Di ujung senja dia masih diam
Mematung dan tak peduli usikan siang yang kian memutus
Seorang tua dengan luka yang menyayat hati, dia marah.
Sedari tadi mengamuk, mengamuk ke mereka pihak tambang-tambang yang mengeruk tanah dan ladang masyarakat
Dengan kaki yang tak kuat, dia berdiri dipelataran ladang setengah gusur, wajahnya muram, matanya berkaca
"Apa kalian setega ini mengusur hak kami petani kecil?
Dia melempar tanya pada ruang, berharap ada jawab dari mereka yang adi kuasa.
Di depan mata, terlihat alat berat (eksafator dan traktor) yang mengeruk dan melidas habis kebun dan tanah mereka terparkir
Dia tak ada daya, matanya hanya berkaca dengan geraknya yang kian melemah Samun semngatnya tak gentar berjuang melawan mereka yang menindas
"Pada kalian yang kuasa, kembalikan hak kami" terikanya lagi mengantar senja pada peristirahatan
Di pelataran hutan yang hening nan membisu, saat mahluk gagap gugup dia masih saja menuntun jiwa melantunkan lafas perjuangan. "Pada jeritan rakyat nadi ini kupersembahkan"
"Sudah cukup untuk hari ini kek, saatnya pulang" kataku
"Lihatlah nak, tambang-tambang babat habis tanah kita, ladang leluhur kita nak. Disini cinta ditorehkan para pejuang moloku, disini perjamuan cinta NKRI hadir dalam diri mereka, maka jangan biarkan tambang-tambang masuk merusakinya."
"Sudah usai kek, besok kita balik dan bentangkan laskar juang"
"Tak ada yang harus di usaikan, dulu cengke dan pala tertancap kuat di sini. Di bawa pohon sagu dan kelapa kami tetua meneguk kopi dari hasil ladang tetua lain, ini cinta lestari yang tak tergerus usia. Jika mereka datang meampar muka kami dengan semua ini, atas nama kemanusiaan dan pejuang kita yang telah dulu mati berjuang, saatnya perangi mereka para penindas"