Sudah tidak dipungkiri lagi bahwa memiliki paras menawan itu adalah anugrah Tuhan. Betapa tidak, bagi manusia normal, kesan yang mendarat kali pertama dalam benak adalah penampilannya.
Bermodalkan penampilan yang menawan dan didukung paras yang cantik pula, tak jarang sebuah produk-produk bisnis laku keras di pasaran lantaran penjualnya yang ciamik.
Rasanaya, sudah tidak ada alasan untuk tidak sejahtera ketika seseorang dengan penampilan fisik yang menarik untuk hidup di segala zaman.
Maraknya pemberitaan artis-artis “cabutan” akhir-akhir ini menjadi penanda bahwa paras menawan itu bisa dengan mudah dimanfaatkan pemiliknya untuk memenuhi tidak hanya kebutuhan hidup, tetapi juga keinginan-keinginan yang biasa disebut gaya hidup.
Berbicara gaya hidup, memang tidak ada habisnya. Ia selalu menggoda tanpa kenal ruang dan waktu. Menghantui bahkan hingga ke dalam mimpi. Bahwa saya ingin begini atau begitu, punya ini atau punya itu.
Lebih parahnya, laparnya perut bisa teratasi dengan tampilan setengah piring makanan di restoran mahal yang diabadikan di foto dan di-upload ke instagram yang kemudian menuai banyak “like” dan komentar kagum para sosialita.
Sialnya, tidak semua orang bisa memeras paras mereka untuk menjadi buah bibir kekaguman. Bagaimana dengan mereka yang merasa (atau memang) tidak menarik dan menjual?
Mungkin hanya sekadar eksistensi, mereka akan memutar otak untuk tetap terakui. Tentu saja, selain untuk usaha me-“laku”-kan diri sebagai primadona dunia maya paling tidak. Aplikasi-aplikasi kamera android sudah begitu canggih, bukan?
Atau bagi sebagian lain yang tidak ingin menipu diri dengan tekonologi, begitu naif dan amat kasihan. Opsinya, adalah mengecilkan hati dan menahan hasrat untuk eksis di era kekinian. Menyakitkan, bukan?
Bahwa memang perlu dipertanyakan ulang apakah manusia adalah bagian dari gaya hidup atau gaya hidup bagian dari manusia. Jika sudah, saya yakin para labilis tidak akan larut dalam kesemuan yang menjelma kesejatian.
Transformasi ke Simbol-simbol