Barangkali, saya harus membuka tulisan dengan meminjam perkataan dari Frederich Nietzche yang mengatakan bahwa; "ketika kita berhadapan dengan monster, maka yang perlu di periksa terlebih dahulu bahwa kita tidak menjadi bagian darinya ".  Saya kira perkataan itu penting untuk di utarakan, sebagaimana yang kita ketahui bahwa kekuasaan sangat menggiurkan, bahkan begitu menggoda iman. Maka tidak heran perebutan kekuasaan seringkali mengenyampingkan etika dan moralitas. Ada begitu banyak problematika hukum yang terjadi belakangan ini, Tentu untuk meminimalisir itu, selain harus ada keterlibatan masyarakat dan akademisi, oposisi juga harus hadir agar terjadi perdebatan berkualitas dalam arah kebijaksanaan nasional, guna memberikan filter dari kesewenang-wenangan kekuasaan agar tidak terjadinya Abuse Of Power yang hanya mementingkan segelintir kepentingan saja.
Sebab, kemana lagi para petani dan kelompok adat mengaduh? Saat tanah mereka di serobot perusahaan atau gagal panen karena dampak dari limbah perusahaan. Kemana lagi, anak-anak itu mendapatkan akses pendidikan di perguruan tinggi? ketika biaya pendidikan melonjak tinggi. Atau kemana lagi mereka bersuara/protes? ketika pihak pengamanan bersalin rupa menjadi harimau yang siap menerkam kebebasan berekspersi kapan saja. Rasa-rasanya jawaban itu hanya di dapatkan dalam diskusi kelompok terpinggirkan, dalam kelas-kelas perkuliahan formil yang cenderung eksklusif, atau bahkan hanya sebatas di warung kopi.
Jika kita melacak mundur, pada tahapan sebelum terbentuknya negara. Paling tidak kita menemukan pemikiran dari John Locke terkait dengan teori kontrak sosial. Teori kontrak sosial adalah dimana ada kesepakatan antar rakyat  dan penguasa sebelum berdirinya suatu negara, john locke berpandangan bahwa kontrak sosial adalah cara untuk melindungi hak asasi, hak alami rakyat, kebebasan, dan penguasa dalam hal ini pemerintah harus mampu mewujudkan kesejahteraan untuk masyarakatnya. Karena jika pemerintah gagal dalam melindungi hak warganya, terlebih berperilaku layaknya sengkuni, maka rakyat berhak untuk mencabut persetujuaan itu dan menggantinya dengan pemerintah yang di rasa cukup lebih baik. Sehingga hal tersebut juga ,yang menjadi cikal bakal adanya pembagian kekuasaan, selaras dengan perkataan populer dari Lord Acton seorang filsuf asal inggris yang mengatakan: "power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely" yang artinya "kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti disalahgunakan".
Banyak pikiran yang lahir dan berkembang dari para- filsuf pada abad pencerahan, bukan hanya john locke yang berbicara tentang hak asasi manusia untuk warga negara dan membatasi kekuasaan para penguasa agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Beberapa di antaranya: Montesquieu ajarannya tentang trias politika (pembagian kekuasaan menjadi 3 unsur), Jean-Jacques Rousseau dengan ajarannya tentang kedaulatan rakyat dan Maurice Duverger dengan ajarannya pemilihan dan pengangkatan para penguasa negara yang akan memegang dan melaksanakan kekuasaan negara.
Dalam sebuah negara hukum dengan sistem demokrasi seperti ini, mempunyai dua kedaulatan secara garis besar yakni;Kedaulatan hukum dan Kedaulatan Rakyat yang kedua kedaulatan ini saling terintegrasikan menjadi satu. Dimana, hukum menjadi dasar atas tindakan dari pemerintah. Lalu ,Kedaulatan Rakyat untuk mengingatkan para penguasa bahwa rakyat memegang kendali atas negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan pemerintah hanya di berikan mandat oleh rakyat sesuai dengan Pasal 1 ayat 2, begitupun pada Pasal 6A UUD 1945 dan aturan yang berkaitan lainnya. Namun barangkali sulit untuk mengatakan bahwa negara kita yang mempunyai kedaulatan hukum tidak terkontaminasi dengan kepentingan politik dari segelintir kelompok saja. Budi luhur seorang penguasa akan terlihat dalam caranya menjalankan pemerintahan. Sesuai dengan sifat hakiki kekuasaan itu sendiri, cara pemakaiannya pun harus bermartabat. Pemerintah diharapkan mampu mewujudkan keadaan yang adil, makmur, dan sejahtera.
Mengigat bahwa dalam 5 tahun belakangan ini kita banyak di pertontonkan atraksi politik dan sebuah kebijakan yang justru merugikan dan mencederai konstitusi itu sendiri. Kepemimpinan 2019-2024 meningalkan puing-puing demokrasi. Seperti contoh: Undang-undang kilat yang tidak melibatkan partisipasi publik sebagaimana Undang-undang IKN, Minerba, cipta kerja yang inkontitusional lalu tiba-tiba di keluarkan Perppu dengan dalil kepentingan yang memaksa sehingga walaupun rakyat merasa dirugikan, mereka tidak bisa banyak berbuat apa-apa. Begitupun dengan Revisi UU KPK yang dengan terang-benderang melemahkan KPK itu sendiri sebagai lembaga pemberantas korupsi. Beberapa undang-undang tersebut di buat dengan kalang kabut tanpa ada urgensi yang mendasar untuk kepentingan masyarakat luas. Belum dengan hak asasi yang sekiranya kita temukan belakangan ini, paling tidak banyak kasus dari dampak lingkungan perusahaan tambang yang membuat masyarakat terkena dampak sehingga matinya sektor perekonomian bagi para nelayan sekitar, hal itu terjadi di torobulu salah satu contohnya. Bahkan acap kali tindakan kriminalisasi di lakukan untuk membungkam siapa saja yang coba untuk me-lawan. Alangkah mengerikan ketika kemufakatan kejahatan, atau hanya kepentingan segelintir golongan di  baku-kan menjadi sebuah aturan.
Yap, representasi kita. Orang-orang yang dipercaya bermodal retorika nya di masa kampanye ditambah dengan uang pelicin untuk memuluskan suaranya menjadi Wakil rakyat. Berdasarkan Pasal 20 Ayat 1 UUD 1945 "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang." Kita tahu, bahwa dalam pembuatan Undang-undang perlu melewati 3 tahapan secara garis besar: Ante Legislasi, Legislasi, dan post Legislasi. Naskah Akademik  sebagai Ruh dan pondasi dalam Undang-undang masuk dalam Tahap Akademisi (Ante Legislasi) dimana pemikiran ahli di tuangkan ke dalam Naskah Akademik tersebut dengan pertimbangan filosofi, yuridis, sosiologis sebagaimana di atur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan, dan melibatkan beberapa stackholder masyarakat, praktisi hukum, organisasi profesi, dan kelompok kepentingan lainnya agar mendapatkan pandangan yang lebih kompherensif, karena secara garis besar Proses ini bertujuan agar undang-undang yang dihasilkan dapat menjawab kebutuhan hukum masyarakat dan sesuai dengan kondisi sosial serta politik yang ada.
Namun ketika ia masuk ke tahap Legislasi, dimana ini dapat dikatakan masuk pada koridor politisi (DPR) pembahasannya secara resmi di bahas oleh legislatif dan eksekutif dalam sistem tertentu. Pokok masalahnya, ketika fraksi-fraksi partai yang berada di DPR menjadi corong kepentingan saja, layaknya kerbau yang di tarik oleh pemiliknya untuk membajak sawah. Sudah menjadi rahasia umum, ketika kekuasaan memiliki terlalu banyak pendukung di DPR maka kepentingan kekuasaan akan berjalan tanpa adanya hambatan, sebagai contoh produk hukum atau arah kebijakan nasional yang di hasilkan tidak jauh seperti yang saya paparkan di atas. Partai politik yang seharusnya menjadi penyeimbang sebagai representasi demokrasi masyarakat di nilai menjadi bagian dari kepentingan tersebut. Dengan kata lain, DPR bukan lagi representasi rakyat, malah sebaliknya representasi kekuasaan atau kepentingan pimpinan parpol yang kadang kala menimbulkan kerugian daripada rakyat itu sendiri. Atau jika mencoba berbelok-belok dari keputusan partai maka akan PAW solusinya.
Tentu, salah dalam memukul rata semua anggota dewan yang berada di senayan. Akan tetapi, ketika fraksi partai yang oposisi hanya beberapa maka mereka tidak bisa banyak berbuat apa-apa ketika sudah masuk ke tahap voting. Hingga pada akhirnya mereka tidak perduli menang-kalah yang jelas mereka bisa survive bersama-sama. Terlebih melalui data Indonesian Corruption Watch (ICW) bahwa perwakilan rakyat yang saat ini terpilih pada periode 2024-2029 paling tidak 30% legislator memiliki hubungan keluarga dengan kepala daerah,dan 174 diantaranya terafiliasi dengan elite partai politik. Maraknya fenomena dinasti politik seperti ini akan membuka celah adanya tindak pidana korupsi, disamping itu semakin membuat fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif kian-longgar.
Belum dengan kepemimpinan yang " terlalu jawa " atau dapat dikatakan merampok hak rakyat tanpa terlihat melakukan itu dengan segala upaya pencitraannya. Strategi begini kadang yang di lumpuhkan terlebih dahulu ialah kepalanya. Jika kita cermati mengapa masih banyak hak-hak rakyat di akar rumput di ambil paksa sewenang-wenang oleh kekuasaan lewat dalil keamanan. tapi secara bersamaan masih banyak dari mereka yang beranggapan bahwa kepemipinan dari seorang presiden masih sangat berhasil. Paling tidak saya merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dimana secara substansi kepala desa diperpanjang masa jabatannya sehingga itu bisa menjadi celah transaksi politik dengan timbal balik kepala desa melakukan propaganda atas kebaikan presiden di pelosok-pelosok desa,Yap bisa saja! Bukan tanpa dasar, Perpanjangan masa jabatan tersebut ketika menjelang pemilu. Maka patut di curigai sebagai agenda terselubung dari kelompok tertentu, juga kontradiksi dengan semangat reformasi tentang limitasi kekuasaan dengan memberikan batasan periode dalam sebuah jabatan eksekutif agar adanya demokrasi yang dewasa dalam tingkat lokal/desa.