lalui, sampai pada pembahasa tentang dunia kepenulisan. Disini lagi-lagi sikap pesimisme diri masing-masing mereka muncul.
Ahmad bilang, hal yang tersulit bagi dia sampai saat ini adalah ketidakmampuan dia mengkonversi gagasan di kepalanya menjadi sebuah tulisan. Tatkala mendapat ide yang muncul dan hendak memilih menulis, dia seakan gagap seketika. Hal yang sama juga di keluhkan oleh Irma bahwa ide liar berserabutan di kepala, hanya saja cara eksekusinya yang belum.
"Saya bingung harus nulis dari mana. Sekali saya hendak menulis, seketika itu gagap menghujami." Ucap Akbar.
Mendengar keluhan mereka, tentu saya paham betul. Hal yang mereka alami persis seperti yang saya alami dulu. Awalnya juga buntuh, kaku dan entah dari mana memulainya. Beruntung saya punya guru yang selalu memotivasi saya dan bisa keluar dari titik itu dan mulai menulis. Sekali saya sudah lebih dulu mengembar di dunia tulis menulis, namun disini  saya tidak pernah menganggap diri saya sebagi seorang penulis. Saya masih terus belajar dan terus membaca karya dan tulisan para penulis.
Saya lalu bilang ke mereka, yang mereka alami itu sama seperti saya dulu. Gagap buntuh dan entah mulai dari mana. Namun satu hal yang saya yakini, jika kita punya keinginan dan mau berusaha pasti ada jalan. Berbicara itu seperti menulis, bedanya menulis itu menggunakan kata berbicara menggunakan lisan. Jadi kita bisa menulis berangkat dari pengalaman kita sehari-hari.