Humaira keluar dari biliknya sehabis mengenakan seragam sekolah. Pagi itu masih dingin, sisa rinai hujan semalam terlihat masih turun membasahi bumi. Di tambah gemuruh petir yang mengelegar masih terdengar di telinga.
Sebenarnya dia bisa beralasan untuk tidak ke sekolah, hujan deras semalam pasti membuat debit air sungai yang dilalui meluap. Ini tentu membuat mereka kesulitan melewati jembatan darurat yang jadi penghubung mereka sampai ke sekolah.
Walau demikian, hari itu adalah yang pertama dia ditunjuk sebagai penggerek bendera. Terlebih upacara sekolah itu akan di hadiri oleh Bupati yang melakukan kunjungan ke sekolah mereka. Ini tentu membuat dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Ibu, mana benderanya?" Tanya Humaira yang telah siap berangkat ke sekolah.
Sementara di beranda depan, Ibunya hanya diam sambil mengamati rinai hujan yang masih terlihat begitu keras. Mungkin dalam benak ibunya sedang memikirkan nasib anaknya yang harus menerabas rinai hujan dan arus sungai.
"Ibu, mana benderanya?, kita sudah harus berangkat." Seru Humaira sembari berjalan mendekati Ibunya.
Mendegar tanya Anaknya, dia lalu bergegas menuju ke meja jahit mengambil bendera lalu menyerahkanya ke Humaira.
"Ini kali pertama kau jadi penggerek bendera. Maka jadi yang terbaik, ini benderanya. Kibarkan sang saka ini di atas angin. Seperti cita-citamu, kibarkan jangan biarkan dia layu apalagi mati balik temali malas." Ucap Ibunya menyemangati.
"Iya Ibu, akan aku kibarkan bendera ini di atas awan. Seperti cita-citaku. Ayo mita berangkat bu, jangan sampai aku telat mengikuti upacaranya."
Dengan cepat payung itu di rekah, di rangkulnya Humaira dalam peluknya yang hangat di bawa atap payung yang di terjang rinai-rinai. Tidak ada sarapan pagi untuk anakya, mereka hidup dalam kemelaratan. Lalu sepasang anak dan ibu itu berjalan menyusuri tanah becek yang sesekali menyulitkan langkah mereka. Berjalan terus melewati rimbun pohon, membelah ruas-ruas hujan yang tidak bertulang.