Bisa dibayangkan jika manusia tidak bisa tertawa, atau bahkan sekadar tersenyum, bagaimana jadinya. Ironisnya, meskipun siapa saja bisa tersenyum dan tertawa (kecuali yang kelainan), banyak orang di sekitar kita mengidap sindrom ejakulasi senyum dan tawa yang dinilai begitu menyedihkan.
Orang-orang sadar betapa tawa memiliki fungsi penting dalam kehidupan. Baik untuk kesehatan, sosial, maupun budaya. Tak jarang, tawa lebih pas untuk mengganti kosakata yang terdaftar di kamus bahasa. Misalnya, ketika seorang teman melawak di depan Anda dan mengharap feedback bahwa dia lucu, Anda tidak perlu menjawabnya dengan mengatakan, “Kamu lucu.” Tapi jawablah dengan tawa, atau sekadar senyuman. Itu lebih pas. Namun, saya yakin Anda sadar, bahwa tawa selain mengungkap kejujuran, juga merupakan alat yang ampuh dalam komunikasi palsu. Artinya, tertawa menjadi semacam sarana kebohongan universal yang mengingkari hati dan fenomena di luar diri.
Lantas apa bedanya dengan tuturan bahasa verbal? Universalitas, meskipun beberapa hal lucu di belahan dunia Timur, dan tidak lucu di belahan dunia Barat. Namun, yang perlu kita pegang dalam kesempatan ini hanyalah kata kunci “tawa” atau “senyum”.
Mencari Hiburan
Hiburan erat kaitannya dengan kesenangan. Kesenangan, tak jarang diungkapkan dengan tertawa riang gembira. Pertanyaanya, mengapa kita mencari kesenangan sedemikian rupa? Apakah begitu dukanya hidupmu? Apakah begitu membosankannya kehidupanmu? Apakah kau terlalu naif/lugu dengan kehidupanmu? Atau jangan-jangan kau sudah tidak bisa tertawa?
Ya, bagi orang yang dialektis mungkin kesenangan untuk melepas penat, refresh pikiran, menenteramkan hati, atau alasan lainnya. Dan semua rentetan alasan tersebut untuk dirinya, kan? Maksud saya, senyum atau tawa tersebut sejujurnya bukan untuk orang lain yang menghiburnya, tetapi untuk dirinya sendiri. Sialnya, si penghibur selalu gede rasa bahwa senyum atau tawa penonton untuknya. Dan saran saya, sebaiknya orang-orang yang bergerak di dunia entertain jangan mau tahu tentang masalah ini. Kasihan.
Tersenyum dan tertawa, selain digunakan untuk mengekspresikan kebahagiaan, nyatanya juga untuk menutupi kedukaan. Saya pikir, tawa dan senyum seperti inilah yang selalu diperuntukkan bagi orang lain.
Menipu Orang
Menipu orang lain tak selamanya jahat. Dalam hal ini, menipu justru dalam arti yang sebenarnya, yaitu ketika senyum atau tawamu benar-benar tak selaras dengan hatimu. Senyum yang tidak jujur adalah senyum sedekah. Sebab tidak ada keuntungan untuk diri sendiri. Senyum itu untuk orang lain agar tidak terlalu gusar dan turut bersedih atas musibah yang menimpamu. Atau bisa jadi senyum penghargaan dan penghormatan untuk orang lain.
Dalam kondisi ini, Anda akan tersenyum dan tertawa secukupnya. Anda mengalami ejakulasi senyum dan tawa. Ada keseimbangan serius yang perlu Anda syukuri di mana senyum dan tawa tertahan oleh keprihatinan atas duka. Permasalahannya, kondisi ejakulasi tawa demikian dinilai sebagai kondisi minus dan menyedihkan karena bukan untuk dirinya sendiri. Padahal, kesenangan dan keriangan yang berlebihan bisa membutakan hati. Tanpa keprihatinan, manusia menjadi naif, dan pada akhirnya bingung arah dan tujuan.
Tawa Keprihatinan vs Tawa Kenaifan