Mohon tunggu...
Faisal Basri
Faisal Basri Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Terlalu Cepatkah Rupiah Menguat?

7 Maret 2016   23:58 Diperbarui: 8 Maret 2016   08:46 2970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Grafik pergerakan nilai tukar Rupiah sejak 1998 sampai 2016"]


[/caption]Hingga hari ini (year-to-date) nilai tukar rupiah telah menguat 5,64 persen, terbaik kedua di antara Emerging Markets setelah Brazilian real. Menurut Bloomberg, rupiah mengalami kenaikan harian 13 hari berturut-turut, terlama dalam enam tahun terakhir. Menurut data Bank Indonesia, kenaikan harian di luar hari libur hanya delapan hari berturut-turut.

[caption caption="Source: Bloomberg"]

[/caption]Sementara kalangan, termasuk pejabat tinggi, mulai khawatir rupiah menguat terlalu cepat. Mereka takut penguatan rupiah mengganggu ekspor dan meningkatkan impor terutama impor barang konsumsi.

Mereka barangkali lupa bahwa rupiah sudah tergolong lama mengalami kemerosotan. Tahun lalu saja nilai tukar rupiah merosotan sebesar 9,39 persen. Jika dibandingkan dengan aras tertingginya pada 2 Agustus 2011, nilai tukar rupiah hari ini melemah sebesar 35,1 persen. Jadi, penguatan rupiah selama tahun ini sebesar 5,64 persen masih belum menutup kemerosotan tahun lalu, apalagi dibandingkan posisi 2 Agustus 2011.

Kekhawatiran penguatan rupiah bakal mengganggu ekspor rasanya kurang beralasan. Toh sewaktu rupiah melorot, ekspor boro-boro naik, malahan terus merosot. Mengingat mayoritas ekspor kita adalah komoditas, perubahan harga karena faktor nilai tukar tidak sensitif terhadap permintaan.

Bagaimana dengan ekspor manufaktur? Produk manufaktur yang diekspor memiliki kandungan impor relatif tinggi. Berarti, harga bahan baku yang diimpor dalam rupiah turun. Jadi kenaikan harga barang ekspor kita dalam mata uang pengimpor dikompensasikan oleh penurunan harga bahan baku yang diimpor. Jadi pengaruh netonya bisa dikatakan netral.

Mengapa para pejabat tinggi khawatir atas penguatan nilai tukar rupiah yang yang di mata mereka relatif drastis? Boleh jadi karena mereka tahu betul faktor penopangnya belum meyakinkan. Pertama, meskipun menunjukkan tren penurunan, laju inflasi di Indonesia masih yang tertinggi di ASEAN-5. Kedua, penopang utama perolehan valuta asing adalah dari selisih antara ekspor dan impor barang dan jasa (current account) yang masih defisit, sedangkan kebanyakan negara ASEAN menikmati surplus.

Oleh karena itu, penguatan rupiah belakangan ini lebih disebabkan karena pelemahan dollar AS dan sentimen positif yang membuat peningkatan dana asing masuk. Dana asing itu kebanyakan bersifat jangka pendek yang sewaktu-waktu bisa keluar.

Namun, jika pemerintah bisa menjaga sentimen positif dengan konsisten melaksanakan penyesuaian struktural, kita patut optimistis perekonomian akan terus membaik. Tidak pula menempuh jalan pintas yang kontraproduktif.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun