Alan Turing, sebagaimana dikisahkan dalam film The Imitation Game yang berhasil memecahkan kode enigma Nazi yang rumit itu dengan mesinnya, membuat saya kagum akan kejeniusannya. Terlebih, saat itu, kode enigma Nazi yang digunakan sebagai media komunikasi perang begitu sulit dipecahkan. Bahkan, katanya, mustahil untuk diterjemahkan musuh.
Konon, menurut perkiraan para ahli, Mr. Turing telah menyelamatkan kurang lebih dua juta jiwa karena alat buatannya. Selain itu, juga memangkas waktu perang selama dua tahun. Melalui alat pemecah kode enigma itu, ia telah berperan besar dalam penumbangan Nazi oleh sekutu.
Tak beruntung baginya bahwa regulasi di Inggris pada saat itu mengharamkan homoseksual. Ia menjalani hukuman terapi hormon dan harus berhenti mengejar hasratnya untuk menciptakan alat komputasi digital karena izin keamanannya ditarik. Sebab itu ia harus mengakhiri sendiri kehidupannya pada 7 Juni 1954.
Manusia dan Penyimpangan Seks
Kesadaran manusia sebagai subjek atas dunia dan isinya sudah tidak bisa dipungkiri. Bahkan, manusia menjadi subjek atas dirinya sendiri. Pastinya, sebagai subjek, ia memiliki kuasa atas objek. Karena itu, terjadilah tindakan aktif di mana manusia menyadari bahwa ia memiliki akal yang sangat sempurna untuk melakukan sesuatu atas sesuatu.
Tersadarinya bahwa manusia adalah subjek, membuat menusia memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban merupakan unsur luar yang akan diinput setelah manusia lahir. Hati dan otak menjadi hardware yang akan diinput berjuta-juta terabyte hak dan kewajiban dengan berbagai macam bentuknya.
Hati dan otak sebagaimana eksekutif dan legislatif. Hati mengajukan proposal setiap waktu kepada otak. Proposal-proposal tersebut begitu bervariasi, baik yang ke arah negatif maupun positif. Otak dan pikiran yang sehat, tentu saja akan menyeleksi proposal-proposal dari hati sesuai kaidah-kaidah tertentu yang dianggap baik dan diyakini benar.
Selanjutnya, kaidah-kaidah tersebut bisa beragam bentuknya. Salah satu contoh: ada yang menghalalkan babi, ada pula yang mengharamkan, begitu juga dengan persoalan hijab. Sesuai dengan input data dari luar diri, yaitu lingkungan, agama, budaya, dan sebaginya yang diyakini atau kebetulan disepakati oleh individu.
Akhirnya, latar belakang individu tidak bisa dikesampingkan, jika kita ingin tahu bagaimana ia menjadi demikian dan demikian. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa regulasi-regulasi seentah apa pun itu, pasti mengandung unsur kebaikan yang bisa diterima oleh hati dan disahkan oleh otak.
LGBT, pada dasarnya terbentuk atas pengalaman beberapa individu yang berani menerjang legitimasi atau pengesahan otak dan akal sehat. Dari sini, saya bahasakan hati sebagai hasrat. Sebab, hasrat lebih dekat ke hati daripada ke otak.
Hasrat, mewakili hati, mengajukan proposal untuk mengesahkan bahwa lesbi atau gay itu baik. Dengan berbagai alasan yang seolah-olah benar kepada otak. Misalnya, “ini adalah hak azasi manusia, wahai otak, dan juga saya tidak pernah meminta kepada Tuhan untuk meyukai sesama jenis, tetapi Tuhan yang memberi saya perasaan demikian”.