Mohon tunggu...
Faisal L. Hakim
Faisal L. Hakim Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat harmoni

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Huft! Manusia Atributif

14 Oktober 2014   17:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:04 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerhana bulan bertepatan dengan BBW 8 Oktober lalu, ditambah dengan belutin Mai’yah plus kopi dan rokoknya, rupanya membawa inspirasi sendiri bagi saya untuk menulis.

Secarik inspirasi itu adalah premis tulisan ini yang bersumber dari tulisan Cak Nun yang hanya lima paragraf di akhir halaman belutin malam itu, “Semua itu tidak pernah ditayangkan di teve ataupun dimuat di surat kabar.”

Eksistensi, siapa yang tidak butuh? Secara personal maupun kelompok, eksistensi adalah hal vital yang harus dipenuhi. Berbagai cara dilakukan, seperti kata Cak Rachmat malam itu, “Sampek neng WC lo sek sempat update status”. Lucu juga, tetapi ini memang kenyataan. Kita tidak perlu melakukan sesuatu dengan nyata, cukup menulis saja di Sosmed,“Nongkrong at Sturbuck coffee”, misalnya. Ah, gombal, padahal dia hanya nogkrong di warung doyong depan kos-kosan. Penipu!

Fenomena “pesta proletar” semacam itu agaknya sudah berlangsung lama. Orang-orang barat yang terkenal dengan kepandaiannya sebagai seksi Pubdekdok dan klaim, sebagaimana disadari oleh de Certau dan dikutip Fiske, mereka yang kelas proletar suka dengan pesta-pesta semacam ini. Berjalan di mall, menjajali pakaian baru seharga jutaan atau ber-selfie ria dengan background mobil sport, dan lain-lain yang kemudian di-share ke publik lalu mengklaim bahwa mereka wah dan patut untuk diakui keberadaannya di muka bumi ini.

Ironisnya, kebudayaan pop semacam itu dimakan mentah oleh orang Indonesia. Di Jawa, dulu terkenal dengan istilah nerimo ing pandum dengan makna filosofis yang begitu dalam, hilang berganti dengan pribahasa “tong kosong nyaring bunyinya”. Asal gaya, dikenal, dan diakui seolah ia sudah menjadi Hero. Bangga pula. Ngeri.

Manusia Atributif

Istilah cewek matre atau cowok matre sudah tidak asing lagi bagi kita. Apalagi sekarang. Tuntutan kehidupan seolah-olah menjadi gravitasi untuk menghalalkan segala cara. Pengakuan orang lain atas diri kita seolah-olah menjadi satu-satunya hal yang menuhan. Akhirnya, kecenderungan untuk menjadi berbeda dengan segala cara dilakukan. Untuk menjadi personal yang menarik? Entahlah, kehidupannya saja tidak menarik!

Jika ada orang yang tidak ingin disebut cewek atau cowok matre, maka ia harus memiliki pengakuan dari orang lain. Jika tidak, ia akan menjadi korban, menjadi matre. Sedangkan matre, adalah sesuatu yang dominan di sekitar kita. Namun, ada saja cara yang bisa dilakukan untuk lepas dari wacana kependaekan dari materialistik ini: Atribut.

"Nggak ketang palsu-palsuo ritek", alroji KW, Kaos KW, Sepatu KW, dan KW-KW paling KW yang lain atau juga mobil sewaan, setidaknya bisa untuk menghias tubuh. Agar terlihat borjuis, intelek, dan lain-lain. Fungsinya, menarik seseorang untuk mengakui kita. Tanpa kita memberi manfaat untuk orang lain. Cuma memancing belaka. Lagi-lagi omong kosong!

Akibatnya, esensi dari manusia sendiri tenggelam oleh atribut-atribut. Sebagai manusia waras, setidaknya harus tersinggung dengan fenomena ini. Seolah-olah orang lain hanya mengakui baju kita, sepatu kita, alroji kita, HP kita, dan lain-lain.

Ironisnya, kita tersenyum, tertawa lepas, dan sama sekali tidak peka ketika harga baju kita lebih tinggi nilainya dari tubuh kita ini. Hanya untuk sebuah pengakuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun